Halaman

Selasa, 26 Juni 2012

Bulan Sya'ban, antara Sunnah dan Bid'ah

Bulan Sya'ban, antara Sunnah dan Bid'ah
 
Oleh: Abu Umar Wira Bachrun Al Bankawy
 
Pendahuluan
Sebentar lagi kita akan meninggalkan bulan Rajab dan masuk ke bulan Sya'ban. Tulisan ringkas ini akan membahas beberapa perkara penting yang berkaitan dengan bulan ini, mulai dari sebab penamaan bulan Sya'ban sampai pembahasan sunnah dan bid'ah seputar bulan ini.
 
Alasan kenapa Bulan Sya'ban dinamakan Sya'ban
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau (4/1655),
 
"As Sakhawi rahimahullah mengatakan bahwa Sya'ban (dalam bahasa Arab artinya berpencar atau bercabang -pen) berasal dari  berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang. Mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan."
 
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Fathul Bari (5/743),
 
"Bulan Sya'ban disebut sya'ban karena pada bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air atau untuk melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk mencari air). "[1]
 
Sya'ban adalah Gerbang Ramadhan
 
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." (Muttafaqun 'alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
 
Untuk mencapai ampunan yang Allah janjikan maka diperlukan kesungguh-sungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya'ban. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak melakukan ibadah puasa di bulan Sya'ban sebagai persiapan untuk memasuki Ramadhan.
 
Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, beliau  berkata,
 
لَمْ يكن النبي - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
 
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi)
 
Tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan melewatkan bulan Ramadhan sebagaimana bulan-bulan lainnya, tidak diampuni dosanya wal 'iyadzu billah. [2]
 
Sunnah-sunnah di Bulan Sya'ban
Ada beberapa sunnah di bulan Sya'ban yang hendaknya diperhatikan:
 
1. Memperbanyak Puasa di Bulan Sya'ban
 
Sebagaimana hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha yang telah berlalu, beliau berkata,
 
لَمْ يكن النبي - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
 
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi)
 
Maksud ucapan beliau radhiyallahu 'anha "… berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya" adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya'ban, bukan pada keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. [3]
 
Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk memperbanyak puasa di bulan Sya'ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan lainnya. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya'ban ini adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadhan seperti shalat rawatib dan shalat wajib (maksudnya agar dia menjadikan puasa di bulan Sya'ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum dia masuk ke dalam puasa Ramadhan - pen.) [4]
 
2. Menghitung Hari Bulan Sya'ban
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ ، فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
 
"Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi tigapuluh hari." (Muttafaqun 'alaihi)
 
Sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. [5]
 
3. Tidak Mendahului Ramadhan dengan Puasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
 
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut." (Muttafaqun 'alaihi)
 
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang untuk mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa yang sudah menjadi rutinitas seseorang. Misalnya seseorang yang sudah terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadhan maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa. [6]
 
4. Tidak Berpuasa pada Hari yang Diragukan
 
Dari 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
مَنْ صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم -
 
"Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu Rasulullah –pen) shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih." Dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Abi Dawud no. 2022)
 
Yaumus syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya'ban apabila hilal tertutup mendung atau karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [7]
 
Faidah:
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
 
"Ketika masih tersisa separuh dari bulan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa." (HR. At Tirmidzi, beliau berkata "Hasan shahih.")
 
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan [8],
 
"Meski At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang lemah. Al Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini syadz[9]. Hadits ini menyelisihi riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu di mana Nabi bersabda,
 
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya."
 
Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadhan, atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya.
 
Kalau  pun haditsnya shahih, maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan sebagaimana pendapat sebagian ulama. Kecuali apabila dia sudah memiliki rutinitas puasa, maka hendaknya dia tetap pada rutinitasnya tersebut meski di paruh kedua bulan Sya'ban.
 
Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga:
 
1. Setelah pertengahan Sya'ban sampai tanggal dua puluh delapan, maka ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya rutinitas puasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits larangan puasa tersebut shahih. Al Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini, maka dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama sekali.
 
2. Satu atau dua hari sebelum Ramadhan, maka ini hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya rutinitas berpuasa sebelumnya.
 
3. Pada yaumus syak, hari yang diragukan. Maka ini haram secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syak karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarangnya.
 
Bid'ah-bid'ah pada Bulan Sya'ban
 
Bid'ah secara bahasa artinya perkara yang baru dibuat. Adapun secara syar'i, bid'ah artinya jalan atau metodologi baru dalam yang agama yang menyerupai syariat yang dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ta'ala. [10]
 
Bid'ah hukumnya haram. Allah ta'ala berfirman,
 
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
 
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Asy Syura: 21)
 
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
 
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha)
 
Beliau juga bersabda,
 
وَشّرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
 
"Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama). Semua perkara yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan tempatnya di neraka." (HR. An Nasa'i, Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' No. 608)
 
Sahabat Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata,
 
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً
 
"Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun oleh manusia hal itu dianggap sebuah kebaikan."
 
Dan di antara bid'ah yang tersebar di kalangan manusia pada bulan Sya'ban adalah:
 
1. Peringatan Malam Nisfu Sya'ban
 
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia mengatakan,
 
"Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran. Memang ada hadits-hadits tentang keutamaan malam tersebut, akan tetapi hadits-hadits tersebut adalah hadits yang lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah hadits yang palsu.
 
Dalam hal ini, banyak di antara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan keutamaan shalat pada hari Nisfu Sya'ban.
 
Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Lathaiful Ma'arif mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif."[11]
 
2. Nyekar/Ziarah Qubur
Ziarah qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
 
“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka sekarang ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad dan yang selainnya dari Ali radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 886)
 
Beliau juga bersabda,
 
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
 
“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
 
Al Imam Ash Shan'ani mengatakan,
 
“Hadits-hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang diinginkan secara syar’i.” [12]
 
Akan tetapi, mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya'ban, atau menjelang Ramadhan adalah perkara yang tidak pernah dituntunkan di dalam syariat.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
"Bahkan di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya pada hari tertentu dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan tersebut baik pada bulan Muharram, Rajab, Sya'ban, Dzulhijjah atau di bulan selainnya. Sebagian mereka berkumpul pada hari 'Asyura  (10 Muharram), sebagiannya lagi pada hari Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya'ban dan sebagian lagi di waktu yang berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk mengunjungi kuburan tersebut." [13]
 
Perkara ini dilarang karena tidak ada tuntunannya di dalam agama. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
 
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha)
 
Selain itu beliau juga melarang untuk melakukan safar untuk berziarah kecuali ke tiga masjid. Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

“Janganlah kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku ini, Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha.” (Muttafaqun 'alaihi)
 
Pelarangan ini semakin keras apabila ziarah tersebut diiringi dengan tawasul atau berdoa meminta kepada kuburan yang diziarahi. Allah berfirman,
 
وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدا
 
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al Jin: 18)
 
Apabila seseorang berdoa kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wata'ala. Allah berfirman,
 
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”
(An Nisa: 48)
 
3. Shalat Alfiyah
 
Di dalam kitab beliau Al Bida' Al Hauliyyah, ketika menyebutkan tentang bid'ahnya shalat Alfiyah di Bulan Sya'ban, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri mengatakan,
 
"Shalat bid'ah ini dinamakan Shalat Alfiyah karena di dalamnya dibacakan surat Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Jumlah raka'atnya seratus, dan pada setiap rakaat dibacakan surat Al Ikhlas sepuluh kali.
 
Tata cara shalat ini dan pahala amalannya telah diriwayatkan dari banyak jalan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab beliau Al Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). Beliau berkata,
 
"Kami tidaklah ragu lagi kalau hadits ini benar-benar palsu. Kebanyakan perawi hadits ini dalam tiga jalannya adalah para majahil (tidak diketahui ketsiqahan/kebenaran riwayatnya), dan di dalam terdapat rawi yang sangat lemah, sehingga haditsnya tidaklah teranggap sama sekali." [14]
 
4. Padusan
 
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.
 
Di sebagian tempat, acara mandi-mandi ini dilakukan dengan mengguyurkan air dari dalam bejana yang telah dicampur dengan berbagai kembang dan jeruk limau.
 
Acara seperti ini memiliki kemungkaran dari berbagai sisi:
 
a.      Merupakan bid'ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal Islam, dan telah berlalu penjelasan tentang keharamannya.
 
b.      Di dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara mandi-mandi tersebut akan membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang keliru karena sesungguhnya dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan acara mandi seperti itu. Dosa-dosa akan terhapus dengan taubat, meminta ampunan dari Allah serta memperbanyak amalan shalih.
 
Allah ta'ala berfirman,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
 
"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At Tahrim: 8)
 
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ
 
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal shalih niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (At Taghabun: 9)
 
c.       Di dalam acara semacam ini juga terjadi ikhtilath, campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan yang jelek, maka ini tidak diragukan lagi keharamannya. [15]
 
5. Sedekah Ruwah
 
Di beberapa tempat di Indonesia, sering diadakan sedekah ruwah. Sedekah ruwah adalah acara kenduri (makan-makan) yang tujuannya adalah mengumpulkan orang banyak untuk kemudian membacakan tahlil dan surat Yasin untuk kemudian dihadiahkan kepada arwah orang tua dan karib kerabat yang telah meninggal dunia.  Acara ini juga termasuk bid'ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
 
Kemungkaran di dalam acara ini juga bertambah apabila diiringi dengan kurafat, keyakinan yang batil bahwa arwah orang yang telah meninggal ikut hadir untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang masih hidup. Wallahul musta'an.
 
Peringatan:
Selain perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang sebaiknya juga ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang tua, karib kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf, tidak perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian menyelisihi sunnah.[16]
 
Untuk mendukung kegiatan saling memaafkan sebelum Ramadhan ini, sebagian orang membawakan hadits yang bunyinya,
 
Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri; Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Dan barang siapa yang menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita , maka diharamkan kulitnya tersentuh api neraka."
 
Hadits ini wallahu a'lam datangnya darimana, siapa sahabat perawinya, diriwayatkan di kitab apa, bagaimana keadaan sanadnya.
 
Apabila hadits ini adalah buatan orang, kemudian disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditakutkan dia akan terjatuh ke dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
 
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 
"Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas kami, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari api neraka." (Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
 
Adapun hadits yang mirip dengan hadits tersebut, lafazhnya adalah sebagai berikut,
 
أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر فَقَال: "آمين، آمين، آمين" قِيْلَ لَهُ : يَا رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ هَذَا؟ فَقَالَ: " قَالَ لِيْ جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوْيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين. ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ: آمين ".
 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin".
 
Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?"
 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jibril berkata kepadaku, 'Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'"
 
Kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!' Maka aku katakan, 'Amin'.
 
Kemudian Jibril berkata,
'Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!'  Maka kukatakan, 'Amin.'" (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Asy Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).
 
Penutup
Demikianlah sedikit pembahasan yang berkaitan dengan bulan Sya'ban. Semoga Allah jadikan sebagai amalan shalih bagi penulis dan bisa memberikan manfaat bagi kaum muslimin.  Wallahu ta'ala a'lam, semoga shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
 
(Ditulis pada hari Rabu tanggal 23 Rajab 1433 H – bertepatan dengan 13 Juni 2012 di Darul hadits Syihir, Hadramaut. Semoga Allah senantiasa menjaga dan mengokohkannya)
 
Catatan kaki:
[1] Sya'ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi' Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya'ban (Rajab 1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/408)
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Asy Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hal. 27
[6] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/393)
[7] Idem (3/394).
[8] Idem (3/394-395).
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I'tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida', Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal. 20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan'ani (2/114).
[13] Iqtidha' Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 257.
[14] Al Bida' Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri, hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al Mar'ie bin Buraik, hal 3.
[16] Demikian penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar'ie ketika ditanya hukum bermaaf-maafan sebelum masuk Ramadhan. Beliau menjawab, "Apabila seseorang memang memiliki kesalahan maka hendaknya dia segera meminta maaf. Namun mengkhususkannya pada waktu sebelum masuk Ramadhan maka ini khilafus sunnah, menyelisihi sunnah." Wallahu 'alam
 
----------------------------------------------------------------------------

-Barakallahu fiikum wajazaakumullahu khairan-

Wira Mandiri Bachrun | Abu Umar
Darul Hadits Syihr, Hadramaut - Yaman
Email/Y!M: brother_wira@yahoo.com



 Apakah Demokrasi dan Pemilu adalah Solusi? Temukan Jawabannya di sini

Minggu, 24 Juni 2012

Beberapa faidah dari kitab At-Taratib Al-Idariah

Fawaid dari Asy-Syaikh Al-Kattani

October 3rd 2008 by Abu Muawiah | Kirim via Email

karya Asy-Syaikh Abdul Hay Al-Kattani -rahimahullah-
1. Sebagian ulama ushul fiqhi mengatakan: Seandainya Rasulullah tidak mempunyai mukjizat selain dari para sahabat beliau, niscaya mereka sudah cukup sebagai bukti kenabian beliau. (hal. 12)
2. Sebagian ulama mengatakan: Di dalam Al-Qur`an ada lebih dari 750 ayat mengenai ilmu-ilmu kauniah, dan lebih dari 150 ayat mengenai ilmu-ilmu fiqhi. (hal. 16)
3. Abu Bakar adalah orang yang pertama kali masuk Islam, yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur`an, yang pertama menamakannya sebagai ‘mushaf’, dan orang pertama yang digelari ‘Syaikhul Islam’. (hal. 44)
4. Ad-Dimyamini berkata mengenai hadits tentang hadirnya para wanita di masjid dan nasehat Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- kepada mereka, “Ini adalah dalil akan bolehnya kaum wanita untuk menghadiri nasehat-nasehat dan majelis-majelis kebaikan dengan syarat aman dari fitnah.” (hal. 53)
5. Kitab yang dinisbatkan kepada Ibnu Sirin dalam masalah tafsir mimpi termasuk kedustaan terjelek yang dinisbatkan kepada para ulama salaf. Tidak masuk akal kalau kitab yang pertama kali dikarang oleh seorang tabi’in dalam masalah ilmu adalah masalah ini (tafsir mimpi).
Ibnu Sirin dan murid-muridnya tidak pernah menulis hadits (tapi hanya menghafaknya, pent.), maka bagaimana bisa mereka menuliskan tafsir mimpi. (hal. 61)
6. Abu Bakar shalat mengimami para sahabat ketika Nabi -alaihishshalatu wassalam- sakit sebanyak 17 kali shalat. (hal. 64)
7. Shalat jamaah adalah kekhususan umat ini. (66)
8. Memungut bayaran/pajak untuk masuk ke dalam Ka’bah tidak diperselisihkan akan keharamannya dan bahwa itu termasuk dari bid’ah yang paling keji. (111)
9. Syarahbil bin Hasanah adalah juru tulis pertama Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam-, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Al-Mawahib (118)
10. Al-Qadhi Ali Al-Mardhawi menukil  bahwa Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- menggunakan kalimat ‘amma ba’du’ dalam ceramah beliau. Diriwayatkan dari beliau oleh 35 orang sahabat dan Az-Zarqani menambahkan sampai 40 sahabat. (141)
11. Kitab Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- kepada Amr bin Hazm yang di dalamnya tertulis sebagian hukum-hukum. Al-Baji berkata, “Ini adalah dalil dari bolehnya menuliskan ilmu dan menghimpunnya dalam sebuah kitab.” (169)
12. Yang pertama kali perhatian dalam masalah pos dan pengiriman pesan adalah Muawiah bin Abi Sufyan. (192)
13. Penjara tidak ada di zaman Nabi -alaihishshalatu wassalam- dan tidak pula di zaman Abu Bakar. Adapun di zaman Umar maka sudah dijumpai adanya bangunan khusus untuk orang-orang yang dipenjara. (295)
14. Kisah Ka’ab bin Malik dan hajr (boikot) Nabi -alaihishshalatu wassalam- kepadanya, Ath-Thabrani berkata tentangnya, “Hadits Ka’ab adalah dalil dari syariat boikot kepada para pelaku maksiat, kefasikan, dan bid’ah.” (304)
15. Sudah menjadi kebiasaan para ulama ahli hadits dan pakar sejarah, mereka menamakan pasukan (perang) yang dipimpin langsung oleh Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- dengan nama ‘ghazwah’. Sementara yang beliau tidak hadiri tapi hanya mengangkat sebagian sahabatnya sebagai pemimpin perangnya, mereka menamakannya dengan nama ‘sariyah’. (387)
16. Syariat wakaf adalah kekhususan umat ini, tidak diketahui ada wakaf di zaman jahiliah. Asy-Syafi’i menegaskan hal ini. (409)

Bolehkah bayar pajak dengan niat zakat?

http://al-atsariyyah.com/bolehkah-bayar-pajak-dengan-niat-zakat.html

Bolehkah bayar pajak dengan niat zakat?

October 10th 2008 by Abu Muawiah | Kirim via Email

Tanya:
Saya mau tanya bagaimana sebenarnya hukum pajak di indonesia? sebagian mengatakan haram. Sebagian lagi mengatakan tidak mengapa, karena jika tanpa pajak maka negara tidak dapat melaksanakan kegiatannya.sementara di Indonesia lebih dari 50% anggaranya dari pajak.mohon penjelasannya. Jazakumullah
http://abulizz.wordpress.com
Jawab:
Hukum asal dalam masalah ini adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian.” Karenanya hukum asal harta seorang muslim adalah haram diambil tanpa ada nash yang membolehkannya. Sebagaimana sabda beliau dalam hadits yang lain, “Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan keridhaan dirinya.” Maka pajak ini termasuk dari pungutan-pungutan yang tidak ada nashnya, karenanya dia merupakan perbuatan mengambil harta seorang muslim tanpa hak. Adapun jika pemerintah mewajibkannya maka kita harus sabar dan terpaksa mengeluarkannya, karena kalau tidak maka dia akan terkena mudharat dan gangguan.
Kalau kaum muslimin di zaman Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabat bisa berjaya tanpa pajak, maka kenapa sekarang tidak bisa?! Seandainya setiap muslim mengeluarkan semua kewajiban zakat yang diwajibkan atasnya, kami yakin niscaya tidak akan ada orang yang akan meminta-peminta di jalan. Adapun masalah pembangunan negara, maka kami kira tidak perlu sampai meminta pajak dari rakyat, kas negara yang terdiri dari hasil BUMN, pembayaran pemanfaatan fasilitas milik negara semacam jalan tol dan semacamnya, dan masih banyak lagi sumber penghasilan negara, insya Allah semuanya bisa menutupi biaya pembangunan. Itu tentunya kalau semua dana tersebut bisa sempurna masuk ke kas negara, tanpa dipotong olah para koruptor dan pencuri uang negara.
Kalaupun -anggaplah- semua itu belum mencukupi maka boleh-boleh saja pemerintah meminta ‘bantuan’ finansial dari rakyatnya untuk membangun sesuatu yang merupakan kemaslahatan mereka sendiri. Tapi tentunya ‘bantuan’ ini tidak bersifat terus-menerus dan bukan pula bersifat kewajiban syar’i, wallahu a’lam.
Faidah:
Seandainya seseorang terpaksa mengeluarkan pajak dan pungutan lainnya yang tidak syar’i, apakah dia boleh membayarnya dengan niat zakat?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan yang benarnya tidak boleh. Karena pajak dan pungutan dari pemerintah ini termasuk dari kezhaliman penguasa yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan kita untuk bersabar terhadapnya. Maka jika dia meniatkannya sebagai zakat, berarti dia tidak terzhalimi sehingga tidak perlu baginya untuk bersabar.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (6/218)

Rabu, 13 Juni 2012

Ta’awwudz di Dalam Sholat Dari Kejahatan Syaithon yang Terlaknat


Ta’awwudz di Dalam Sholat
Dari Kejahatan Syaithon yang Terlaknat
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Sesungguhnya alloh telah menciptakan jannah dan telah menentukan siapa-siapa penghuninya. Dia juga telah menetapkan jalan-jalan serta sebab-sebab yang mengantarkan hamba-hambaNya untuk bisa memasukinya, berupa tauhid, sholat dan zakat serta amalan-amalan lain yang dicintai Nya.
Alloh juga telah menciptaan neraka dan menentukan siapa-siapa yang bakal menjadi penghuninya, berikut sebab-sebab yang mengakibatkan mereka terjerumus ke dalamnya yang berupa kesyirikan, kekafiran, kemaksiatan dan perkara-perkara lainnya yang dimurkai Nya.
Diantara sebab terbesar yang menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kesengsaraan adalah Syaithon, musuh yang senantiasa mengintai dan mencari jalan untuk menikam. Oleh karena itulah Alloh peringatkan kita dalam firman Nya:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِير
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah dia musuh(mu), Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Fathir: 6)
Seorang yang berakal ketika diberitahu bahwa ada musuh yang senantiasa mengawasi dan mencari kelengahan dan tipu daya tentu akan berusaha sekuat mungkin untuk mencari perlindungan dan sebab-sebab yang bisa menghancurkan musuh tersebut.
Oleh karena itu ketahuilah –semoga Alloh memberikan penjagaan kepada kita- bahwa tidak ada benteng perlindungan yang lebih kuat, tidak pula senjata yang lebih ampuh kecuali dengan kembali kepada Alloh, Dzat yang Maha Kuasa dan Bijaksana, dengan meminta perlindungan dan penjagaan serta kekokohan dan mengahadapi serangan, godaan serta tipu daya syaiton si musuh yang ternaknat ini.
Diantara benteng yang Alloh berikan untuk hamba-hambanya adalah isti’adzah (permintaan perlindungan) yang hal ini merupakan salah satu ibadah yang mulia, sebagaimana firman Nya:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم
“Jika syaithon menggodamu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah As-Sami’ (yang Maha mendengar), Al-‘Alim (lagi Maha mengetahui).” (QS.Fushilat: 36)
Seorang muslim juga harus sadar bahwa musuh satu ini berusaha sebisa mungkin untuk merusak ibadah yang dilakukan muslim tersebut, baik itu sholat, membaca Al-Quran maupun ibadah-ibadah yang mulia lainnya. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis akan berusaha untuk memaparkan secara ringkas bagaimana adab dan tata cara isti’adzah di dalam sholat sehingga kita bisa benar dalam beribadah dan mendapatkan perlindungan yang diharapkan.
• Isti’adzah (atau Ta’awwudz) ketika hendak membaca Al-Quran baik dalam Sholat atau selainnya.
Alloh telah berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم
“Apabila kamu (hendak) membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Ayat ini adalah dalil utama dalam permasalahan ini. Karena itu hendaknya kita bisa memahaminya dengan baik sehingga bisa dengan mudah mengambil hukum darinya.
Dalam ayat di atas Alloh memerintahkan seseorang yang hendak membaca Al-Quran untuk meminta perlindungan dari Syaithon. -Ucapan permintaan perlindungan ini disebut dalam bahasa Arab dengan ta’awwudz-.
Hukum asal dalam suatu perintah yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya adalah wajib, oleh karena itu beberapa ulama menyatakan bahwa ta’awwudz tersebut hukumnya wajib.
Namun disana ada dalil lain yang menjadikan bahwa hukum asal tersebut tidak diberlakukan. Dalil tersebut adalah perbuatan Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- ketika membaca Ayat-ayat Al-Qur’an di dalam Khutbah. Beliau dalam khutbah-khutbah itu tidak membaca ta’awwudz.
Hal ini menunjukkan bahwa perintah yang ada di ayat An-Nahl tidaklah wajib melainkan mustahab (sunat). Ini adalah pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.
Walaupun demikian tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkannya, mengingat butuhnya kita akan amalan sholeh serta perlindungan yang kuat dari tipu daya syaithon yang menjerat.
Asy-Syaikh Utsaimin –Rohimahulloh- mengatakan:
وفائدةُ الاستعاذة: ليكون الشيطانُ بعيداً عن قلب المرءِ، وهو يتلو كتابَ الله حتى يحصُل له بذلك تدبّرُ القرآن وتفهّمُ معانيه، والانتفاعُ به؛ لأن هناك فَرْقاً بين أن تقرأ القرآنَ وقلبُك حاضرٌ وبين أن تقرأ وقلبُك لاهٍ.
“Faidah isti’adzah adalah agar Syaithon menjadi jauh dari hati seseorang ketika dia membaca kitabulloh sehingga dengannya dia bisa men-tadabburi qur’an dan memahami maknanya, serta mengambil manfaat darinya. Sebab disana ada perbedaan (nyata) tatkala kamu membaca Al-quran dalam keadaan hati penuh konsentrasi, dan tatkala kamu membacanya tapi hatimu lalai.”
• Kapan seseorang membaca “ta’awwudz”?
Pada ayat yang telah disebutkan di depan, Alloh mengatakan:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ
Yang nampak sekilas dari ayat ini, dipahami bahwa ta’awwudz itu setelah selesai membaca Al-Quran, karena dipakai padanya fi’il madhi (kata kerja yang menunjukkan waktu yang telah lampau). Akan tetapi pemahaman ini tidaklah benar, sebab para ulama tafsir menyatakan bahwa pada ayat ini ada kata yang ditiadakan, dan mereka mengatakan bahwa makna ayat:
فَإِذَا أَرَدْتَ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ فَاسْتَعِذْ بِالله
“Jika engkau ingin membaca Al-Quran maka mintalah pertolongan kepada Alloh.”
Kalau kita sudah paham makna ayat ini, jelaslah bahwa ta’awwudz itu dibaca ketika akan membaca Al-Quran.
Mungkin seseorang akan bertanya: “Kalau di sholat kapan kita membacanya?”
Tentu jawabannya adalah ketika akan membaca Al-Fatihah, sebab inilah awal kali ayat Al-Quran yang dibaca oleh seseorang yang sholat. Adapun Surat yang dibaca setelahnya maka tidak perlu lagi membaca ta’awudz, tapi langsung membaca basmalah kemudian baca surat.
Apabila seseorang ingin membaca setelah Al-Fatihah beberapa ayat Al-Quran saja, dan tidak membacanya dari awal surat maka tidak perlu baginya untuk membaca ta’awudz maupun basmalah.
Apakah ta’awwudz ini diulang setiap rokaat ketika ingin baca Al-Fatihah?
Ayat di depan menunjukkan bahwa ta’awwudz dibaca setiap memulai bacaan Al-Quran, jadi kita tarik hukum darinya bahwa ta’awwudz dibaca pada setiap rokaat, sebab antara rokaat yang satu dengan yang lainnya telah dipisah dengan ruku’, sujud dan bacaan-bacaan selain Al-Quran.
Namun, apabila seseorang mencukupkan diri dengan ta’awwudz yang ia baca pada rokaat pertama maka tidak mengapa, sebab perbedaan ulama dalam masalah ini adalah perbedaan masalah afdholiyah (perkara mana yang lebih utama) yang tidak ada pengingkaran pada seseorang yang berpendapat dengan pendapat yang berbeda. Wallohu A’lam.
• Lafadz Ta’awwudz:
Dalam mengamalkan ayat terdahulu tentang perintah untuk ta’awwudz sebelum baca Al-Quran seseorang boleh mencukupkan dengan yang ada di Al-Quran dengan melafadkan:
أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Akan tetapi apabila ia mau menambah dengan tambahan yang dicontohkan Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- tentu lebih baik dan utama:
أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِه
“Aku berlindung kepada Alloh dari Syaithon yang terkutuk; dari was-was (yang dimunculkannya) dan kesombongannya serta sihir (yang disebarnya).”
• Bagaimanakah cara membacanya, dikeraskan atau tidak?
Jumhur ulama mengatakan bahwa ta’awwudz dibaca sirr (lirih, tidak dikeraskan sehingga didengar orang lain), sebab hukum asal dalam membaca dzikir di dalam sholat adalah secara sirr, kecuali yang datang dalil tentang keluarnya hal tersebut dari hukum asal ini.
Inilah beberapa permasalahan seputar ta’awwudz yang bisa kami sampaikan pada tulisan ini, semoga bisa bermanfaat baik bagi penulis pribadi maupun bagi pembaca sekalian.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
Oleh: Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy
Perpustakaan Darul Hadits Dammaj,
Malam Sabtu 6 jumadi tsani 1433.
Semoga Alloh menjaganya dari segala kejelekan

Selasa, 12 Juni 2012

SHOLAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHOF

SHOLAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHOF

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين،
وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:

Pembahasan kali ini berisi tentang hukum seseorang yang mengikuti
sholat berjamaah, ketika shof depan sudah penuh dan ia berada pada
shof kedua sendirian. Kemudian apa yang seharusnya dilakukan jika
menemui hal yang demikian.

Hukum sholat sendirian di belakang shof jama’ah adalah tidak sah,
sebagaimana dalam hadits Wabishoh bin Ma’bad -rodhiyallohu ‘anhu-:

أَنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ
الصَّفِّ وَحْدَهُ, فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ

“Bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melihat
seseorang sholat sendirian di belakang shof. Kemudian memerintahkannya
untuk mengulang sholatnya.”

(Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ini adalah hadits
shohih.)

Juga berdasarkan hadits ‘Ali bin Syaiban -rodhiyallohu ‘anhu-
bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ

“Tidak sah sholat seseorang yang bersendirian di belakang shof.”

(Hadits riwayat Ibnu Hibban dan dalam sanadnya terdapat sedikit
kelemahan, kemudian dishohihkan setelah didukung oleh hadits Wabishoh
tersebut di atas).

Setelah kita mengetahui hukum permasalahan tersebut, maka ketika
menemui hal tersebut hendaknya menempuh salah satu dari solusi berikut
ini:

Pertama: jika memungkinkan untuk menyela masuk dalam shof tanpa
berdesak-desakan, maka hendaknya dilakukan.

Kedua: jika tidak memungkinkan hal itu, maka berusaha berdiri di
sebelah kanan imam dengan syarat tanpa mengganggu ketenangan para
jama’ah dalam shof-shof yang ada. Hal ini diperbolehkan, karena adanya
hajah.

Ketiga: jika dua hal tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan,
karena jauhnya jarak tempat imam atau adanya masyaqqoh (susah payah),
maka diperbolehkan -karena adanya hajah- untuk meminta salah seorang
dari jama’ah yang ada di shof depannya untuk mundur menemainya
membentuk shof baru. Hal ini dengan syarat tidak menyebabkan shof
tersebut menjadi renggang dan terputus, tetapi tetap bisa dirapatkan
setelah mundurnya satu orang tersebut. Jika tidak demikian, maka hal
itu tidak diperkenankan untuk dilakukan.

Lalu bagaimana solusinya, jika hal itu tidak juga bisa dilakukan?

Sebagian ulama seperti Al-’Allamah Ibnu Bazz dan Al-’Allamah Al-
Wadi’iy -rohimahumalloh- memfatwakan agar orang itu menunggu
kedatangan jama’ah yang lain untuk membentuk shof baru bersamanya.
Jika sholat jama’ah selesai dan belum mendapatkan shof, maka ia
mengerjakan sholat sendirian (munfarid) dan tidak berdosa, karena
kewajiban jama’ah atas dirinya telah gugur dikarenakan ketidak-
mampuannya untuk membentuk shof baru atau bergabung dengan shof
jama’ah yang ada. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dan berhati-hati
dalam masalah ini. Wallohu a’lam.

Ini juga merupakan tarjih dari Syaikh kami Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy
dalam beberapa ta’lim beliau, juga Syaikh kami Muhammad bin Hizam Al-
Ba’daniy -hafidzohumallohu ta’ala- dalam ta’lim kitab beliau: “Fathul
‘Allam Fii Dirosah Ahadits Bulughil Marom” (2/57-59). Wabillahit-
taufiq

(ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy –ro’ahulloh-)
Sumber: http://ahlussunnah.web.id

Senin, 11 Juni 2012

Panduan Ringkas Ilmu Waris

Panduan Ringkas Ilmu Waris

June 7th 2012 by Abu Muawiah | Kirim via Email

Ilmu waris adalah ilmu yang sangat sedikit sekali dipelajari untuk saat ini. Dalam hadits marfu’ disebutkan, “Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faroidh (ilmu waris) dan ajarkanlah karena ilmu tersebut adalah separuh ilmu dan saat ini telah dilupakan. Ilmu warislah yang akan terangkat pertama kali dari umatku.” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi. Hadits ini dho’if). Namun sudah menunjukkan kemuliaan ilmu waris karena Allah Ta’alatelah merinci dalam Al Qur’an mengenai hitungan warisan. Dan Allah yang memberikan hukum seadil-adilnya. Beda dengan anggapan sebagian orang yang menganggap hukum Allah itu tidak adil karena suuzhonnya pada Sang Kholiq.
Pada kesempatan kali ini, kami hanya menghadirkan secara ringkas mengenai perihal waris. Tidak seperti biasanya kami berkutat dengan banyak dalil. Kami buat panduan waris kali ini dengan begitu sederhana yang banyak merujuk dari kitab fikih Syafi’i Matan Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’). Dalam tulisan kali ini, kami pun menyampaikan contoh-contoh sederhana mengenai masalah waris. Semoga bermanfaat.
Ahli waris dari laki-laki ada 10:
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
  3. Ayah
  4. Kakek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara laki-laki
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan)
  7. Paman
  8. Anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh
  9. Suami
  10. Bekas budak laki-laki yang dimerdekakan
Ahlis waris dari perempuan ada 7:
  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya ke bawah
  3. Ibu
  4. Nenek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara perempuan
  6. Istri
  7. Bekas budak perempuan yang dimerdekakan
Hak waris yang tidak bisa gugur:
  1. Suami dan istri
  2. Ayah dan ibu
  3. Anak kandung (anak laki-laki atau perempuan)
Yang tidak mendapatkan waris ada tujuh:
  1. Budak laki-laki maupun perempuan
  2. Budak yang merdeka karena kematian tuannya (mudabbar)
  3. Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan melahirkan anak dari tuannya (ummul walad)
  4. Budak yang merdeka karena berjanji membayarkan kompensasi tertentu pada majikannya (mukatab)
  5. Pembunuh yang membunuh orang yang memberi waris
  6. Orang yang murtad
  7. Berbeda agama
Ashobah yaitu orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.
Urutan ‘ashobah dari yang paling dekat:
  1. Anak laki-laki
  2. Anak dari anak laki-laki (cucu)
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  6. Saudara laki-laki seayah
  7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
  9. Paman
  10. Anak paman (sepupu)
  11. Jika tidak didapati ‘ashobah, baru beralih ke bekas budak yang dimerdekakan
Ashabul furudh yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar yang telah ditentukan dalam kitabullah.
Kadar waris untuk ashabul furudh:
  1. 1/2
  2. 1/4
  3. 1/8
  4. 2/3
  5. 1/3
  6. 1/6
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/2 ada lima:
  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
  3. Saudara perempuan seayah dan seibu
  4. Saudara perempuan seayah
  5. Suami jika istri tidak memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/4 ada dua:
  1. Suami jika istri memiliki anak atau cucu laki-laki
  2. Istri jika suami tidak memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/8:
-          Istri jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 2/3 ada empat:
  1. Dua anak perempuan atau lebih
  2. Dua anak perempuan dari cucu laki-laki (cucu perempuan) atau lebih
  3. Dua saudara perempuan seayah dan seibu atau lebih
  4. Dua saudara perempuan seayah atau lebih
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/3 ada dua:
  1. Ibu jika si mayit tidak dihajb
  2. Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan  yang seibu
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/6 ada tujuh:
  1. Ibu jika memiliki anak atau cucu, atau memiliki dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan
  2. Nenek ketika tidak ada ibu
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan masih ada anak perempuan kandung
  4. Saudara perempuan seayah dan masih ada saudara perempuan seayah dan seibu
  5. Ayah jika ada anak atau cucu
  6. Kakek jika tidak ada ayah
  7. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
Hajb atau penghalang dalam waris:
  1. Nenek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ibu
  2. Kakek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ayah
  3. Saudara laki-laki seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu (laki-laki atau perempuan), ayah dan kakek ke atas
  4. Saudara laki-laki seayah dan seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, dan ayah
  5. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah dan saudara laki-laki  seayah dan seibu
Kaedah yang perlu diingat: Siapa yang tumbuh dari si fulan, selama si fulan ini ada, maka ia tidak mendapatkan warisan. Misalnya seorang cucu tidaklah mendapatkan waris jika masih ada anak si mayit (ayah dari cucu tadi).
Yang menyebabkan saudara perempuan mendapatkan jatah separuh laki-laki karena adanya 4 orang:
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki
  3. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  4. Saudara laki-laki seayah
Paman laki-laki, anak laki-laki dari paman (sepupu), anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) dan tuan yang membebaskan budak mendapatkan waris tanpa saudara-saudara perempuan mereka.
[sumber: http://rumaysho.com/hukum-islam/47-faroidh/3824-panduan-ringkas-ilmu-waris-.html]