Halaman

Selasa, 24 Juli 2012

Iqamah


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)

Hukum Iqamah

Adzan dan Iqomat (bagian tiga)


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Adzan Dikumandangkan Pada Waktunya

Keutamaan Bersegera Menuju Shalat


Keutamaan Bersegera Menuju Shalat

February 27th 2010 by Abu Muawiah | Kirim via Email
13 Rabiul Awal

Abu Hurairah  berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat.”(HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwasanya Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Kalau seandainya manusia mengetahui besarnya pahala yang ada pada panggilan (azan) dan shaf pertama kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan undian maka pasti mereka akan mengundinya. Dan kalaulah mereka mengetahui besarnya pahala yang akan didapatkan karena bersegera menuju shalat maka mereka pasti akan berlomba-lomba (untuk menghadirinya). Dan kalaulah seandainya mereka mengetahui besarnya pahala yang akan didapatkan dengan mengerjakan shalat isya dan subuh, maka  pasti mereka akan mendatanginya meskipun harus dengan merangkak.” (HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 437)
Penjelasan ringkas:
Bersegera menuju ke masjid merupakan amalan yang sangat disunnahkan dengan beberapa alasan:
a.    Dia merupakan perbuatan bersegera dan berlomba-lomba menuju kepada kebaikan, dan ini merupakan sifatnya para nabi dan orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala menyatakan, “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 61) Allah Ta’ala juga berfirman, “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. “ (QS. Ali Imran: 114) Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya`: 90) Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148 dan Al-Maidah: 48)
b.    Bisa mendapatkan shalat berjamaah sejak dari takbiratul ihram dan tidak ketinggalan satu rakaat pun.
c.    Bisa mendapatkan shaf yang pertama, dengan pahala yang dijanjikan pada hadits di atas.
d.    Pahala menunggu shalat bisa lebih banyak dia dapatkan. Karena jika dia datang ke masjid jauh sebelum iqamat dikumandangkan maka berarti selama itu dia menunggu shalat, dan selama itu pula pahala shalat mengalir untuk dirinya.
Karenanya, bagi yang tidak mempunyai urusan setelah maghrib, maka disunnahkan baginya untuk tidak pulang, akan tetapi dia tinggal di masjid untuk menunggu shalat isya, sambil dia isi dengan ibadah lainnya. Demikian pula antara zuhur dengan ashar dan antara ashar dengan maghrib.
Maka termasuk amalan mulia di zaman ini adalah adanya majelis ilmu yang diadakan habis maghrib atau habis ashar, karena hal tersebut akan mendorong yang menghadirinya untuk menunggu waktu shalat berikutnya.
e.    Selamat dari ancaman Nabi -alaihishshalatu wassalam-:
لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ
“Terus-menerus suatu kaum membiasakan diri untuk terlambat mendatangi shalatnya, sampai Allah juga akan mengundurkan mereka (untuk masuk ke dalam surga).” (HR. Muslim no. 662 dari Abu Said Al-Khudri )
Keutamaan lain yang tersebut dalam dalil-dalil di atas:
1.    Keutamaan shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri.
2.     Keutamaan menyempurnakan wudhu.
3.    Keutamaan berwudhu di rumah sebelum ke masjid, dan bukannya berwudhu setelah tiba di masjid. Ini karena pahala yang tersebut dalam hadits Abu Hurairah yang pertama di atas, hanya bisa didapatkan oleh orang yang berwudhu dari rumahnya dan memang niatnya keluar adalah untuk shalat. Wallahu a’lam.
4.    Keutamaan memperbanyak langkah kaki ke masjid, baik pergi maupun pulangnya.
5.    Keutamaan untuk berdiam di tempat shalatnya setelah dia selesai shalat, yaitu para malaikat akan mendoakan ampunan dan rahmat baginya. Adapun yang berpindah dari tempat shalat (wajib)nya menuju ke depan atau ke belakang, maka keutamaan ini tidak dia dapatkan, walaupun dia berpindah dengan tujuan untuk shalat sunnah di situ.
Karenanya sehabis shalat hendaknya dia tidak meninggalkan tempatnya, akan tetapi dia berzikir dan shalat sunnah di tempatnya itu.
6.    Keutamaan shalat isya dan subuh. Wallahu a’lam.

Rabu, 18 Juli 2012

Santan dan Seafood Bisa Usir Kolesterol Jahat


Ternyata Santan dan Seafood Bisa Usir Kolesterol Jahat

Putro Agus Harnowo - detikHealth


img
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
Jakarta, Kebanyakan orang berpendapat bahwa semua jenis kolesterol tidak baik untuk kesehatan, padahal ada beberapa jenis kolesterol yang justru bermanfaat bagi tubuh. Pemahaman ini semakin diperburuk dengan banyaknya orang yang berpantang semua makanan yang dianggap mengandung kolesterol, termasuk kolesterol baik seperti pada santan dan seafood.

"Ada kolesterol rantai pendek yang berfungsi mengusir kolesterol rantai panjang yang jahat dan sekaligus mencegah kapiler usus menyerap kolesterol jahat. Kolesterol ini disebut Phytosterol," kata dr Djoko Maryono DSDP, DSJP, FIHA, FACC, ahli penyakit jantung dalam acara Peluncuran Produk terbaru Hemavitoncardio dan Hemaviton Glucare di Tempo Scan Tower Jakarta, Kamis (19/7/2012).

Kolesterol jahat atau disebut juga kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) diketahui dapat menimbulkan plak serta mempersempit atau bahkan menyumbat pembuluh darah sehingga meningkatkan risiko jantung koroner. Asupan kolesterol ini banyak diperoleh dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti daging merah, jeroan dan mentega.

Banyak orang beranggapan bahwa makanan-makanan seperti santan, minyak kelapa dan seafood juga banyak mengandung kolesterol jahat. Ternyata, makanan ini memang mengandung kolesterol, namun kolesterol baik yang dapat mengusir kolesterol jahat. Pada santan, terkandung phytosterol yang baik untuk tubuh, sedangkan pada seafood juga terkandung zat serupa yang disebut marine cholesterol.

"Saya sangat menyayangkan ada banyak orang bilang masakan padang yang banyak bersantan bisa menaikkan kolesterol, padahal itu salah. Santan pada masakan padang itu baru berbahaya karena sering dihangatkan berulang-ulang. Minyak kelapa juga sebenarnya baik karena mengandung banyak kalori yang cepat diserap tubuh tanpa tertimbun menjadi lemak," kata dr Djoko.

Dr Djoko juga menyayangkan banyak orang kemudian berpantang makan seafood atau makanan laut karena takut kolesterol. Padahal selain mengandung kolesterol baik yang penting untuk memerangi kolesterol jahat, produk laut seperti udang, kepiting, teri dan banyak lainnya justru mengandung nutrisi penting, misalnya omega-3, kalsium dan magnesium.

Salah satu buktinya adalah jumlah orang yang mengalami kelebihan kolesterol di Jepang rendah, yaitu 5 banding 1000 orang. Sedangkan di Indonesia, jumlahnya bisa mencapai 27 banding 1000 orang. Rahasia Jepang tersebut terletak pada masyarakatnya yang gemar mengkonsumsi ikan, bahkan dalam keadaan hidup sekalipun.

Selain diperoleh dari bahan-bahan alami, phytosterol juga bisa diperoleh dari suplemen. Bahan ini berasal dari tumbuh-tumbuhan dan berfungsi menggantikan kolesterol yang diserap oleh saluran cerna sehingga membantu menurunkan kolesterol total dan kolesterol jahat atau LDL.
(pah/ir

Selasa, 17 Juli 2012

Tentang Acara Syukuran


Bookmark and Share
Pertanyaan:
Ana mau menanyakan bolehkah kita mengadakan tasyakuran dengan mengundang para kerabat untuk membaca surat yasiin bersama yang biasanya diadakan dalam rangka kelulusan ujian atau sedang mendapat suatu nikmat bahkan dalam rangka kita menempati rumah baru? kalau tidak boleh, lantas bagaimana cara kita untuk mengekspresikan rasa syukur kita? Mohon dijawab, dan syukron sebelumnya.

Jawaban:
Untuk pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:
Pertama, kegiatan/acara kegembiraan yang dilakukan dalam rangka kelulusan, kenaikan jabatan, penempatan rumah baru, dan semisalnya tidaklah mengapa selama maksud pelaksanaannya sekadar kegembiraan akan suatu nikmat yang Allah berikan kepadanya, bukan dengan maksud ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Kalau dengan maksud ibadah, pelaksanaan kegiatan/acara tersebut tentu akan tergolong ke dalam bentuk bid’ah dalam agama. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak dibangun di atas tuntunan kami, amalan tersebut tertolak.” [1]
Kedua, pengkhususan pembacaan surah Yâsîn pada acara seperti ini adalah hal yang tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan penganjuran hal tersebut, sementara suatu ibadah tidaklah boleh dilakukan, kecuali berdasarkan dalil Al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan membaca Yasin pada acara hajatan dan selainnya, tetapi seluruh hadits tersebut lemah, tidak boleh dijadikan sebagai sandaran hukum[2].
Ketiga, apabila kegiatan/acara diselenggarakan dalam rangka kegembiraan atau kesyukuran, kita harus memperhatikan beberapa hal:
  1. Kegiatan tersebut bukan suatu hal yang berulang. Hal ini karena suatu kegiatan kegembiraan yang berulang-ulang -dalam sepekan atau setahun- dianggap sebagai bid’ah. Dimaklumi bahwa hari raya menurut Islam hanyalah tiga hari: hari Jum’at, hari Idul Fitri, dan hari Idul Adha. Selain ketiga hari itu adalah perayaan yang dianggap bid’ah dalam agama.
  2. Tidak boleh berlebihan dan mubadzir dalam kegiatan kegembiraan tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan, sementara syaithan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” [Al-Isrâ`: 26-27]
  1. Dilakukan dalam kadar dan jumlah yang wajar, bukan seperti pesta yang menghadirkan ratusan orang.
Keempat,  seorang hamba yang mendapat suatu nikmat punya banyak cara untuk mengekspresikan kesyukurannya. Pada dasarnya, seorang hamba dikatakan bersyukur dengan lima pondasi[3]:
  1. Ketundukan hamba kepada Rabb-nya, yang untuk-Nya segala kesyukuran.
  2. Kecintaan hamba kepada Rabb-nya, yang berasal dari-Nya segala nikmat.
  3. Pengakuan dalam hati bahwa segala nikmat datang dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan milik Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
  4. Pujian hamba dengan lisannya terhadap segala nikmat yang dia dapatkan.
  5. Penggunaan nikmat-nikmat tersebut pada hal-hal yang Allah ‘Azza wa Jallacintai dan ridhai.
Dengan berpijak di atas pondasi-pondasi tersebut, seorang hamba semakin banyak mendekatkan dirinya kepada Allah pada setiap nikmat yang dia dapatkan. Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertutur,
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Sesungguhnya Nabi Allah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qiyamul lail sampai kedua kaki beliau pecah-pecah maka saya bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau pun menjawab, ‘Tidak (bolehkah) saya suka menjadi hamba yang bersyukur?’.” [4]
Demikian jawaban untuk pertanyaan ini, dengan mengingat bahwa tiga poin pertama jawaban tersebut kami sarikan dari fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalamFatâwâ Nûrun ‘Alâ Ad-Darb.
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.


[1] Diriwayatkan oleh Muslim.
[2] Bacalah tulisan kami perihal hadits-hadits lemah seputar keutamaan surah Yâsin pada Majalah An-Nashihah vol. 06 hal. 49-59.
[3] Bacalah Madârij As-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim rahimahullâh.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah dari hadits Al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallâhu ‘anhu.
Bookmark and Share

Senin, 16 Juli 2012

Ketinggian Hilal Harus 2 derajat ?


Ketinggian Hilal Harus 2 derajat ?

Oleh Ustadz Alfian
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)

Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan untuk berpegang kepada ru`yatul hilal untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, atau apabila gagal maka ditempuh cara istikmal (menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari).
Namun bersama jelasnya hadits tersebut setiap tahun kaum muslimin selalu rebut dan berselisih. Sebagian menyatakan bahwa ketinggian hilal minimal harus 2 derajat baru dinyatakan masuk Ramadhan atau Idul Fitri, sebagian menyatakan harus 4 derajat, dan masih banyak lagi. Kebingunan ini semakin runyam, ketika sebagian pihak sudah mengumumkan kapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah sejak jauh-jauh hari. Sehingga jauh hari sebelum Ramadhan datang sudah terbayang bahwa Ramadhan tahun tersebut, atau Idul Fitri tahun tersebut akan ada dua versi, alias umat Islam mesti tidak bareng dalam berpuasa atau berhari raya.
Sebagian pihak menyayangkan situasi perpecahan tersebut. Mereka mengatakan kenapa umat Islam tidak mau sepakat berpegang pada ilmu hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, karena hisab falaki merupakan ilmu yang sudah sangat canggih dan hasilnya akurat, tidak keliru. Sehingga hisab falaki bersifat qathi’i sementara ru`yah adalah zhanni.
Akurasi hisab falaki sebenarnya tidak diragukan lagi. Namun anggapan bahwa hisab falaki bersifat qath’itidak bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh pakar hisab dari LAPAN, “Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syari’at.”
Jadi sebenarnya, hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri tidak bisa murni, harus “disesuaikan” dengan hukum-hukum syar’i. Maka tidak bisa lepas dari kriteria-kriteria tertentu supaya sesuai dengan hukum syari’at, yang itu bersifat zhanni. Sehingga hisab falaki bukanlah suatu hal qath’ilagi, namun zhanni.
Ada beberapa kriteria hisab falaki,
1. Kriteria Ijtimak (Konjungsi)
Penjelasannya sebagai berikut, sebagaimana diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi, demikian pula Matahari dalam gerak semunya mengelilingi bumi. Peredaran Bulan lebih  cepat dibanding peredaran Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, dan itu terjadi berkali-kali. Pada saat Matahari terkejar oleh Bulan dan keduanya pada posisi pada garis lurus itulah yang disebut Ijtimak (konjungsi). Menurut kriteria ini, sesaat setelah ijtima’ sudah terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati.
Tentu saja, ilmu hisab falaki dengan sangat akurat mampu menghitung peredaran Matahari dan Bulan, dan mampu menentukan secara tepat kapan ijtima’. Namun ketentuan aturan (kriteria) bahwa sesaat setelahijtima’ itu terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati, dari mana kriteria ini? Jelas-jelas kriteria ini mengabaikan aturan syari’at bahwa hilal harus teramati oleh mata. Pakar hisab sendiri mengatakan, “Bulan baru astronomi atau ijtimak tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas bulan qamariyah.”
2. Kriteria Wujudul Hilal
Kriteria ini merupakan “penyempurna” kriteria sebelumnya. Kriteria ini menyatakan tidak cukup ijtimak, namun harus dilihat posisi Matahari dan Bulan pada senja hari setelah Ijtimak. Apabila pada senja hari tersebut Matahari tenggelam lebih dahulu, maka berarti tercapai satu kondisi bahwa Bulan sudah di atas ufuk (wujud) pada saat Matahari tenggelam, berapapun ketinggian Bulan/hilal tersebut. Maka keesokan harinya berarti telah masuk Ramadhan/Idul Fitri. Jadi yang penting menurut kriteria ini adalah posisi hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska terjadinya ijtimak. Saat itu hilal sudah wujud (ada di atas ufuk) meskipun tidak bisa teramati oleh mata. Termasuk ketika mendung sekalipun, asalkan hilal sudah di atas ufuk, maka besok sudah bisa berpuasa atau berlebaran.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa menghitung posisi Bulan/hilal ketika Matahari tenggelam. Berapapun ketinggiannya, entah 20 atau kurang, yang penting sudah di atas ufuk berarti sudah Ramadhan/Idul Fitri. Namun masalahnya, kriteria ini jelas-jelas bertabrakan dengan nash hadits. Hadits mempersyaratkan hilal harus terlihat dengan mata, tidak semata-mata posisi hilal di atas ufuk.

Maka jangan heran apabila kriteria wujudul hilal pun menuai banyak kritik dari sesama praktisi hisab. Dinilai bahwa kriteria ini sudah usang, tidak ada landasan hukumnya, dan masih banyak lagi.

3. Kriteria Imkanur Ru`yah (visibilitas hilal)
Kriteria ini tidak hanya mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska Ijtimak, namun memperhitungkan faktor-faktor lain sehingga mencapai kondisi Imkanur Ru`yah, yakni hilal memungkinkan untuk dilihat, meskipun tidak harus benar-benar terlihat. Kemudian dalam menentukan faktor-faktor imkan itulah, para ahli hisab sendiri berselisih. Ada yang mempersyaratkan ketinggian minimal 20, ada yang menyatakan minimal 40.
Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa memperhitungkan berapa ketinggian hilal tatkala Matahari tenggelam paska Ijtimak, apakah 60 , 50 ataukah 20. Namun bisa berselisih, misalnya jika hasilnya adalah 20, maka menurut pihak yang mempersyarakat ketinggian minimal adalah 40 maka belum masuk Ramadhan atau belum Hari Raya, sementara yang mempersyaratkan 20 maka besok sudah Puasa atau sudah Lebaran. Bingung?
Ada lagi yang memperhitungkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan, ada lagi yang memperhitungkan lebar hilal, dan sekian faktor lainnya. Dari manakah aturan-aturan tersebut datangnya? Sementara dalam syariat hanya dituntut hilal harus benar-benar terlihat oleh mata. Tidak sekedar imkan/visible (mungkin).Jika tidak bisa terlihat, terhalang mendung atau lainnya, maka ditempuh cara istikmal, meskipun secara hisab falaki hilal mungkin untuk terlihat karena ketinggian dan umur hilal sudah memenuhi kriteria secara hisab.
Maka kelompok hisab versi lainnya pun mengkritik tajam kriteria ini. Dianggapnya bahwa kriteria imkanur ru`yah ini terlalu rumit.
Sehingga sama-sama hisab, hasil hitungan posisi hilal pasti sama, pasti tepat, pasti akurat. Namun menyikapi hasil hitungan yang akurat tersebut para ahli hisab sendiri berbeda-beda. Misalnya, ketika mendapati hasil hisab posisi hilal +010 38′ 40″ dan sebelum telah terjadi ijtimak pada pukul 11:25:24 WIB; maka kelompok hisab versi wujudul hilal ini sejak akhir bulan Rajab mereka sudah berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan. Karena menurut mereka posisi hilal yang demikian berarti hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam.
Sementara kelompok hisab versi imkanur ru`yah akan mengatakan hasil hisab tersebut menunjukkan bahwa posisi hilal sangat rendah, sehingga mustahil untuk  bisa teramati. Jadi meskipun hilal sudah wujud namun belum imkan (belum memungkinkan) untuk dilihat/diru`yah.
Lain halnya dengan kelompok hisab versi ijtimak, bagi mereka adalah kapan ijtimak. Karena sudah diketahui ijtimak telah terjadi pada pukul 11:25:24 WIB maka mereka pun berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Yang kebetulan pengumuman mereka dalam hal ini sama dengan pengumuman kelompok hisab versi wujudul hilal. Namun kalau misalnya ijtimak terjadi pada pukul 6 pagi misalnya, belum tentu sama pengumuman mereka dengan pengumuman versi wujudul hilal, karena posisi hilal sore harinya masih negatif alias masih di bawah ufuk (belum wujud). Maka lihatlah, kelompok hisab pun ribut.
Apabila hilal terhalang mendung, maka menurut para ahli hisab, selama hasil perhitungannya menyatakan hilal sudah wujud, atau sudah imkan untuk dilihat tetap masuk Ramadhan. Maka jelas-jelas ini bertentangan dengan nash hadits yang mengatakan, Apabila hilal terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)
Apabila kita mau kembali kepada bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau hanya mengajarkan kepada kita cara ru`yatul hilal atau istikmal. Beliau sama sekali tidak menganjurkan umatnya untuk menjadikan hisab falaki sebagai patokan, dalam kondisi ilmu hisab falaki sudah ada pada masa beliau, dan sangat memungkinkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Namun beliau justru bersabda,
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)

Beliau juga bersabda,
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب »
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung.
Hadits ini tidak berarti melarang umat Islam untuk belajar membaca dan menghitung. Namun makna hadits ini adalah untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam tidak membutuhkan tulisan dan hitungan. Mereka cukup dengan syari’at yang Allah berlakukan buat mereka, yaitu menentukannya berdasarkan ru`yatul hilal.
Hilal tersebut harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil/terpercaya, adapun khusus untuk Ramadhan walaupun satu saksi adil saja sudah cukup.
Tidak boleh pula menjadikan ilmu hisab falaki sebagai landasan untuk menolak persaksian hilal.
Alhamdulillah, Allah memberikan taufiq kepada pemerintah negeri ini untuk senantiasa menjadikan ru`yatul hilal sebagai landasan.
Sementara itu para pembela hisab terus berupaya memberikan statemen-statemen yang membenarkan hisab, di antaranya,
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
  1. Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
  2. Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
  1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
  2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justeru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
  3. Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Sebenarnya, statemen tersebut hanya merupakan upaya justifikasi (pembenaran) tanpa ada landasan dalil syari’at. Anggapan di atas bisa dijawab sebagai berikut,
  1. Hisab dianggap lebih memberikan kepastian … dst. Namun ternyata pada prakteknya ternyata rumit. Karena hisab ternyata tidak bisa diterapkan secara murni, tidak lepas dari kriteria dan intepretasi, sebagaimana telah digambarkan di atas. Sehingga kepastian yang “ditawarkan” oleh hisab pun sulit terwujud.
  2. Hisab dianggap bisa menyatukan penanggalan. Ternyata pada prakteknya juga nihil. Justru sebalik, hisab pun tidak ada kata sepakat. Antar versi justru saling menghujat dan menyalahkan.
Maka manfaat apakah yang diharapkan dari hisab, sementara cara hisab jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya dalam syari’at. Bahkan bertentangan dengan kesepakatan para Salaful Ummah. Maka sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik bahwa generasi akhir umat ini tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang dengan generasi awal umat ini menjadi baik.
Tidak cukup membela hisabnya, mereka balik mencela ru`yah, yang merupakan ketetapan syari’at. Sungguh keterlaluan!! Tidakkah mereka menyadari dengan perbuatan mereka mencela ru`yah dan mengunggulkan hisab berarti mengkritik hukum Allah, berarti mengkritik Syari’at Islam yang telah sempurna, sebagaimana Allah firmankan :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah : 3).
Al-Imam Malik rahimahullah menegaskan berdasarkan ayat tersebut bahwa sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari tersebut (yakni pada Nabi) maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama. Maka sebagaimana hisab bukan bagian dari ketentuan hukum/syari’at Islam untuk penentuan awal Ramadhan pada masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam , maka pada hari ini pun hisab bukan merupakan bagian dari hukum/syari’at Islam.
Menjawab hujatan terhadap ru`yah  di atas,
  1. Ru`yah dianggap tidak bisa memastikan tanggal. … dst. Tidak ada masalah ru`yah tidak bisa memastikan tanggal. Dan praktek sistem hilal ini telah dipraktekkan oleh umat Islam sejak zaman Nabi, para khulafa`ur rasyidin, para khalifah setelahnya  selama bertahun-tahun, tidak ada masalah.
  2. Ru`yah dianggap tidak bisa menyatukan tanggal. … dst. Alhamdulillah ru`yah telah dipraktekkan oleh Umat Islam bertahun-tahun untuk menentukan Ramadhan dan Idul Fitri, dan mereka bersatu serta tidak ada masalah. Justru problem muncul tatkala sebagian pihak memunculkan ide penggunaan hisab falaki. Tanggal berbeda tidak ada masalah dalam ketentuan hukum Islam, di sana ada pembahasan mendetail dari para ‘ulama terkait hal tersebut. Yang menjadi masalah adalah penggunaan ilmu hisab falaki yang tidak ada dasarnya dalam ketentuan hukum Islam.
  3. Banyak faktor yang mempengaruhi ru’yah. Memang benar demikian adanya, oleh karena itu faktor-faktor tersebut tidak bisa dihisab. Sementara syari’at memberikan kriteria harus benar-benar terlihat, tidak sekedar wujudnya hilal di atas ufuk atau imkan/visible-nya hilal untuk dilihat walaupun tidak benar-benar terlihat. Kalau sekedar wujud atau imkan/visible ya memang bisa dihisab. Namun, kriteria yang dikehendaki dalam syari’at adalah ru`yah alias benar-benar terlihat. Meskipun secara hisab hilal sudah wujud atau imkan, namun faktanya tidak berhasil diru`yah, atau terhalang mendung maka belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Oleh karena banyak faktor yang mempengaruhi ru`yah sangat banyak, maka ru`yah bisa berhasil bisa gagal, dan syari’at tidak mengharuskan ru`yah itu selalu berhasil. Justru syari’at memberikan alternatif ketika ru`yah gagal yaitu dengan cara istikmal.
Maka menjadikan faktor geosentrik dan atmosferik sebagai poin kritik terhadap ru`yah merupakan pemutarbalikan fakta. Justru faktor tersebut merupakan di antara penghalang terbesar kenapa hisab tidak bisa dijadikan patokan untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri.
Adapun faktor halusinasi dan psikologis yang disebut-sebut sebagai penyebab kesalahan para peru`yah sebenarnya merupakan tuduhan yang dipaksakan oleh kelompok hisab. Dengan tuduhan tersebut mereka mementahkan persaksian ru`yah apabila berbeda dengan hisab. Atau sebaliknya, menihilkan faktor ini apabila bersesuaian dengan hisabnya.
Contohnya peristiwa pada Idul Fitri 1432 H / 2011 kemarin! Tatkala sampai laporan persaksian hilal, yang ketika itu hasil hisab menyebutkan ketinggian hilal hanya +010 49′ 57″. Maka kubu hisab Imkanur Ru`yahmenyatakan hilal dengan ketinggian tersebut mustahil terlihat. Maka mereka menolak persaksian tersebut. Karena dinilai persaksian tersebut tidak valid, tidak ilmiah, … dst. Mengapa demikian, lagi-lagi di antaranya masalah halusinasi atau faktor psikologis para peru`yah. Sebaliknya kubu hisab wujudul hilal membela persaksian tersebut. Kata mereka, kenapa persaksian tersebut ditolak, padahal Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dulu ketika ada yang bersaksi diterima, …. dst, demikian pembelaan mereka. Sudah tidak ada lagi kekhawatiran kesalahan peru`yah karena faktor halusinasi atau faktor psikologis.
Padahal, jika kita mau objektif, masalah faktor psikologis atau halusinasi ini justru muncul karena pengaruh hisab. Karena jauh-jauh hari sudah diketahui hasil hisab, sehingga para peru`yah terpengaruh dan merasa bahwa hilal harus terlihat berdasarkan hasil hisab tersebut. Akibatnya mempengaruhi pandangan mereka tatkala melakukan observasi (proses ru`yah) di lapangan. Maka ini justru pengaruh negatif adanya hisab falaki. Sehingga menjadikan masalah ini sebagai kelemahan cara ru`yah yang ditetapkan syari’at merupakan pemutarbalikan fakta dan kesombongan!
Maka tidak ada alasan bagi kaum muslimin kecuali mereka mau kembali kepada ketetapan aturan hukum-hukum/syari’at Islam secara total. Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu dengan cara yang telah ditetapkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu ru`yatul hilalatau istikmal.
Sebagaimana ditegaskan oleh banyak para ‘ulama – yang berkomitmen di atas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah – di antaranya oleh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,
Pertama, meninggalkan hisab falaki
Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.
Hanya dengan dua cara tersebut Umat Islam akan bisa bersatu. Sementara sangat disayangkan, di negeri ini penggunaan hisab falaki – dengan berbagai versinya – justru banyak disuarakan oleh ormas-ormas Islam yang katanya ingin memperjuangkan dakwah Islam. Sangat disayangkan, mereka ingin memperjuangkan Islam namun dengan cara-cara yang justru bertentangan dan menginjak-injak syari’at Islam itu sendiri.
Kaum muslimin dituntukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk memulai Ramadhan dan Ber idul Fitri selalu bersama-sama dengan Jama’ah (Pemerintah) mereka. Tidak berjalan sendiri-sendiri, masing-masing menentukan Ramadhannya dan Idul Fitrinya. Namun penetapan Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha merupakan tugas dan kewenangan pemerintah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :
« الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون »
Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah). (HR. At-Tirmidzi 697)

Maka atas segenap kaum muslimin adalah mereka mengikuti pengumuman pemerintah dalam penetapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada pemerintah negeri untuk menjalankan sistem ru`yatul hilal atau istikmal sebagai landasan dalam mengumumkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Alhamdulillah setiap tahunnya pemerintah senantiasa memperhatikan laporan persaksian dari berbagai titik Pos Observasi Bulan (POB) yang tersebar di sekian tempat di nusantara ini.
Apabila suatu ketika ada persaksian hilal yang ditolak oleh pemerintah, maka wewenang keputusan ada di tangan pemerintah, adapun kaum muslimin wajib mentaati keputusan pemerintah tersebut. Al-Imam Ahmad dan ‘ulama lainnya mengatakan, “Berpuasa dan beridul fitri dilaksanakan bersama penguasa dan kaum muslimin, baik ketika cerah maupun mendung.” Al-Imam juga mengatakan, “Kalau seandainya terjadi bahwa kaum muslimin berupaya melihat hilal pada malam ke-30 namun tidak berhasil, maka mereka menempuh cara istikmal 30 hari, namun ternyata kemudian sampai berita bahwa sebenarnya hilal terlihat pada sore hari malam ke-30 tersebut maka mereka mengqadha’ satu hari itu yang mereka terlanjur tidak berpuasa pada hari tersebut. Yang demikian tidak mengapa, mereka mendapat udzur bahkan mendapatkan pahala. Namun kalau seandainya mereka berpuasa berdasarkan berita dari ahli hisab, maka mereka tetap berdosa meskipun benar harinya. Karena mereka telah beramal berdasarkan sesuatu yang tidak diperintahkan.”

Minggu, 15 Juli 2012

Kebiasaan yang Buat Mata Relaks


Kebiasaan yang Buat Mata Relaks Setelah Lama Tatap Komputer

Eya Ekasari - wolipop


Dok. Thinkstock
Jakarta - Pekerjaan dan gaya hidup sering kali membuat mata jadi stres dan tegang. Menatap layar komputer selama berjam-jam merupakan salah satu penyebabnya. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang ternyata bisa mengatasi mata lelah.

Mata adalah salah satu indera yang memiliki fungsi penting dan berharga. Jika seseorang sudah mengalami mata lelah maka kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan penglihatanya serta menurunkan kinerja.

Mata lelah umumnya bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya, faktor lingkungan seperti stres di tempat kerja, rumah atau keadaan bising. Faktor pola makan, kurang asupan air dan beberapa vitamin seperti vitamin B12, D dan K, dan keturunan dan fisiologi, faktor genetik.

Meski begitu ada beberapa cara mudah yang bisa dilakukan untuk mengatasi mata lelah, seperti dikutip dari ezinearticle, yaitu:

1. Mengedip
Biasakan untuk mengedipkan mata. Saat tidak ada ketegangan, mata akan berkedip secara otomatis setidaknya 10-12 menit kali per menit. Orang yang menderita masalah penglihatan biasanya cenderung jarang berkedip. Akibatnya, mata terbuka lama dan mengakibatkan mata tegang, kering dan lelah.

2. Gerakan Mata
Anda bisa menghindari ketegangan pada mata dengan menggerakan bola mata dan mengalihkan fokus secara teratur. Terlalu lama menatap sesuatu --terutama layar komputer-- bisa membuat kemampuan mata menurun.

3. Melatih Pernapasan
Hal ini penting karena 30% dari udara yang kita hirup masuk untuk memberi 'makan' pada sistem penghilatan. Lakukan pernapasan yang berirama. Tidak hanya membuat mata lebih rileks, seluruh tubuh juga ikut santai. Fokus ada objek jauh, merupakan salah satu cara melepaskan ketegangan mata.

4. Postur Tubuh Tepat
Postur duduk yang tidak tepat seringkali dihubungkan dengan penglihatan yang buruk dan ketegangan pada beberapa area tubuh seperti, bahu, leher, dada dan wajah. Postur duduk yang tepat dan melakukan relaksasi secara terarur dapat membuat sirkulasi oksigen dalam tubuh lancar. Simak cara postur duduk yang tepat di sini.

(eya/hst)

Kamis, 12 Juli 2012

Hukum Penggunaan Bejana


Hukum Penggunaan Bejana

Oleh : Ustadz Kharisman
Penjelasan Bab
Bab ini akan menjelaskan tentang hukum-hukum terkait penggunaan bejana. Bejana yang dimaksud adalah segala bentuk media untuk menampung air atau makanan. Digunakan untuk bersuci atau makan dan minum, sehingga bejana bisa berupa timba, gayung, tempat air minum, piring, atau gelas, tempayan, dan semisalnya.
Apakah Hukum Menggunakan Bejana dari Emas dan Perak untuk Makan dan Minum?
Jawab : Hukumnya haram. Berdasar hadits:
لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ والْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
Janganlah kalian minum dengan bejana dari emas dan perak, dan jangan makan dengan bejana yang terbuat dari keduanya. Karena itu bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kalian (wahai orang beriman) di akhirat (Muttafaqun ‘alaih).
Bolehkah Menggunakan Bejana dari Emas atau Perak untuk Selain Makan dan Minum?
Jawab :
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam hal itu. Jumhur (mayoritas) Ulama’ berpendapat tidak boleh. Sebagian lagi menyatakan boleh. Karena Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang khusus untuk penggunaan makan dan minum saja. Ummul Mukminin, istri Nabi, Ummu Salamah juga memiliki al-juljul (tempat penyimpanan dengan semacam genta di dalamnya) yang terbuat dari perak (diriwayatkan alBukhari dalam Shahihnya). Pendapat yang lebih kuat adalah boleh. Namun, sebagai bentuk wara’ sebaiknya tidak digunakan untuk kehati-hatian (Syarh Riyadhus Sholihin Syaikh alUtsaimin (1/2162)).
Hal yang jelas tidak diperbolehkan adalah jika maksud penggunaannya untuk berbangga dan bermewah-mewah.
Jika sebuah bejana ada lubang atau retak, bolehkah ditambal dengan emas atau perak?
Jawab :
Tidak boleh ditambal dengan emas, namun boleh dengan perak. Syaratnya: tambalannya sedikit dan dilakukan karena keperluan bukan sebagai perhiasan.
Dalilnya adalah:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak (H.R alBukhari)
Bagaimana Hukum Menggunakan Bejana dan Pakaian yang Sebelumnya Pernah Dipakai Orang Kafir ?
Jawab :
Boleh dipakai jika telah suci dari najis. Jika terlihat ada najis pada benda-benda itu maka dicuci hingga suci, baru kemudian bisa dipakai. Jika tidak tampak adanya najis, maka boleh langsung digunakan. Nabi dan para Sahabat pernah berwudhu dengan menggunakan tempat air besar dari kulit (mazaadah) milik seorang wanita musyrik (Muttafaqun ‘alaih, dinukil secara makna oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram). Umar bin al-Khottob juga pernah berwudhu’ dari bejana (tempayan) milik orang Nashrani (riwayat asy-Syafi’i dan alBaihaqy, dishahihkan oleh asy-Syaukaany dalam Nailul Authar). Namun, hendaknya penggunaan bejana orang kafir untuk makan dan minum adalah alternatif terakhir jika tidak ditemui lagi yang lainnya.
Dalam hadits, Abu Tsa’labah pernah bertanya:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ
Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami berada di negeri kaum Ahlul Kitab. Apakah kami boleh makan dari bejana mereka?
Nabi menjawab:
فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا
Kalau engkau bisa menemukan yang selainnya, janganlah makan dengan bejana itu, namun jika engkau tidak menemukan selainnya, cucilah, dan makanlah darinya (H.R alBukhari)
Bagaimana Hukum Menggunakan Bejana yang terbuat dari Kulit?
Jawab :
Boleh menggunakan bejana dari kulit, dengan syarat:
1. Kulit tersebut adalah kulit binatang yang halal dimakan, seperti : sapi, kambing, rusa, kelinci, unta, dan semisalnya.
2. Kulit tersebut sudah disamak (jika berasal dari bangkai, tidak melalui penyembelihan syar’i).
Sebagai contoh, jika seandainya ada bejana yang dibuat dari kulit kucing, maka tidak boleh digunakan, karena bukan berasal dari kulit binatang yang halal dimakan (poin 1). Meski telah disamak kulit itu tetap najis tidak bisa digunakan, karena Nabi bersabda:
فَإِنَّ دِبَاغَهَا ذَكَاتُهَا
Karena sesungguhnya menyamaknya adalah (bagaikan) penyembelihan terhadapnya (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ahmad, adDaraquthny, al-Hakim dengan lafadz anNasaai, dan alHafidz Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih dalam Talkhiisul Habiir).
Pendapat ini adalah pendapat dari Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan asy-Syaikh al-Utsaimin. Sedangkan jika hewan yang termasuk jenis hewan yang halal dimakan (poin ke-1) dan telah disembelih dengan sesembelihan syar’i, maka secara otomatis kulitnya sudah menjadi suci tanpa harus disamak (Syaikh al-Utsaimin dalam Liqaa’ Baabil Maftuh). Yang harus disamak kulitnya adalah jika ada jenis hewan pada poin ke-1 menjadi bangkai karena mati sakit, tertabrak, dan semisalnya.
Mohon ringkasan pembagian kulit binatang yang harus disamak dengan tidak
Jawab :
Ada 3 jenis kulit binatang berdasarkan kategori kesucian maupun boleh disamak atau tidaknya.
1. Kulit binatang yang suci meski disamak atau tidak, yaitu kulit binatang yang halal dimakan (sapi, kambing, rusa, kelinci, dsb) dan telah disembelih secara syar’i.
2. Kulit binatang yang menjadi suci jika disamak, yaitu kulit binatang pada poin ke-1 namun tidak melalui penyembelihan syar’i
3. Kulit binatang yang tidak pernah bisa disucikan meski disamak, yaitu kulit binatang yang tidak halal dimakan.
(Syaikh al-Utsaimin dalam Liqaa’ Baabil Maftuuh).
Apakah yang Dimaksud dengan ‘disamak’?
Jawab :
‘Menyamak’ adalah proses membersihkan kulit dari kotoran-kotoran dan menghilangkan bau yang ada padanya, sehingga bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Proses ini bisa dilakukan secara tradisional ataupun dengan proses yang lebih modern. Secara tradisional, prosesnya adalah dengan air dan semacam daun akasia. Nabi bersabda tentang kulit bangkai kambing (yang perlu disamak):
يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ
Akan membuat kulit itu suci: air dan al-Qorodzh (semacam daun akasia)(H.R Abu Dawud dan atTirmidzi)
Apakah Menutup Bejana adalah Sunnah? Apakah ada Hikmahnya?
Jawab :
Benar. Menutup bejana seperti tempayan, gelas, dan semisalnya adalah Sunnah, terlebih pada malam hari. Pada saat menutupnya disertai dengan menyebut Nama Allah. Hikmahnya adalah supaya syaithan tidak bisa membukanya (untuk masuk atau memberikan mudharat kepadanya) dan juga supaya penyakit tidak menghinggapinya.
وَأَوْكِ سِقَاءَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ وَخَمِّرْ إِنَاءَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ تَعْرُضُ عَلَيْهِ شَيْئًا
Dan ikatlah tempat minummu dan sebutlah Nama Allah, dan tutuplah bejanamu dan sebutlah Nama Allah, meski (menutupnya) dengan (cara) membentangkan sesuatu (batang) di atasnya (H.R alBukhari)
غَطُّوا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ وَأَغْلِقُوا الْبَابَ وَأَطْفِئُوا السِّرَاجَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَحُلُّ سِقَاءً وَلَا يَفْتَحُ بَابًا وَلَا يَكْشِفُ إِنَاءً فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا أَنْ يَعْرُضَ عَلَى إِنَائِهِ عُودًا
وَيَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ فَلْيَفْعَلْ
Tutuplah bejana, ikatlah tempat minum, tutuplah pintu, matikan lampu (yang dari api) karena syaithan tidaklah bisa membuka ikatan tempat minum, tidak bisa membuka pintu, tidak bisa menyibak tutupan bejana. Kalaulah kalian tidak menemukan kecuali hanya membentangkan di atas bejananya suatu batang dan menyebut Nama Allah, maka lakukanlah (H.R Muslim)
غَطُّوا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ
Tutuplah bejana, ikatlah tempat minum, karena dalam satu tahun ada suatu malam yang turun padanya wabah (penyakit). Tidaklah wabah itu melewati bejana yang tidak tertutup atau tempat minum yang tidak terikat, kecuali akan hinggap padanya (H.R Muslim)

Minggu, 08 Juli 2012

Kiat-kiat memiliki anak shalih

Kiat-kiat memiliki anak shalih

July 9th 2012 by Abu Zakariyya | Kirim via Email
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan banyak nikmat yang sangat besar atas hamba-hambaNya , dan diantara nikmat tersebut adalah anak yang shalih, ia merupakan amalan shalih bagi kedua orang tuanya semasa hidup dan setelah mereka meninggal, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“jika seorang hamba telah meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya” (riwayat Muslim no.1631)
Oleh karena itu para nabi dan orang-orang shalih terdahulu memiliki perhatian khusus dalam perkara ini, karena didalamnya terdapat kebaikan yang sangat besar.
Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang keadaan mereka :
“Di sanalah Zakariya berdo’a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a”. (Ali-Imran : 38)
Juga firmanNya :
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugeraahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqaan : 74)
 Sudah sepantasnya bagi kita untuk turut berusaha dan memperhatikan hal ini, dan diantara kiat-kiat untuk memiliki anak yang shalih sebagai berikut :
1. Berdoa kepada Allah agar diberikan keturunan yang shalih
Karena Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berdoa dan meminta kepadaNya, serta memberi jaminan akan mengabulkan doa mereka :
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Ku  akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Al-Mu’min : 60).
2. Memperbaiki diri sendiri
Allah Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim : 6)
 Allah Ta’ala memerintahkan diri kita terlebih dahulu agar terhindar dari api neraka kemudian keluarga kita, dan baiknya ayah dan ibu merupakan sebab yang sangat berpengaruh terhadap seorang anak karena mereka adalah panutan bagi anak-anaknya, dan anak-anak akan mengikuti dan mencontohi kedua orang tuanya, anak laki-laki akan mencontohi ayahnya dan anak perempuan akan mencontohi ibunya, Allah Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thuur : 21)
3. Memilih istri yang Shalehah atau suami yang shalih.
Barangsiapa yang ingin memiliki hasil panen yang baik dan berkualitas maka hendaknya ia mencari tanah yang baik dan berkualitas pula. Diantara hikmah yang besar dari sebuah pernikahan adalah untuk menghasilkan keturunan yang shalih yang hanya menyembah Allah Ta’ala dan berbakti kepada kedua orang tuanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara : karena harta, nasab, kecantikan dan agamanya, maka pilihlah yang memiliki agama pasti kalian akan beruntung.” (riwayat Al-Bukhary no.5090 dan Muslim no.1466).
Juga sabdanya :
“Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang paling baik dimiliki oleh seseorang? : wanita shalihah.”
 (riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/363 no.3281 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)
 Demikian pula sebaliknya, seorang wanita mencari dan memilih suami yang shalih.
Tentunya yang berperan penting dalam hal ini adalah kedua orang tua si wanita, merekalah yang akan menjadi sebab terwujudnya keturunan shalih yang akan keluar dari rahim putrinya, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menasehatkan dan mewasiatkan kepada kedua orang tua agar memilih bagi putri mereka seorang pria yang shalih
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Jika orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang melamar, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian), jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi.” (riwayat At-Tirmidziy no.1084 dan Ibnu Majah no.1967).
Demikianlah tuntunan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi salam dalam memilih calon menantu, yang dilihat adalah agama dan akhlaknya walaupun ia datang tanpa kendaraan dan pakaian yang mewah, karena harta yang banyak tidaklah bermanfaat jika pemiliknya adalah seorang yang tidak memiliki agama dan berakhlak buruk.
4. Membaca doa sebelum melakukan hubungan suami istri
Berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri diantara sebab yang membantu untuk mendapatkan keturunan yang shalih, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu :
“jika salah seorang diantara kalian membaca :
باسم الله, اللهم جنَبْنا الشيطان, و جنَبِ الشيطان ما رزقْتَنا
“Bismillah, ya Allah jauhkanlah setan dari kami, dan jauhkanlah setan dari rizki yang engkau berikan kepada kami”, maka keduanya diberikan seorang anak yang tidak akan di ganggu oleh setan selama-lamanya.” (riwayat Al-Bukhariy no.141 dan Muslim no.1434).
Yang dimaksud dengan kalimat “tidak akan diganggu oleh setan” adalah anak itu tidak terfitnah sehingga keluar dari agamanya menuju kekufuran dan tidak dimaksud dengannya ia maksum dari berbuat maksiat, hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Baary  (9/285-286).
5. Mendidik anak dengan amalan shalih
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Perintahkanlah anak kecil untuk shalat ketika ia berumur tujuh tahun, dan jika ia berumur sepuluh tahun maka pukullah (kalau ia meninggalkan shalat).” (riwayat Abu Dawud no.494 dan At-Tirmdziy no.407 dan berkata : “ini dalah hadits yang hasan”).
Berkata Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah tatkala mengomentari hadits ini :
“para ahli fiqih mengatakan : demikian pula puasa, agar hal itu menjadi latihan baginya untuk mengerjakan ibadah, supaya nantinya ia tumbuh dewasa dalam keadaan senantiasa di atas peribadahan dan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemungkaran, hanya Allah yang memberi  taufik” (tafsir Ibnu Katsir 8/167 tafsir surah At-Tahriim : 6).
Wallahu Ta’ala a’lam bishshawaab. (MT)

Senin, 02 Juli 2012

Hukum merayakan malam nisfu sya'ban

[ISNAD.net] Hukum merayakan malam nisfu sya'ban
1 message

postmaster <isnad.net@gmail.com> 2 July 2012 22:31
Reply-To: audiosalafi@googlegroups.com
To: "ISNAD.Net" <audiosalafi@googlegroups.com>
Hukum Perayaan Malam Nishfu Sya’ban
[Fatwa Syaikh Ibnu Baz –Rohimahulloh-]

Diterjemahkan Oleh: Abu Zakaria Irham Al-Jawiy
Semoga Alloh Menjaganya
Darul Hadits, Ahad 11 Sya’ban 1433

 بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أما بعد:

Malam pertengahan bulan Sya’ban atau yang lebih dikenal dengan malam
Nishfu Sya’ban, tidaklah ada bedanya dengan malam-malam lainnya. Namun
tatkala banyak muncul kegiatan-kegiatan tertentu pada malam tersebut,
bahkan diadakan perayaan serta ibadah khusus padanya, dituntut seorang
muslim untuk mengetahui hukum Alloh dan Rosul-Nya tentang semua
perkara tersebut, sehingga dia berjalan di atas ilmu dan kebenaran
dalam bertindak, bukan sekedar ikut-ikutan tanpa tahu apakah benar
atau tidak. [More...]

Oleh Karena itu, berikut ini kami kutipkan fatwa resmi dari imam yang
sudah tidak diragukan lagi keilmuannya; Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz –Rohimahulloh- tentang hukum perayaan malam Nishfu Sya’ban, baik
dengan mengkhususkan sholat malam padanya, atau puasa pada siangnya,
atau amalan-amalan lainnya yang sering dijumpai dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin, baik di negeri kita maupun yang lainnya.
Semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.
Nasalullohat Taufiq wal Hidayah.

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –Rohimahulloh-

الحمد لله الذي أكمل لنا الدين، وأتم علينا النعمة،
والصلاة والسلام على نبيه ورسوله محمد نبي التوبة والرحمة .
أما بعد :

Alloh telah berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan
telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagi kalian.” (Al Maidah: 3)

Alloh juga telah berfirman:

أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-
Syuro: 21)

Diriwayatkan di Shohihain (Shohih Bukhori dan Muslim) dari ‘Aisyah –
Rodhiyallohu ‘anha- dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-
bahwasanya beliau bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-adakan perkara pada agama kita ini yang bukan
darinya maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Bukhory-Muslim)

Dan diriwayatkan di dalam Shohih Muslim dari Jabir –Rodhiyallohu
‘anhu- bahwa Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- berkata dalam khutbah
beliau pada hari jumat:

أما بعد : فإن خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه
وسلم ،
وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة .

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shollallohu ‘alaihi
wasallam-, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara yang diada-
adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan (dalil-dalil di atas)
sangatlah banyak. Semua itu menunjukkan dengan tegas bahwa Alloh telah
menyempurnakan bagi umat ini agama mereka dan menyempurnkan nikmat-
Nya. Tidaklah Nabi-Nya meninggal kecuali beliau telah menyampaikan
agama ini dengan terang. Beliau telah jelaskan pada umat segala
perkara yang disyareatkan Alloh kepada mereka, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Beliau juga telah menjelaskan bahwa segala perkara
yang dibuat-buat manusia setelahnya dan mereka atas namakan Islam,
baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya tertolak, walaupun orang
yang mengada-adakan perkara tersebut niatnya baik. Para Shohabat telah
mengetahui hal yang demikian ini, juga para ulama Islam setelah
mereka. Sehingga mereka mengingkari kebid’ahan dan memperingatkan
manusia darinya, sebagaimana disebutkan oleh setiap orang yang menulis
tentang “Pengagungan Sunnah dan Pengingkaran Terhadap Bid’ah”, seperti
Ibnu Waddhoh, Ath-Thurtusy, dan Ibnu Syamah, serta yang lainnya.

Diantara perkara bid’ah yang diada-adakan sebagian manusia adalah
bid’ah perayaan malam ‘Nishfu Sya’ban’ dan pengkhususan harinya dengan
puasa. Perkara ini tidaklah dibangun di atas dalil sedikitpun. Telah
datang tentang keutaman ‘Nishfu Sya’ban’ hadits-hadits yang lemah yang
tidak boleh dijadikan sandaran. Semua hadits yang datang tentang
keutamaan sholat pada malam tersebut adalah palsu, sebagaimana
disebutkan oleh banyak ulama yang –insya Alloh- akan datang penyebutan
perkataan-perkataan mereka. Demikian pula telah datang atsar-atsar
dari sebagian salaf baik yang dari negeri Syam maupun lainnya tentang
malam tersebut.

Dan yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah: bahwa
peringatan Nishfu Sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang
menyebutkan keutamaannya semuanya dhoif, bahkan sebagiannya
maudhu’ (palsu). Diantara ulama yang memperingatkan tentang hal ini
adalah Al-Hafidz Ibnu Rojab dalam kitab beliau Lathoiful Ma’arif dan
yang lainnya. Hadits-hadits yang dhoif mungkin (ada peluang) untuk
diamalkan pada perkara ibadah yang telah tetap asalnya berdasarkan
dalil-dalil yang shohih. Adapun  peringatan malam Nishfu Sya’ban tidak
ada dasar yang shohih sama sekali sehingga penggunaan hadits dhoif
padanya bisa ditolelir. Kaidah yang agung ini telah disebutkan imam
Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rohimahulloh-.

Para ulama telah bersepakat bahwa yang wajib adalah mengembalikan
perkara yang diperselisihkan manusia kepada kitabulloh dan kepada
sunnah Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-. Apa yang telah
menjadi hukum keduanya atau salah satunya itulah syareat yang wajib
untuk diikuti. Apa saja yang menyelisihinya maka wajib untuk dibuang.
Dan ibadah apa saja yang tidak ada penjelasannya dalam kitab dan
sunnah maka itu adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi untuk
berdakwah kepadanya, sebagaimana firman Alloh:

يا أيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم
الآخر ذلك خير وأحسن تأويلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (An-Nisa: 59)

Alloh juga berfirman:

وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah)
kepada Alloh.” (Asy-Syuro: 10)

Alloh juga berfirman:

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali-Imron: 31)

فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم
ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليماً

“Maka demi Robb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)

Ayat-ayat yang seperti ini banyak, yang semua itu menetapkan tentang
wajibnya mengembalikan permasalahan khilaf kepada kitab dan sunnah,
serta wajibnya ridho dengan hukum kitab dan sunnah. (Juga
menunjukkkan) bahwa yang demikian itu adalah konsekuensi keimanan dan
itulah yang lebih baik bagi seorang hamba dalam waktu dekat maupun
yang akan datang. Sebagaimana firman-Nya:

وأحسن تأويلاً

“dan lebih baik akibatnya”

Al-Hafidz Ibnu Rojab dalam kitabnya Lathoiful Ma’arif tentang
permasalahn ini berkata: “Malam Nishfu Sya’ban, dulu sebagian tabi’in
dari negeri Syam seperti: Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir,
dan yang lainnya mengagungkan malam tersebut dan bersungguh-sungguh
dalam beribadah pada waktu itu. Dari merekalah manusia mengambil
keutamaan dan pengagungan terhadap malam Nishfu Sya’ban. Ada yang
mengatakan bahwa mereka itu mendapatkan berita-berita dari Isroiliyyat
(berita-berita dari bani isroil)…Kebanyakan ulama negeri Hijaz telah
mengingkari mereka, diantaranya: ‘Atho’, Ibnu abi Mulaikah, dan
Abdurrohman bin Zaid bin Aslam menukilkan pengingkaran dari para ahli
fiqih di Madinah. Yang demikian ini adalah pendapat para pengikut imam
Malik dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua kegiatan
tersebut adalah bid’ah…Adapun imam Ahmad tidak diketahui perkataan
beliau tentang malam Nishfu Sya’ban…”

Sampai pada perkataan beliau: “(Hadits) tentang sholat malam khusus
pada malam Nishfu Sya’ban tidak  ada satupun yang tetap dari
Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau.”

Pada perkataan beliau ini dengan tegas dinyatakan bahwa tidak tetap
sedikitpun dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat
beliau tentang malam Nishfu Sya’ban. Dan setiap perkara yang berdasar
dalil-dalil syar’i tidak tetap bahwa perkara tersebut disyareatkan,
tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengada-adakannya dalam agama
Alloh, baik dia melakukannya sendirian atau secara berjamaah. Baik dia
menyembunyikannya ataupun menampakkannya, berdasarkan keumuman sabda
Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR Bukhori- Muslim dan
lafadznya adalah lafadz Muslim]

Juga dali-dalil lain yang menunjukkan pengingkaran terhadap kebid’ahan
dan peringatan darinya.

Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida’
mengatakan: “Ibnu Wadhdhoh telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam
bahwa dia berkata: Kami tidak mendapati seorangpun dari Masyayikh kami
dan para ahli fiqih kami yang mengindahkan Nishfu Sya’ban, tidak juga
mengindahkan hadits dari Makhul. Mereka tidaklah menganggap bahwa
Nishfu Sya’ban itu mempunyai keutamaan diatas yang lainnya. Dikatakan
kepada Ibnu Abi Mulaikah: Sesungguhnya Ziyad An Numairy berkata:
“Sesungguhnya pahala pada malam Nishfu Sya’ban itu seperti pahala
lailatul qodar, maka Ibnu Abi Mulaikah pun berkata: “Seandainya saja
aku mendengarnya dan di tanganku ada tongkat pasti aku akan
memukulnya. Ziyad itu adalah tukang cerita!” [selesai]

Imam Asy-Syaukani dalam kitab al-Fawaid Al-Majmu’ah berkata: “Hadits
(yang berbunyi):

يا علي من صلى مائة ركعة ليلة النصف من شعبان ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة
الكتاب،
و -قل هو الله أحد- عشر مرات ، إلا قضى الله له كل حاجة ... الخ

“Wahai Ali, barangsiapa yang sholat sebanyak seratus rokaat pada malam
Nishfu Sya’ban, dia membaca pada setiap rokaat Fatihatulkitab dan
surat al-ikhlash sebanyak sepuluh kali, kecuali pasti Alloh akan
menunaikan setiap hajatnya….dst.

Hadits ini adalah hadits maudhu’ (hadits palsu). Pada lafadznya yang
jelas menetapkan pahala yang didapat oleh orang yang mengerjakannya ,
tidaklah ada keraguan bagi orang yang punya pengetahuan tentang
kepalsuannya. Dan para perowinya pun tidak dikenal (majhul). (Hadits
ini) telah diriwayatkan melalui jalan yang lain tapi semuanya maudhu’
dan para perowinya majhul. [selesai]

Beliau berkata pada kitab Al-Mukhtashor: “Hadits tentang sholat Nishfu
Sya’ban itu batil. Diriwayatkan oleh Ibnu hibban dari hadits ‘Ali:

إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها

“Jika tiba malam pertengahan bulan Sya’ban, maka kerjakanlah sholat
pada malamnya dan puasalah pada siangnya.” Hadits ini dhoif.”

Al-Hafidz Al-‘Iroqy berkata: Hadits tentang sholat malam Nishfu
Sya’ban adalah hadits palsu dan kedustaan atas nama Rosulullloh -
Shollallohu ‘alaihi wasallam-.

Imam Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ berkata: “Sholat yang dikenal
dengan nama Sholat Roghoib, yaitu: sholat dua belas rokaat antara
magrib dan isya’ pada malam jumat pertama di bulan Rojab, dan sholat
malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rokaat, dua sholat ini adalah
kebid’ahan yang mungkar. Janganlah seseorang tertipu dengan
disebutkannya dua sholat tersebut dalam kitab Quutul Quluub dan kitab
Ihya’ Ulumuddin. Jangan pula tertipu dengan hadits yang disebutkan
dalam dua kitab itu. Sebab semua itu adalah batil, jangan pula
terkecoh dengan sebagian imam yang masih belum jelas bagi mereka hukum
kedua sholat tersebut sehingga menulis lembaran-lembaran tentang
disunnahkannya kedua sholat itu.”

Syaikh Al-Imam Abu Muhammad ‘Abdurrohman bin Isma’il Al-Maqdasy telah
menulis sebuah kitab yang bagus tentang batilnya dua sholat itu.
Perkataan-perkataan ahli ilmu dalam perkara ini sangatlah banyak.
Seandainya kami mengutip semua perkataan mereka yang kami dapatkan
tentang permasalahan ini tentunya pembahasannya akan jadi penjang.
Mungkin apa-apa yang telah kami sebutkan ini cukup dan meyakinkan bagi
orang yang mencari kebenaran.

Dari ayat-ayat dan hadits-hadits serta perkataan para ulama yang telah
lalu penyebutannya, jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa
peringatan malam Nishfu Sya’ban baik dengan sholat atau yang lainnya,
serta pengkhususan siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang mungkar
menurut ahli ilmu. Semua itu tidaklah ada asalnya di dalam syareat
yang suci ini. Bahkan perkara itu muncul dalam Islam setelah masa para
sahabat. Cukuplah bagi pencari kebenaran baik pada peemasalahan ini
atau selainnya firman Alloh:

اليوم أكملت لكم دينكم

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian.” Dan ayat-ayat
lainnya yang semakna.

Juga sabda Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-adakan perkara pada agama kita ini yang bukan
darinya maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Bukhory-Muslim). Serta
hadits-hadits lainnya yang semakna.

Diriwayatkan di Shohih Muslim dari Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh
-Shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي ، ولا تخصوا يومها بالصيام من
بين الأيام ،
إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم

“Janganlah kalian mengkhususkan malam jum’at dari malam-malam lainnya
dengan sholat. Dan jangan kalian mengkhususkan siang harinya dari hari-
hari yang lain dengan puasa, kecuali jika hari tersebut jatuh pada
hari yang salah satu diantara kalian biasa puasa padanya.”

Seandainya saja pengkhususan suatu ibadah pada malam tertentu
dibolehkan, maka malam jumat lebih utama daripada yang lain. Sebab
siangnya adalah sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya,
berdasarkan hadits-hadits yang shohih dari Rosululloh -Shollallohu
‘alaihi wasallam-. Maka ketika Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-
memperingatkan dari pengkhususan malamnya dengan sholat, menunjukkan
bahwa malam-malam selainnya lebih berhak untuk tidak diperbolehkan
pengkhususan dengan ibadah tertentu, kecuali dengan dalil shohih yang
menunjukkan adanya kekhususan.

Tatkala lailatul qodar dan malam-malam di bulan Romadhon disyareatkan
sholat malam dan bersungguh-sungguh di dalam melaksanakannya, Nabi -
Shollallohu ‘alaihi wasallam- pun mengingatkan dan mendorong umatnya
untuk melakukannya. Dan beliau sendiri pun melaksanakannya sebagaimana
disebutkan di Shohihain dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- bahwa
beliau berkata:

من قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر الله له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa berdiri (sholat malam) pada bulan Romadhon dengan
keimanan dan harapan (kapada Alloh) maka Alloh akan ampuni dosa-
dosanya yang telah lalu”

ومن قام ليلة القدر إيماناً واحتساباً غفر الله له ما تقدم من ذنبه

“Dan barangsiapa berdiri (sholat malam) pada malam Lailatul Qodar
dengan keimanan dan harapan (kapada Alloh) maka Alloh akan ampuni dosa-
dosanya yang telah lalu”

Seandainya saja malam Nishfu Sya’ban atau malam jumat pertama di bulan
Rojab atau malam Isro’ Mi’roj disyareatkan pengkhususannya dengan
peringatan tertentu atau dengan ibadah tertentu, pasti Nabi -
Shollallohu ‘alaihi wasallam- akan menunjukkannya kepada umat ini atau
beliau sendiri yang akan melakukannya. Dan seandainya beliau
melakukannya, tentu para sahabat akan menyampaikannya kepada umat dan
tidak akan menyembunyikannya. (Sebab) mereka adalah sebaik-baik
manusia dan  yang paling semangat dalam memberi nasehat setelah para
Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-.

Engkau telah mengetahui dari perkataan-perkataan para ulama tadi,
bahwasanya tidak ada sedikitpun yang tetap dari Rosululloh -
Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya tentang keutamaan
malam jumat pertama di bulan Rojab, dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban
sehingga diketahui bahwa merayakannya adalah bid’ah yang diada-adakan
dalam Islam. Demikian pula pengkhususan suatu ibadah padanya adalah
bid’ah yang mungkar. Juga pada malam dua puluh tujuh Rojab yang
sebagian manusia meyakininya sebagai malam Isro’ Mi’roj. Tidak boleh
seseorang mengkhususkannya dengan ibadah apapun sebagaimana tidak
diperbolehkan seseorang untuk merayakannya, berdasarkan dalil-dalil
yang telah lewat. Inilah hukumnya andaikan saja malam Isro’ Mi’roj itu
diketahui kapan pastinya, lalu bagaimana jika ternyata yang benar dari
pendapat-pendapat para ulama bahwa malam tersebut tidak diketahui
(kepastian tanggalnya)?! Dan perkataan orang yang menyatakan bahwa
Isro’ Mi’roj itu terjadi pada malam dua puluh tujuh Rojab adalah
perkataan batil yang tidak ada landasannya sedikitpun dari hadits-
hadits yang shohih.

Hanya kepada Alloh-lah kita memohon agar memberikan taufiqNya kepada
kita dan kepada seluruh kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan
sunnah dan kokoh di atasnya serta menjauhi perkara-perkara yang
menyelisihinya. Sesungguhnya Dia itu Maha Pemberi lagi Penyayang.

وصلى الله على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .

[Dikutip dan disederhanakan dari:
Majmu’ fatawa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz: 2/ 882]

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Sumber: http://ahlussunnah.web.id