Karena itulah Ibnu Qayyim mengatakan:
“ Maka apabila pengingkaran terhadap suatu kemungkaran menyebabkan terjadinya kemungkaran yang lebih buruk dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya maka dalam keadaan demikian pengingkaran tidak boleh dilaksanakan.” (Al I’lam 3/4 )
Pada sebagian keadaaan seperti pada masa-masa fitnah, boleh jadi seorang muslim harus meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar ini, kewajibannya dalam hal ini gugur, bahkan kembali kepada pribadinya. Ath Thahawi menerangkan keadaan ini, sebagai berikut:
“ Di dalam keterangan ini terdapat penekanan terhadap masalah amar ma’ruf nahi munkar sehingga zaman yang terputus dari persoalan ini yaitu zaman yang telah diuraikan oleh Rasulullah dalam hadits Abu Tsa’labah Al Khusyani, di mana tidak bermanfaat di sana amar ma’ruf nahi munkar dan tidak ada kekuatan pada orang yang mengingkarinya. Sehingga gugurlah kewajiban ini dari dirinya. Dan kembali pada pribadinya.” (Syarh Musykilul Atsar 3 / 213 )
Kalau demikian halnya, maka dalam kondisi seperti ini tetap tidak boleh meninggalkan bentuk pengingkaran dengan hati. Karena dia merupaka kewajiban dalam setiap keadaan. Sebab tidak ada fitnah yang timbul melalui pengingkaran seperti ini. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“ Adapun hati, maka wajib mengingkari kemunkaran (dengannya) dalam keadaan bagaimanapun. Karena tidak ada bahaya yang timbul dari tindakan ini.” (Al Istiqamah 2 / 212 )
Adapun bermuamalah bersama penguasa kafir yang memerintah kaum sebagaian muslimin –sebagaimana kondisi mereka yang minoritas- di mana tidak bolehnya masuk dan campur tangan ke dalam fitnah, atau mengadakan sesuatu yang justeru membahayakan diri mereka sendiri, atau mengalihkan perhatian mereka kepada hal-hal yang dapat mempersulit kaum muslimin sendiri. Dalam mengarahkan jalan yang bijaksana sehubungan masalah ini, Syaikh Shaleh Al Fauzan menerangkan:
|
Sifat Shalat Nabi (bagian 1)
(143 Views) November 19, 2011 2:41 pm | Published by admin | No comment
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Alhamdulillah pada edisi ini dan selanjutnya, insya Allah kita akan melihat beberapa penjelasan berkenaan dengan sifat shalat Nabi n. Sebagian besar pembahasan di sini sengaja penulis nukil dari kitab yang mubarak, Shifat Shalat Nabi n dan “Asal-nya” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi n), yang ditulis oleh Asy-Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Nuh, Nashiruddin Al-Albani t. Karena kitab yang beliau susun tersebut merupakan karya yang paling lengkap memuat sifat shalat Nabi n dalam babnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, Syaikh yang mulia, Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i t. Disamping itu, penulis juga berupaya menukil dan menambahkan dari beberapa referensi lainnya sebagai tambahan faedah berkenaan dengan pembahasan ini. ‘Tak ada gading yang tak retak’, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahul muwaffiq ilash shawab.
1. Niat
Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i t berkata: “Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)
Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah l sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah n yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.
Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i t terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”
Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i t dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah l meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”