Halaman

Minggu, 29 April 2012

Syiah dan Al-Qur`an


Syiah dan Al-Qur`an

April 26th 2012 by Abu Muawiah | Kirim via Email

Di antara kesesatan mereka adalah apa yang mereka sebutkan dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab mereka lainnya, yaitu bahwa Utsman radhiallahu anhu mengurangi sesuatu dari Al-Qur`an. Karena pada surah “Bukankah Kami telah melapangkan …”(QS. Asy-Syarh: 1) pada bagian setelah firman Allah Ta’ala, “Dan Kami telah meninggikan penyebutanmu,” (QS. Asy-Syarh: 4), dulunya setelah itu ada ayat, “Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu.” Tapi Utsman lalu menghapuskan kalimat tersebut karena dia hasad Ali juga menjadi menantu Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Mereka berkata: Panjang surah Al-Ahzab sebenarnya sama seperti panjang surah Al-An’am. Akan tetapi Utsman menghilangkan darinya ayat-ayat yang berkenaan dengan keutamaan kerabat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Disebutkan bahwa orang-orang Syiah di zaman ini memunculkan dua surah baru yang mereka klaim keduanya dahulu merupakan bagian dari Al-Qur`an yang disembunyikan oleh Ustman, masing-masing dari kedua surah ini panjangnya seperti satu juz. Mereka mengikutkan kedua surah baru ini di bagian akhir mushaf. Mereka menamakan salah satu surah dengan nama An-Nurain dan yang lainnya adalah surah Al-Wala`[1].
Keyakinan seperti ini melazimkan:
  • Pengkafiran terhadap para sahabat termasuk Ali, karena mereka semua meridhai penghapusan tersebut. Maka kesesatan ini sama seperti kesesatan sebelumnya (mengingkari kekhalifahan Abu Bakar, pent.)
  • Pendustaan terhadap firman Allah Ta’ala:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
Dan firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Dan siapa saja yang meyakini tidak benarnya penjagaan Allah terhadap Al-Qur`an dari penghapusan serta meyakini sesuatu yang bukan bagian Al-Qur`an sebagai bagian darinya, maka sungguh dia telah kafir.
  • Aqidah ini juga melazimkan tidak bolehnya percaya kepada semua bagian Al-Qur`an, sedangkan hal ini akan menyeret kepada penghancuran agama.
  • Ini juga melazimkan mereka untuk tidak boleh berdalil dengan Al-Qur`an dan tidak boleh beribadah dengan membacanya, karena ada kemungkinan apa yang berdalil dengannya atau yang dia baca telah dirubah. Dan betapa busuknya pendapat suatu kaum yang menghancurkan agama mereka.
Al-Bukhari telah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Muhammad bin Al-Hanafiah berkata, “Tidak ada yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tinggalkan kecuali apa yang terdapat di antara kedua sisi mushaf.[2]
[Risalah fi Ar-Radd ala Ar-Rafidhah hal. 54-55 dengan sedikit perubahan pada footnotenya]


[1]  Di antara aqidah sesat Syiah adalah aqidah akan berubahnya Al-Qur`an, walaupun sebagian di antara mereka mengingkari aqidah ini tapi hanya sebagai bentuk taqiyyah dan penipuan. Hal itu karena kitab-kitab mereka telah menetapkan aqidah akan berubahnya Al-Qur`an. Bahkan sebagian di antara mereka telah menulis kitab tersendiri dalam menetapkannya, seperti: Fashl Al-Khithab fi Itsbat Tahrif Kitab Rabb Al-Arbab karya seorang Rafidhah yang bernama Husain An-Nuri Ath-Thibrisi, salah seorang ulama yang diagungkan dan dimuliakan oleh orang-orang Syiah. Juga dalam Tafsir Ash-Shafi karya  Al-Mula Hasan hal. 11
[Lihat Buthlan Aqa'id Asy-Syi'ah hal. 37-39 dan Asy-Syi'ah wa Al-Qur`an karya Ihsan Ilahi Zhahir]
[2] HR. Al-Bukhari no. 5019 dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abdul Aziz bin Rufai’ ia berkata: Aku dan Syaddad bin Ma’qil menemui Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, lalu Syaddad bin Ma’qil pun bertanya padanya, “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sesuatu?” Ia menjawab:
مَا تَرَكَ إِلَّا مَا بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ
“Tidaklah meninggalkan sesuatu pun kecuali apa yang ada di antara dua sisi kitab.”
Lalu kami menemui Muhammad bin Ali Al Hanafiyyah dan bertanya padanya, maka ia pun menjawab:
مَا تَرَكَ إِلَّا مَا بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ
“Tidaklah beliau meninggalkan sesuatu, kecuali apa yang terdapat di antara dua sisi kitab.”

Seputar Al-Qur`an

April 28th 2012 by Abu Muawiah | Kirim via Email
Seputar Al-Qur`an
A.    Definisi Al-Qur`an.
Secara etimologi bermakna bacaan.
Secara terminology bermakna firman Allah Ta’ala berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yang dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Naas.
Hal ini terdapat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur`an, di antaranya dalam surah Al-Insan ayat 23 dan surah Yusuf ayat 2.
Allah Ta’ala telah memberikan penjagaan terhadapnya dari segala sesuatu yang bisa merusaknya, dan juga menyifatinya dengan sifat-sifat yang agung lagi mulia. Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur`an, di antaranya dalam surah Al-Hijr ayat 9, surah Qaf ayat 2, dan surah Al-Waqiah ayat 77.
B.    Awal Turunnya Al-Qur`an.
Awal turunnya pada lailatul qadr di bulan Ramadhan, dan ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam sudah berumur 40 tahun. Hal ini disebutkan di antaranya dalam surah Al-Qadr ayat 1 dan di awal-awal surah Ad-Dukhan.
C.    Ayat Yang Pertama Turun.
Ayat yang pertama turun adalah 5 ayat pertama dari surah Al-Alaq. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu anha)
Setelah itu terjadi masa vakum dimana wahyu tidak turun selama beberapa lama. Namun setelah itu, wahyu kembali turun dan dimulai dengan 5 ayat pertama dari surah Al-Muddatstsir. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiallahu anhuma)
D.    Metode Turunnya Al-Qur`an.
Al-Qur`an turun dengan dua metode:
1.    Ibtida`i (tanpa sebab).
Ini adalah kebanyakan ayat Al-Qur`an, dan di antara contohnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah At-Taubah ayat 75.
2.    Sababi (dengan sebab)
Yaitu ayat atau surah yang turun dengan didahului oleh sababun nuzul. Sebab nuzul itu sendiri ada beberapa bentuk:
a.    Jawaban dari pertanyaan para sahabat.
Contoh: Al-Baqarah ayat 189 dan semacamnya.
b.    Kejadian kontemporer yang butuh penjelasan.
Contoh: At-Taubah ayat 65.
c.    Amalan yang butuh diketahui hukumnya.
Contoh: Ayat zhihar pada surah Al-Mujadilah ayat 1
E.    Manfaat Mengetahui Sababun Nuzul:
1.    Penegasan bahwa Al-Qur`an turun dari Allah.
2.    Menunjukkan besarnya perhatian dan pembelaan Allah kepada Nabi-Nya.
3.    Menunjukkan besarnya perhatian Allah kepada para hamba-Nya.
4.    Memahami ayat dengan pemahaman yang benar.
F.    Pembagian Surah Al-Qur`an Berdasarkan Waktu Turunnya.
Al-Qur`an turun sedikit demi sedikit selama 13 tahun, dimana kebanyakan ayat tersebut turunnya di Makkah. Karenanya dari sudut tinjauan waktu turunnya, para ulama mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an menjadi 2 jenis:
1.    Makkiah (periode Makkah).
Yaitu surah yang turun sebelum hijrah.
2.    Madaniah (periode Madinah).
Yaitu surah yang turun setelah hijrah.
G. Beberapa Perbedaan Antara Surah Makkiah Dengan Madaniah.
1.    Mayoritas ayat Makkiah sangat kuat metodenya dan cara penyampaianya sangat tegas. Sementara mayoritas ayat Madaniah agak lembut metodenya dan cara penyampaianya lebih ringan.
2.    Mayoritas ayat Makkiah pendek dan berisi argument yang tegas dalam perdebatan. Sementara mayoritas ayat Madaniah panjang dan berisi hukum-hukum ibadah yang dibawakan begitu saja tanpa ada perdebatan.
3.    Kandungan ayat Makkiah mayoritas dalam masalah tauhid, sementara ayat Madaniah mayoritasnya berisi rincian ibadah dan muamalah.
H. Manfaat Mengetahui Pembagian Surah di Atas.
Mengetahui bahwa ada surah yang sifatnya Makkiah dan sebagian lainnya Madaniah mempunyai beberapa manfaat, yaitu:
1.    Mengetahui ketinggian balaghah Al-Qur`an, dimana Al-Qur`an berbicara kepada suatu kaum sesuai dengan keadaan mereka.
2.    Mengetahui kedalaman hikmah Allah dalam syariat-Nya, tatkala Al-Qur`an ini diturunkan secara bertahap, berdasarkan urutan yang terpenting dan disesuaikan dengan keadaan kaum yang Al-Qur`an diturunkan kepada mereka, dari sisi kesiapan dan kesanggupan mereka menjalankan syariat.
3.    Pendidikan bagi setiap dai agar mengikuti metode Al-Qur`an dalam berdakwah.
4.    Bermanfaat dalam masalah nasikh dan mansukh.
Demikian beberapa permasalahan seputar Al-Qur`an Al-Karim, wallahu A’lam bishshawab.

Jumat, 27 April 2012



Home » Doa & Dzikir » Beberapa Adab dan Etika dalam Berdzikir
Bookmark and Share
Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ.
“Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” [Al-A’râf: 205]
Dalam ayat yang mulia ini, terdapat sejumlah adab dan etika berkaitan dengan dzikir kepada Allah Ta’âlâ.
Berikut uraiannya.
Pertama: dalam ayat di atas, termaktub perintah untuk berdzikir kepada Allah. Telah berlalu, pada tulisan sebelumnya, berbagai perintah untuk berdzikir beserta keutamaan berdzikir kepada Allah dan besarnya anjuran dalam syariat untuk hal tersebut. Seluruh hal tersebut memberikan pengertian akan pentingnya arti berdzikir dalam kehidupan seorang hamba.
Kedua: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu,” mengukir sebuah etika yang patut dipelihara dalam berdzikir kepada llahi, yaitu dzikir hendaknya dalam diri dan tidak dijaharkan. Yang demikian itu lebih mendekati pintu ikhlas, lebih patut dikabulkan, dan lebih jauh dari kenistaan riya. Ibnul Qayyimrahimahullâh menyebut dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
  1. Bermakna dalam hatimu.
  2. Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.
Namun, penafsiran kedualah yang lebih tepat berdasarkan dalil kelanjutan ayat “… dan dengan tidak menjaharkan suara,” sebagaimana yang akan diterangkan.
Ketiga: firman-Nya, “dengan merendahkan diri,” mengandung etika indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Hal yang demikian lebih mendekati makna ibadah yang mengandung pengertian merendah dan menghinakan diri serta tunduk dan bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan menjaga etika ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah Jallat ‘Azhamatuhu. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.
Keempat: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu … dan rasa takut,”maksudnya adalah berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam keadaan khawatir bila terdapat kekurangan pada amalanmu dan dalam keadaan takut bila amalanmu tertolak atau tidak diterima. Etika ini adalah ketentuan tetap yang mesti dipelihara oleh setiap muslim dan muslimah dalam melaksanakan setiap ibadah.
Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang mengingatkan etika agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di antara keterangan tersebut adalah firman Allah Jalla Jalâluhu yang menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ.
“Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 60-61]
Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallamtentang firman-Nya “Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut …,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri, dan meminum khamar?” Maka Nabi n menjawab,
لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ
Bukan, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.” [1]
Kelima: firman-Nya, “dan dengan tidak menjaharkan suara,” juga merupakan etika yang patut diperhatikan karena berdzikir dengan tidak mengeraskan suara akan lebih mendekati khusyu’ serta lebih indah dalam benak dan pikiran. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa, dalam sebuah perjalanan, terdapat sekelompok shahabat yang menjaharkan suaranya kala berdoa maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkanlah suara kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada yang tuli tidak pula kepada yang tidak hadir. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kalian.” [2]
Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Hadits (di atas) menunjukkan makruhnya menjaharkan suara ketika berdoa dan berdzikir. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in.”[3]
Dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ
Ketahuilah bahwa setiap orang di antara kalian bermunajat kepada Rabb-nya maka janganlah sekali-sekali sebagian di antara kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian di antara kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca, -atau beliau berkata-, … dalam shalat. [4]
Keenam: hendaknya dzikir itu dilakukan dengan hati dan lisan, bukan dengan hati saja. Etika ini dipetik dari firman-Nya “… dan dengan tidak menjaharkan suara.”Menjaharkan sesuatu berarti mengangkat dan mengumumkan suara. Oleh karena itu, ayat ini adalah nash bahwa dzikir itu dilakukan dengan lisan, tetapi tidak dijaharkan. Demikian simpulan keterangan sejumlah ahli tafsir mengenai ayat ini.
Ketujuh: firman-Nya “… pada pagi dan petang,” menunjukkan keutamaan berdzikir pada dua waktu ini: pagi dan petang. Keistimewaan berdzikir pada dua waktu ini dikarenakan banyaknya ketenangan dan kesempatan pada waktu tersebut, serta kebanyakan urusan kehidupan manusia berada di antara keduanya, sedang para malaikat naik mengangkat amalan hamba pada dua waktu ini. Oleh karena itu, di antara rahmat Allah dan kemurahan-Nya, kita dianjurkan untuk memperbanyak dzikir pada pagi dan petang serta dijanjikan berbagai keutamaan dengan mengamalkan berbagai dzikir yang dituntunkan pada dua waktu itu. Insya Allah, pada tulisan yang akan datang, akan dijelaskan berbagai dzikir yang dituntunkan untuk dibaca pada pagi dan petang.
Kedelapan: pada akhir ayat diterangkan, “… serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai,” yaitu janganlah engkau termasuk sebagai orang-orang yang dilupakan dan dipalingkan dari berdzikir kepada Allah sebab Allah Ta’âlâtelah mengingatkan,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan sifat orang yang beriman,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid, yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan tidak pula oleh jual beli dari berdzikir kepada Allah, (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut terhadap suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.”[An-Nûr: 36-37]
Allah Subhânahu mengabarkan bahaya terhadap orang-orang yang berpaling dari dzikir,
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ.
“Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami mengadakan syaithan (yang menyesatkan) baginya maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [Az-Zukhruf: 36]
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.
“Agar Kami memberi cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada Rabb-nya, niscaya dia akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam adzab yang amat berat.” [Al-Jinn: 17]
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.
“Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada-Ku, sesungguhnya penghidupan yang sempit baginya dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thâhâ: 124]
Seluruh nash ayat di atas memberikan pesan dan pelajaran agar seorang hamba tidak pernah putus dari dzikir, walaupun dzikir yang dia lakukan hanya sedikit.
Kesembilan: dari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan ayat yang tertera pada awal pembahasan, nampaklah kesalahan yang sering dilakukan oleh sejumlah kaum muslimin yang berdzikir secara berjamaah dan diiringi oleh suara keras. Sesungguhnya hal tersebut adalah sebuah kemungkaran dan bid’ah dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Etika yang tercatat dalam agama kita adalah apa-apa yang telah kami terangkan. Tiada nukilan sah yang menunjukkan adanya syariat berdzikir secara berjamaah, bahkan yang tercatat dalam perjalanan umat ini adalah bahwa bid’ah pertama yang muncul dalam bab ibadah adalah bid’ah dzikir berjama’ah yang dilakukan oleh sekelompok manusia di Kûfah pada masa Abdullah bin Mas’ûdradhiyallâhu ‘anhu, sedang Abdullah bin Mas’ûd telah mengingkari hal tersebut dan menganggapnya sebagai bid’ah dalam agama yang tidak pernah diamalkan oleh Nabi dan para shahabatnya. Demikianlah keterangan para ulama dalam buku-buku yang menjeiaskan tentang firqah-firqah (sekte-sekte) yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus.
Semoga Allah Ta’âlâ memberi hidayah kepada kita semua menuju jalan yang lurus serta menjaga kita dari fitnah dunia dan kesesatan. Wallâhu A’lam.


[1] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Jarîr, Al-Hâkim, dan Al-Baghawy sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah karya Al-Albâny.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Musa Al-Asy’aryradhiyallâhu ‘anhu.
[3] Sebagaimana dinukil dalam Fath Al-Bâry 9/189.
[4] Dikeluarkan oleh Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ`5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, ‘Abd bin Humaid no. 883, Al-Hâkim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’ab Al-Imân 2/543, serta Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 23/318. Dianggap shahih di atas syarat Asy-Syaikhain oleh Syaikh Muqbil sebagaimana dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahîhain.

Kamis, 26 April 2012


Pentingnya Tauhid

Pentingnya Tauhid
Oleh : Al Ustadz Abu Ayyub

Agama Islam merupakan agama yang sempurna, tidak perlu ada penambahan maupun pengurangan. Islam mengtur hubungan antara makhluk dan al-kholiq serta hubungan antar sesame makhluk. Islam yang dilandasi oleh tauhid merupakan agama para Rosul semuanya. Para Rosul diutus oleh Alloh subhanahu wa ta’ala untuk mendakwahkan tauhid kepada setiap ummatnya, sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala :
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.(QS. Al Anbiya : 25)
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS: An Nahl : 36)
Alloh berfirman tentang nabi Nuh :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS: Al A’raf : 59)
Karena tujuan dan hikmah tauhid inilah, Alloh subhanahu wa ta’ala menciptakan jin dan manusia, sebagaimana firman Alloh :
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS: Adzariyat:56).
Tauhid merupakan asas atau landasan agama islam. Tidaklah bias dibenarkan keislaman seseorang tanpa dilandasi tauhid yang benar. Sehingga berapapun banyaknya amalan yang dilakukan seseorang ketika tidak didasari oleh tauhid yang benar maka sia-sialah amalannya dan tidak diterima oleh Alloh subhanahu wa ta’ala.
Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi. (QS: Az Zumar : 65)
Di Mekkah, selama 13 tahun Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallammendakwahkan tauhid kepada manusia. Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya yaitu Mu’adz bin Jabbal agar yang pertama kali didakwahkan adalah masalah tauhid, sebagaimana hal tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim melalui jalur Ibnu Abbasradhiyallohu anhu :
Bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman maka Rosululloh bersabda :
“Bahwa sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari golongan ahlul kitab, maka jadikan yang pertama kamu dakwahkan kepada mereka yaitu syahadah “laa ilaha illa Alloh (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Alloh)”di riwayat lain “sampai mereka mentauhidkan Alloh”. Apabila mereka mentaati dalam hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa sesungguhnya Alloh mewajibkan atas mereka sholat lima waktu sehari semalam”…(dan seterusnya dalam hadits yang panjang).
Para pembaca yang dimuliakan Alloh, Semoga Alloh memberikan petunjuk kepada kita semua, dengan uraian singkat di atas menunjukkan kepada kita akan pentingnya kedudukan tauhid dalam agama Islam, sementara kalau kita mau melihat kaum muslimin pada hari ini, pada kalangan awwamnya bahkan kalangan “cendekiawan”, mereka kurang begitu perhatian terhadap masalah kalimat laa ilaha illalloh. Kalimat ini merupakan kalimat tauhid, bahkan sebagian umat Islam tidak tahu apa makna dari kalimat ini, sehingga kita sering dapati mereka terjatuh ke dalam perbuatan atau perkataan yang bisa mengurangi nilai keislaman bahkan bisa mengeluarkan dari agama yang mulia ini. Wal ‘iyyadzu billah
Melihat pentingnya hal ini, maka penulis dengan memohon kemudahan kepada Alloh, akan sedikit membahas masalah ini.
Makna kalimat “laa ilaha illalloh”, Syaikh ‘alamah Hafidz Ibn Al Ahkami rohimahullohberkata “makna laa ilaha illalloh adalah laa ma’buda bi haqqin illalloh (tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh)”. Kalimat “laa ilaha” bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Alloh. Maka tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Sehingga kalimat “illallah” bermakna menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah ta’ala semata, dialah sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi. (lihat Ma’arijul Qobul,2/516)
Berdasarkan penjelasan beliau rahimallah tersebut, maka makna yang tepat dari kalimat laa ilaha illallah adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah” ditambahkan kalimat “yang berhak disembah” ini ditinjau dari dua sisi.
Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahan selain Allah di muka bumi ini, akan tetapi dari sekian banyak sesembahan tersebut yang berhak untuk disembah hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Demikianlah, karena Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah Itulah yang batil; dan Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS : Luqman :31 )
Kedua, dari sisi kaidah bahasa arab pada kalimat “laa ilaha illallah” memang ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun” sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid tersebut, sebenarnya adalah “laa ilaha haqqun illallah” yang berarti “tidak ada sesembahan yang haq (yang berhak disembah) selain Allah.
Kalo ada yang bertanya, “mengapa ada kata yang dibuang?”, maka jawabannya adalah karena kaidah bahasa arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat dipahami oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (yaitu haqqun) dengan hanya mendengar Laa ilaha illallah. Karena bagaimanapun orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam bahasa arab. (lihat Attauhid hal 77-78)
Demikian pembahasan tentang makna yang benar dari kalimat tauhid. Semoga dengan pembahasan yang singkat ini dapat mengangkat sedikit diantara kebodohan diri kita tentang agama yang mulia ini. Dan sungguh, memahami kalimat tauhid merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar bagi hambanya. Sufyan bin Uyainah rahimahullah ta’ala berkata “tidaklah Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung dari nikmat diberikan pemahaman terhadap kalimat laa ilaha illallah” .

Selasa, 17 April 2012


Sikat Gigi Bisa Jadi Penyelamat Hidup Anda

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth



(Foto: Thinkstock)
Jakarta, Pergi ke dokter gigi adalah rutinitas sekaligus kebutuhan jika kita ingin menjaga gigi kita. Namun bisa jadi ada juga manfaat yang lebih luas.

Check-up rutin, gigi yang bersih dan mulut sehat dapat meningkatkan harapan hidup dan membantu diagnosis dini, perawatan dan pencegahan sejumlah penyakit dari anemia hingga masalah jantung.

Para ahli telah menemukan hubungan antara penyakit gusi, yang menjangkiti hampir setengah penduduk dunia, dan kaitannya dengan puluhan penyakit.

Beberapa studi juga mengakui bahwa merawat gigi dapat meningkatkan proses penyembuhan berbagai penyakit.

Beberapa cara untuk memelihara higienitas mulut antara lain menyikat gigi dua kali sehari dengan pasta gigi ber-fluoride, membatasi asupan makanan dan minuman yang mengandung gula, menghentikan kebiasaan merokok dan berkunjung ke dokter gigi sekali dalam dua tahun (atau lebih sering jika Anda bermasalah) dapat membantu meningkatkan kondisi kesehatan secara menyeluruh.

Sebelumnya kita perlu tahu lima masalah kesehatan berbahaya yang bisa saja terjadi hanya karena Anda lalai menjaga kesehatan gigi dan mulut seperti dilansir dari Dailymail, Selasa (17/4/2012) berikut ini.

1. Penyakit Jantung dan Stroke
Penyakit gusi biasanya diawali dengan penumpukan plak, lapisan lengket yang terdiri dari makanan dan bakteri yang bisa menyebabkan iritasi gusi, pendarahan dan radang gusi.

Peneliti dari New York State University menunjukkan bahwa mengobati penyakit periodontal (gusi bengkak) dengan scaling, root planing dan gel antibiotik secara signifikan menurunkan kadar protein C-reaktif dan fibrinogen yang berhubungan dengan tingginya risiko penyakit jantung.

Dalam studi kedua di Sydney Dental Hospital, dokter gigi di rumah sakit tersebut telah mencabut gigi sekitar 70 pasien akibat penyakit gusi tingkat lanjutan dan menemukan adanya penurunan kadar senyawa yang terkait dengan risiko penyakit jantung dalam jumlah yang besar.

Teorinya, bakteri periodontal masuk ke dalam aliran darah dan berjalan menuju organ utama untuk memulai infeksi baru. Diduga bakteri penyebab penyakit gusi ini juga dapat meningkatkan penyumbatan arteri.

Risikonya juga bisa saja sama dengan stroke. Penelitian terhadap 9.000 orang dewasa selama 15 tahun menemukan bahwa wanita yang memiliki antibodi melawan P. gingivalis, organisme yang paling sering dikaitkan dengan penyakit periodontal, memiliki kemungkinan dua kali lebih besar menderita stroke.

2. Tekanan Darah Tinggi
Sebuah laporan dari ahli jantung di University of Athens mengatakan ada kaitan antara periodontitis kronis dan peningkatan tekanan darah dan hipertensi (tekanan darah tinggi).

3. Penyakit Paru-Paru
Kaitan antara kesehatan mulut dan chronic obstructive pulmonary diseases (COPD), gangguan pernafasan yang disebabkan oleh merokok telah ditemukan.

Menurut American Academy of Periodontology, bakteri mulut dan bakteri lainnya bisa masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan tingginya tingkat infeksi pada pasien COPD.

4. Diabetes
Risiko terjadinya penyakit gusi tiga kali lipat lebih besar terjadi pada orang-orang yang mengidap diabetes.

Sebuah studi yang dilakukan oleh US National Institute of Diabetes and Kidney Disease menemukan kaitan antara tingkat keparahan penyakit periodontal dan kematian pada pasien diabetes.

Peneliti dari Newcastle University pun mengatakan adanya dampak dua arah diantara keduanya, diabetes meningkatkan risiko periodontitis dan peradangan periodontal memperburuk kontrol gula darah.

5. Kelahiran Prematur
Peneliti telah menemukan bahwa tingginya tingkat kelahiran bayi prematur terjadi diantara para wanita yang menderita penyakit periodontal.

Peneliti di University of Alabama juga menunjukkan bahwa infeksi gusi memicu peningkatan kadar prostaglandin dan senyawa lainnya yang bisa menginduksi kelahiran.

Rabu, 04 April 2012

Tes-tes Kesehatan yang NggakPenting Dilakukan


Tes-tes Kesehatan yang NggakPenting Dilakukan

Putro Agus Harnowo - detikHealth



(foto: Thinkstock)
Jakarta, Sembilan asosiasi kesehatan di Amerika Serikat, termasukAmerican Society of Clinical Oncology danAmerican College of Cardiology yang mewakili hampir 375.000 dokter menantang pendapat bahwa makin banyak pemeriksaan kesehatan yang diberikan kepada pasien akan lebih baik.

Untuk itu, asosiasi-asosiasi ini menyusun pedoman mengenai beberapa macam pemeriksaan kesehatan yang dianggap tidak perlu dilakukan.

Rekomendasi ini muncul setelah banyaknya pertanyaan dari berbagai pihak mengapa Amerika Serikat menghabiskan begitu banyak anggaran untuk perawatan medis dibanding negara maju lainnya namun masih menghasilkan hasil yang biasa-biasa saja secara keseluruhan.

Rekomendasi ini mungkin akan menimbulkan kontroversi dan memunculkan tudingan bahwa pihak medis tidak menggunakan kemoterapi dan perawatan lainnya untuk mengobati pasien kanker agresif seperti kanker kolorektal atau paru-paru. Kedua kanker ini memang sering tidak berefek jika hanya sekali mendapat kemoterapi.

"Tujuannya adalah untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu tanpa merugikan pasien. Manfaat lainnya adalah menghindari risiko yang berhubungan dengan tes medis, misalnya terkena radiasi. Kami melakukan ini karena kami pikir pemeriksaan kesehatan tidak diperlukan jika masalahnya sudah dapat disingkirkan," kata Dr Christine Cassel, presiden dari American Board of Internal Medicine seperti dilansir MSNBC, Kamis (5/4/2012).

Berikut adalah daftar tes kesehatan yang seharusnya tidak diperlukan tapi sering diberikan kepada pasien :

1. Melakukan scan computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) kepada orang yang telah pingsan tetapi tidak menunjukkan gejala neurologis, menurut American College of Physicians

2. Pemindaian kepadatan tulang untuk mengetahui gejala osteoporosis pada wanita berusia di bawah 65 tahun dan pria di bawah 70 tahun tanpa faktor risiko penyakit, menurut American Academy of Family Physicians (AAFP)

3. Tes pencitraan untuk pasien nyeri punggung bagian bawah dalam 6 minggu pertama gejalanya, kecuali ditemukan kondisi bahaya seperti gangguan neurologis berat, menurut AAFP.

4. Pap smear untuk wanita berusia di bawah 21 tahun karena kelainan pada remaja biasanya hilang dengan sendirinya, menurut AAFP.

5. Tes pencitraan pada orang dengan sakit kepala biasa, menurut American College of Radiology

6. Pencitraan tes tekanan jantung untuk orang dewasa sehat tanpa gejala penyakit jantung. Tes harus dilakukan hanya pada pasien yang berisiko penyakit jantung, penderita diabetes yang berusia lebih dari 40 tahun, dan penderita penyakit arteri perifer, menurut American College of Cardiology.

7. Antibiotik untuk penderita infeksi sinus karena sebagian penderitanya sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dalam beberapa minggu. Virus adalah penyebab sebagian besar infeksi sinus, sehingga antibiotik tidak akan membantu menurut American Academy of Allergy, Asthma & Immunology.

8. Kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dalam waktu 10 tahun untuk pasien berusia 50 tahun atau lebih yang telah diperiksa namun hasilnya negatif, menurut American Gastroenterological Association.

9. Tes pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kanker pada pasien dialisis dengan harapan hidup terbatas dan tidak ada tanda-tanda atau gejala kanker. Tes ini tidak meningkatkan kelangsungan hidup pasien dan dapat menyebabkan stres yang tidak perlu, menurut American Society of Nephrology.

Pada pasien kanker payudara dan kanker prostat, pencitraan seperti PET dan CT untuk mencari metastasis tidak dapat meningkatkan deteksi kanker atau memperpanjang kelangsungan hidup. Apalagi, menemukan metastase awal tidak akan meningkatkan kelangsungan hidup pasien kanker payudara.

"Tetapi tes pencitraan yang mahal ini seringkali mendeteksi perubahan sel sebagai kanker sehingga membuat dokter melakukan prosedur bedah yang tidak perlu atau memberikan pengobatan yang justru dapat mempersingkat hidup," kata Dr Lowell Schnipper, spesialis kanker di Boston yang membantu menysusun pedoman ini.

Penelitian menemukan bahwa 99% pasien kanker stadium awal yang memiliki risiko kanker prostat kecil tidak mendapatkan manfaat dari tes scan atau pencitraan.

Pada pasien kanker payudara yang telah berhasil diobati, pencitraan maupun tes darah dapat meningkatkan kelangsungan hidup. Namun kekambuhannya kebanyakan ditemukan melalui pemeriksaan fisik atau mammogram.

"Mengapa dokter terus melakukan pemeriksaan ini? Kebanyakan dokter memang menyadari bahwa tes ini tidak bermanfaat bagi pasien Tapi dalam pengalaman saya sendiri mengobati pasien kanker payudara, kadang-kadang ketika saya menjelaskan bagaimana prosedur ini tidak membantu pasien, pasien akan berkata, 'pemeriksaan ini akan membantu saya tidur nyenyak di malam hari'. Dan saya pun melakukannya," kata Schnipper.

(pah/ir

Mengenal Hakikat Ijma’


Mengenal Hakikat Ijma’

April 4th 2012 by Abu Muawiah | Kirim via Email
AL-IJMA’ (KONSENSUS ULAMA ISLAM)
Definisi al-Ijma’ (Konsensus Ulama)
al-Ijma’ dalam makna etimologi berarti keinginan kuat dan kemauan keras akan sesuatu.
Sebagaimana makna ini tercakup dalam firman Allah ta’ala,
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ
“Maka karena itu bulatkanlah keputusan kalian. “ (Yunus: 71)
Dan Nabi r bersabda,
لاَ صِياَمَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّياَمَ مِنْ اللَّيْلِ
“Tidak sah puasa bagi seseorang yang tidak meniatkan puasa dari malam harinya.”[1]
Juga al-Ijma’ dalam tinjauan etimologi bermakna kesepakatan[2].
Adapun definisi al-ijma’ dalam termis para pakar fiqh Islam, yaitu:
اِتِّفاَقُ فُقَهاَءِ العَصْرِ عَلىَ حُكْمِ الحاَدِثَةِ مِنْ الأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ فِيْهاَ خِلاَفٌ
“Kesepakatan para fuqaha pada sebuah zaman terhadap suatu hukum di antara hukum-hukum syara’ yang terjadi, tanpa di dahului adanya silang pendapat sebelumnya.”[3]

Dasar Acuan al-Ijma’
Dasar acuan (mustanad) al-Ijma’ adalah dalil yang mendasar adanya kesepakatan para ulama mujtahidin. Dan dalil tersebut dapat berupa nash dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan juga dapat berupa qiyas (analogi hukum), ‘urf dan selainnya.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tidaklah saya mengatakan dan tidak juga seorangpun di kalangan ulama : ‘perkara ini perkara yang disepakati’, kecuali pada persoalan anda tidak mendapati seorang alim kecuali dia mengatakan hal tersebut kepada anda dan dia menhikayatkannya dari alim sebelumnya, semisal –tentang- shalat dhuhur empat raka`at, pengharaman khamar dan yang serupa dengan perkara ini …”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Tidaklah didapati suatu permasalahan yang disepakati, kecuali terdapat penjelasan dari Rasulullah. Hanya saja terkadang penjelasan tersebut tersembunyi bagi sebagian kaum manusia (yaitu sebagian ulama), dan dia mengetahui adanya ijma’ lantas berargumen dengan al-ijma’. Sebagaimana seseorang yang tidak mengetahui inferensi dalil syara’ lalu berdalil dengan nash syara’.
al-Ijma’ adalah dalil kedua setelah nash syara’, sebagaiman beberapa contoh di dalam al-Qur`an. Demikian pula al-Ijma’ adalah dalil yang lain, seperti dikatakan: Hal itu telah ditunjukkan oleh al-Kitab, as-Sunnah dan al-Ijma’.”
Lalu beliau rahimahullah melanjutkan, “Karena segala persoalan yang ditunjukkan oleh al-ijma’, juga al-Kitab dan as-Sunnah telah menunjukkan hal tersebut. Dan segala hukum yang ditunjukkan oleh al-Qur`an, maka Rasulullah r akan menyadur darinya … dan tidaklah di dapat suatu permasalahan yang terdapat ijma’, kecuali pada permasalahan tersebut terdapat nash …”
“Ibnu Jarir dan selain beliau mengatakan: Tidaklah ijma’ menjadi valid kecuali di dasari oleh nash yang mereka –para ulama- kutip dari Rasulullah r seiring dengan pengakuan mereka akan validitas al-qiyas. Dan kami tidak mensyaratkan agar semua ulama mengetahui keberadaan nash syara’. Lalu mereka mengutip nash tersebut secara makna sebagaimana hadits-hadits diriwayatkan, akan tetapi kami telah menelusuri dengan metode al-istiqraa` setiap tempat yang terdapat –klaim- ijma’, hingga kami mendapati seluruhnya terdapat keterangan nash. Dan sebagian besar ulama tidaklah mengetahui keberadaan nash syara’ …”[5]
Eksistensi al-Ijma’
Eksistensi al-ijma’ sebagai dasar pijakan hukum dan sebagai salah satu di antara dalil-dalil syara’ dalam penetapan hukum, ditunujukkan oleh al-Qur`an dan as-Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menyelisihi Rasulullah setelah terang baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka akan Kami palingkan dia kepada apa yang dia berpaling kepadanya dan Kami campakkan ke dalam Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembalian.” (an-Nisaa`: 115)
Ayat ini menunjukkan keharusan mengikuti jalan orang-orang yang beriman dan keharaman menyelisihi mereka. Sebagaimana hal tersebut juga disebutkan oleh al-Imam asy-Syafi’i[6].
Dan firman Allah ta’ala:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan, agar kalian menjadi saksi atas seluruh kaum manusia, dan Rasul akan menjadi saksi atas kalian.” (al-Baqarah: 143)
Dan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Dan firman Allah ta’ala lainnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
 “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada para ulim amri di antara kalian. Dan jika kalian berbeda pendapat pada suatu persoalan maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (an-Nisaa`: 59)
Ayat ini mengindikasikan, jikalau tidak terjadi silang pendapat di antara kaum muslimin, maka tidak menjadi keharusan untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Menunjukkan bahwa al-ijma’ adalah dalil yang shahih.
Dan Rasulullah r bersabda,
لاَ تَجْتَمِعُواْ أُمَّتِيْ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
“Dan tidaklah umatku akan berkumpul di atas kesesatan.”[7]
Dan pada hadits lainnya, dari hadits Jubair bin Muth’im yang diriwayatkan oleh Ahmad dan hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah r bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ المُسْلِمِ : اخْلاَصُ العَمَلِ لِلَّهِ وَالمُنَاصَحَةُ لِوُلاَةِ الأَمْرِ وَلُزُوْمُ جَماَعَةِ المُسْلِمِيْنَ
“Terdapat tiga perkara dimana hati seorang muslim  tidak akan dengki: ikhlas beramal karena Allah, saling menasihati bagi para pemimpin dan berpegang teguh dengan jama`ah kaum muslimin.”[8]
Dan dari hadits Ibnu Abbas, Rasulullah r bersabda,
مَنْ فاَرَقَ الجَماَعَةَ ماَتَ مَيْتَةً جاَهِلِيَّةً
“Barang siapa yang memisahkan diri dari jama`ah, maka dia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.”[9]
Ragam al-Ijma’[10]
Secara umum al-Ijma’ terbagi menjadi dua bagian:
Pertama : al-Ijma’ ash-Sharih (الإحماع الصريح)
Yaitu kesepakatan setiap mujtahidin terhadap suatu hukum permasalahan secara jelas dan terang. Semisal masing-masing mujtahid mnegutarakan pandangannya, dan pandangan mereka seluruhnya bersesuaian pada hukum masalah tersebut.
Inferensi al-ijma’ ash-sharih ini qath’i.
Kedua : al-Ijma’ as-Sukuti (الإحماع السكوتي )
Yaitu, dimana sebagian ulama mujtahidin mengutarakan pandangan mereka pada suatu hukum permasalahan, lalu mujtahidin yang lainnya mendiamkan hukum tersebut tanpa adanya persetujuan yang jelas maupun pengingkaran, setelah permasalahan tersebut menyebar luas. alijma’ as-sukuti tergolong di antara dalil yang bersifat zhanni.
Sebagian ulama lainnya membagi al-ijma` menjadi tiga bagian:
  1. al-ijma’ al-ihaathi (الإجماع الإحاطي )
Yaitu penetapan ijma’ dengan mengetahui setiap pandangan para ulama mujtahidin pada setiap permasalahan.
  1. al-ijma’ al-istiqraa`i (الإجماع الاستقرائي )
Yaitu penetapan ijma’ dengan menelusuri (al-istiqraa’) setiap pandangan ulama dan anda tidak mendapati adanya penyelisih.
Hal ini membutuhkan penelusuran menyeluruh dan verikatif pada pandangan seluruh ulama mujtahidin. Kalaupun hal ini secara logika memungkinkan, namun merupakan suatu yang sangat sulit untuk direalisasikan.
  1. al-ijma’ at-taqriri (الإجماع الاقراري)
Yaitu penetapan ijma’ dengan menelusuri pandangan ulama yang menyelisihi hukum yang telah ditetapkan. Intinya untuk mengetahui ketiadaan penyelisihan dan yang mengingkari hukum masalah tersebut. Penetapan ini walaupun juga hal yang sulit untuk dideskripsikan, namun lebih ringan dari al-ijma al-istiqraa`i. Jenis al-ijma’ yang ketiga ini dikenal juga dengan istilah al-ijma’ as-sukuti.


[1]  Diriwayatkan oleh an-Nasaa`i 4/197 dan selainnya.
[2]  Lihat makna ini di dalam at-Ta’rifaat hal. 24, al-Qamus al-Muhith hal. 917, al-Kulliyaat hal. 42, Mukhtar ash-Shihah hal. 70-71, Mujmal al-Lughah 1/198, al-Mahshuul 4/19-20, Nihaayah as-Suul 3/237, Syarh al-Lma’ hal. 179, al-Bahru al-Muhith 4/435 dal al-Mustashfaa 1/173.
[3]   Lihat definisi ini di dalam al-Mahshuul 4/20, al-Ihkaam karya al-Amidi 1/167, al-Mustashfaa 1/173, Nihayah as-Suul  3/237, Syarh al-Muhalli ‘alal al-Waraqaat hal. 164-165, Jam’u al-Jawaami’ 2/176, Syarh al-Luma’ 2/665, al-Hudud hal. 63, at-Ta’rifaat hal. 24, al-Kulliyaat karya Abul Baqa` hal. 42.
[4]  ar-Risalah no. 1559 hal. 534. Berkata asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam komentar beliau terhadap ucapan al-Imam ini, “Yang beliau maksud bahwa ijma’ tidaklah menjadi suatu ijma’ kecuali pada persoalan yang telah maklum secara aksiomatik dalam agama ini, …”
[5]  Lihat Majmu’ al-Fatawa 19/195  dan silahkan melihat perkataan asy-Syathibi terkait hal ini di dalam al-Muwafaqaat 1/50-51, al-Bahru al-Muhith 3/503
[6]  Lihat Ahkam al-Qur`an 1/39
[7]  Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 4/no. 2167 dan beliau berkata, “hadits ini hadits yang gharib dari jalan ini.”, juga oleh Ibnu Majah dari hadits Anas  2/1303, al-Hakim di dalam al-Mustadrak 1/116. as-Sakhawi menyebutkan, “Secara keseluruhan hadits ini hadits dengan matan yang masyhur dan sanad-sanad yang sangat banyak serta beberapa riwayat  penguat baik secara marfu’ atau selainnya.”
[8]  Imam Ahmad di dalam al-Musnad 4/80, dan at-Tirmidzi di dalam as-Sunan 5/34.
[9]  Diriwayatkan oleh al-Bukhari 5/13 dan Muslim 3/1475.
[10]   Lihat pembahasan ini di dalam Raudhah an-Nazhir , al-Mahshul 4/153, al-Bahru al-Muhith 4/494, Syarh al-Kaukab al-Munir 2/210, Nasyr al-Bunuud 2/91, al-Ibhaaj 2/379-380, Muqaddimah fii Ushul Fiqh libni al-Qashshaar al-Maaliki hal. 184-185, Syarh al-Luma’ 2/690-691, Jam’u al-Jawaami’ disertai Syarh al-Muhalli 2/187-188 dan 191, Miftaah al-Wushul hal. 165, Ushul as-Sarkhasi 1/303
[Ditulis oleh Ust. Abu Zakariah Al-Makassari hafizhahullah]

Perbuatan Bid’ah: Amalan Yang Tertolak (Kajian Hadits Ke-5 Arbain Annawawiyyah)


Perbuatan Bid’ah: Amalan Yang Tertolak (Kajian Hadits Ke-5 Arbain Annawawiyyah)

Oleh Ustadz Kharisman

عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم [ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak (H.R alBukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.


PENJELASAN :
          Hadits ini adalah patokan lahiriah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan. Jika suatu amalan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka tertolak. Meski pelakunya mengamalkan dengan ikhlas hanya karena Allah. Karena itu, syarat diterimanya amalan ada 2 :
  1. Ikhlas karena Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits pertama yang lalu.
  2. Mengikuti tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
Perbuatan yang diada-adakan dalam Dienul Islam, yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullahshollallaahu ‘alaihi wasallam disebut dengan bid’ah.


DEFINISI BID’AH
          Bid’ah secara bahasa artinya adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam alQur’an ada penyebutan lafadz bid’ah secara bahasa tersebut, di antaranya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Allahlah yang mengadakan langit dan bumi (tanpa contoh sebelumnya)(Q.S alBaqoroh:117).
Makna bid’ah secara istilah adalah :
Jalan yang ditempuh dalam Dien, yang diada-adakan, menandingi syariat, yang niat melaksanakannya adalah sebagaimana niat seseorang menjalankan syariat (al-I’tishom karya al-Imam asy-Syathiby).

PENJELASAN DEFINISI BID’AH
Beberapa karakteristik sesuatu hal dikatakan sebagai bid’ah :
1)    Telah menjadi sebuah ‘jalan’.
Bukan sesuatu hal yang sekedar ‘pernah’ dilakukan, tapi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan, sehingga menjadi ‘jalan’.
2)    Dalam urusan Dien (bukan duniawi).
Dalam urusan duniawi dipersilahkan berinovasi seluas-luasnya selama tidak ada larangan dari alQur’an maupun Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian (H.R Muslim)
3)    Diada-adakan, tidak ada dalilnya.
Tidak ada dalil shahih yang menjadi landasannya. Jika ada dalil, bisa berupa hadits lemah atau hadits palsu, atau ayat yang ditafsirkan tidak pada tempatnya.
4)    Menandingi syariat
Tidaklah seseorang melakukan sesuatu bid’ah kecuali Sunnah yang semisalnya akan mati.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya(H.R Ahmad dari Ghudhaif bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik) dalam Fathul Baari (13/253))
Contoh: bacaan-bacaan setelah selesai sholat fardlu banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Namun, ada seseorang yang karena merasa mendapatkan ijazah bacaan dari gurunya (meski tidak ada dalilnya dari hadits Nabi), selalu mengulang-ulang bacaan yang diajarkan tersebut setelah selesai sholat. Misalkan, membaca Laa Ilaaha Illallaah 333 kali, disertai keyakinan keutamaan-keutamaannya (memperlancar rezeki, kewibawaan, dsb). Akibatnya, ia akan tersibukkan dengan amalan dari gurunya tersebut dan meninggalkan Sunnah Nabi yang sebenarnya.
5)    Niat melakukannya adalah sebagaimana orang berniat dalam melakukan syariat (untuk mendekatkan diri kepada Allah).
Penjelasan ini disarikan dari Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh ketika mensyarh hadits ini (Syarh al-Arbain anNawawiyyah)


SEMUA BID’AH ADALAH SESAT
Semua bid’ah -secara istilah- sebagaimana definisi di atas adalah sesat.
Sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah sesat (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah)
Dalam hadits Jabir dinyatakan bahwa Nabi selalu mengulang-ulang ucapan semacam itu pada permulaan-permulaan khutbah beliau baik pada saat Khutbah Jumat atau di waktu lain

Ucapan para Sahabat Nabi:
Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridlainya- berkata:
اَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ikutilah (Sunnah Nabi) janganlah melakukan bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan seluruh bid’ah adalah sesat (diriwayatkan oleh Abu Khoytsam dalam Kitabul Ilm dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
الْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ أَحْسَنُ مِنَ الْاِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Sederhana di dalam Sunnah lebih baik dibandingkan bersungguh-sungguh di dalam bid’ah (riwayat al-Hakim).
(Maksudnya, sedikit amalan namun di atas Sunnah (sesuai bimbingan Nabi) lebih baik dibandingkan banyak beramal dan bersungguh-sungguh, namun di atas kebid’ahan)
Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya- berkata:
كلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya baik (diriwayatkan oleh alBaihaqy dalam al-Madkhal dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
Muadz bin Jabal –semoga Allah meridlainya- berkata:
فَإِياَّكُمْ وَمَا يُبْتَدَعُ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَة
Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam Dien) adalah sesat (Hilyatul Awliyaa’ (1/233)).
Ibnu Abbas –semoga Allah meridlainya-berkata:Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah dan istiqomah, ikutilah (Sunnah Nabi) jangan berbuat kebid’ahan (diriwayatkan oleh ad-Daarimi).
Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya- berkata:
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalamAl Ibanah).