Halaman

Rabu, 27 Maret 2013

Mungkin,ini lebih baik!

Mungkin,ini lebih baik!
oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
Pertengahan awal bulan Agustus 2007.
            Satu rombongan kecil,hanya satu mobil,bergerak menjauh meninggalkan sebuah hotel di Shan’a,ibukota Yaman. Tujuan mereka adalah bandara internasional Yaman.Sebab,ada empat orang yang akan terbang menuju Indonesia,kampung halaman masing-masing. Setibanya di bandara,setelah urus sana urus sini,ternyata rombongan kecil tersebut tidak memperoleh ijin untuk masuk bandara.Karena,satu dan lain halnya,tentunya.
            Sungguh kecewa berpadu dengan kesedihan. Ingin rasanya hari itu juga terbang dan tiba di Indonesia namun pesawat yang akan kami naiki justru telah terbang menembus awan-awan tipis di Shan’a. Seorang kawan dari Yaman yang turut menemani, kemudian berusaha meneduhkan hati,”Bersabarlah.Mungkin,ini lebih baik!”
            Lalu sang kawan pun menceritakan sebuah kisah nyata tentang saudaranya. Kejadiannya sama persis dengan kejadian “pahit” yang baru saja kamu alami ; rencana penerbangan yang gagal. Namun,beberapa waktu selanjutnya tersiar berita jika pesawat yang akan saudaranya naiki mengalami kecelakaan.
Allahu Akbar!
            Cerita sang kawan dari Yaman tadi lalu seolah menjadi pegangan hidup kala muncul goncangan-goncangan dalam langkah kehidupan.
Mungkin,ini lebih baik!
…….………….. o o O o o ………………….
Pembaca,rahimakallahu
            Inilah kehidupan dunia! Terkadang kenyataan tak seindah angan-angan. Ada sebuah keinginan indah –menurut kita- yang diharap-harap untuk terwujud namun keinginan tersebut juga tak kunjung tiba. Ada juga sesuatu yang coba kita hindari karena buruk –masih menurut kita- malah terjadi. Memang,terkadang kenyataan tak seindah angan-angan. Masihkah Anda mengingat apa yang terjadi dalam peristiwa Hudaibiyah? Kala umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah mengadakan perjanjian bersejarah bersama kaum musyrikin Quraisy?
            Ada beberapa butir perjanjian –dzahirnya demikian- sangat merugikan kaum muslimin. Sampai-sampai Umar bin Khatab menemui Rasulullah dan menyatakan,”Bukankah Anda adalah nabi Allah? Bukankah kita di atas kebenaran sementara mereka di atas kebatilan? Bukankah yang mati dari kita masuk surga sementara yang mati dari mereka masuk neraka?”
            Rasulullah dengan tegas menjawab,
يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي اللَّهُ أَبَدًا
            ”Wahai putra Al Khatab,sesungguhnya aku adalah utusan Allah.Dan Allah tidak akan mungkin mensia-siakan aku”[1]
Dan,subhanallah…
            Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi sebuah pendahuluan untuk menatap sebuah kemenangan besar. Perjanjian Hudaibiyah adalah titik kilas balik dari karunia Allah untuk kemudian disempurnakan dengan jatuhnya kota Mekkah ke pangkuan kaum muslimin.
            Melalui perjanjian Hudaibiyah,kaum muslimin dapat menyampaikan dakwah dan memperdengarkan Al Qur’an kepada orang-orang kafir. Lalu banyaklah yang kemudian tertarik lalu masuk Islam.

Kamis, 14 Maret 2013

Agama Bukan Perasaan

Agama Bukan Perasaan
WRITTEN BY: ADMIN ON DECEMBER 12, 2012 NO COMMENT
Jika kita menelisik kehidupan beragama dari kaum muslimin di Indonesia, atau negeri lainnya, maka kita akan banyak menemukan bukti dan fenomena yang menguatkan bahwa kehidupan beragama kita masih sebatas perasaan. Padahal agama bukanlah perasaan, hawa nafsu dan akal-akalan semata. Agama adalah wahyu dan petunjuk datang dari langit sana.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ [المائدة/48]
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (QS. Al-Maa’idah : 48)
Al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, janganlah engkau berpaling dari kebenaran yang Allah perintahkan kepadamu, menuju keinginan-keinginan dari orang-orang jahil lagi celaka itu”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/128), cet. Dar Thoybah, 1420 H]

Rabu, 13 Maret 2013

Pedagang yang Jujur dan Terpercaya


Pedagang yang Jujur dan Terpercaya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
security
Pertanyaan: Shahihkah hadits tentang keutamaan pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada?

Mengapa Tauhid Dibagi Tiga?

Mengapa Tauhid Dibagi Tiga?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
tauhid-awalan3.jpgPertanyaan: Mengapa tauhid dibagi tiga? Ahlul bid’ah membagi empat, yang keempat hakimiah, alasan dibagi tiga itu apa dalilnya?

Selasa, 12 Maret 2013

Kriteria Hewan yang Boleh dan Tidak Boleh Dibunuh

Kriteria Hewan yang Boleh dan Tidak Boleh Dibunuh
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pemotong Hewan
Pertanyaan: Saya pernah mendengar bahwa kita tidak boleh membunuh binatang, karena sama-sama makhluk Allah, termasuk nyamuk? Benarkah demikian? Apakah menyemprot nyamuk dengan insektisida itu tidak boleh, padahal khawatir membawa penyakit?

Jawaban: Hukum membunuh binatang “secara sengaja” terbagi menjadi empat macam:

Maksud Tempayan Yang Disebutkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم Dan Ukurannya

Maksud Tempayan Yang Disebutkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم Dan Ukurannya
tempayan
بسم الله الرحمن الرحيم
Berikut adalah saduran pembahasan fiqih yang diambil dari pelajaran Bulugh Al-Maram yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Taufiq Al-Ba’dany حفظه الله (Juru Fatwa di Dar Al-Hadits Ma’bar). Pembahasan ini beserta beberapa pembahasan fiqih mendatang terkait dengan permasalahan thaharah;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ c  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ g: إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ، وفي اللفظ : لَا يَنْجُسُ  أخرجه الأربعة وصححه ابن حبان وابن خزيمة.

Senin, 04 Maret 2013

Seputar Hukum Islam ” Duduk di antara Dua Sujud & Gerakan Setelahnya”

Seputar Hukum Islam ” Duduk di antara Dua Sujud & Gerakan Setelahnya”
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari
1. Duduk dengan thuma’ninah
Ketika duduk di antara dua sujud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk thuma’ninah, duduk dengan tenang dan batasannya adalah gerakan sebelumnya tidak tampak lagi (Fathul Bari, 2/357).
Beliau melakukan duduk ini dengan lama hingga mendekati lama sujudnya sebagaimana ditunjukkan dalam hadits al-Barra ibnu ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
 كاَنَ رُكُوْعُ رَسُوْلِ اللهِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ، وَسُجُوْدُهُ، وَمَا بَيْنَ السَّجَدَتَيْنِ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.
“Adalah ruku’ Rasulullah , mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujudnya, hampir sama lamanya.” (HR . al-Bukhari no. 792, 820 dan Muslim no. 1057)