Faedah pertama:
Soal: Al Wazir Ibnu Hubairah –rahimahullah—dan Ibnul Jauzi –rahimahullah—hidup sezaman. Lalu, siapakah salah satu dari mereka yang mengambil faedah dari yang lainnya?
Jawab: Masing-masingnya mengambil faedah dari yang lain. Dan Ibnu Hubairah adalah guru dari Ibnul Jauzi, namun beliau tetap mengambil faedah dari Ibnul Jauzi.
Soal: Dalam bab nama-nama dan sifat-sifat Allah, siapakah yang berakidah sunni salafi?
Jawab: Imam Adz Dzahabi dalam “Siyar” mengatakan, “Ibnu Hubairah seorang sunni atsari”. Adapun Ibnul Jauzi seorang muta-awwil (memalingkan makna dari zahir suatu lafaz).
Ada sebuah kisah menarik tentang Ibnu Hubairah. Beliau walaupun seorang wazir (mentri), namun juga seorang alim ulama’. Beliau memiliki majlis yang dihadiri para thalibul ilmi, bahkan masyayikh.
Suatu hari, di majlis beliau hadir seorang ahli fikih dari madzhab malikiyah. Saat majlis berlangsung, Ibnu Hubairah menyebutkan suatu pembahasan yang disepakati seluruh hadirin, kecuali ahli fikih tadi. Ibnu Hubairah berusaha menjelaskan dan menerangkan, namun ahli fikih tadi tetap dalam pendiriannya. Hingga akhirnya, Ibnu Hubairah kesal dan mengatakan kepadanya, “Apakah kamu ini seekor keledai, menyelisihi semua yang ada di majlis ini!?”
Keesokan harinya, Ibnu Hubairah menyesali ucapannya. Dalam majlis, beliau berkata, “Kemarin aku mengucapkan ucapan yang tak layak. Dimanakah ahli fikih itu?” Para hadirin pun menunjukkannya.
“Ucapkanlah kepadaku seperti ucapanku kemarin kepadamu,” pinta Ibnu Hubairah menyesali perbuatannya. Syahdan, seluruh jemaah majlis terhentak. Hentakannya membuat seluruh air mata berlinang menyaksikan sebuah ketawadhu’an.
“Aku sudah memaafkanmu,” kata ahli fikih.
“Qishash..! Qishash..! Harus dibalas, harus dibalas..!” Ibnu Hubairah terus mendesak. Semakin Ibnu Hubairah mendesak, ahli fikih semakin enggan membalas. Hingga berdirilah salah seorang hadirin dan berkata, “Wahai Syaikh, jika dia enggan melakukan qishahsh, dia boleh minta fida’ (tebusan).”
“Iya. Dia boleh minta tebusan. Apa yang dia inginkan?” Ibnu Hubairah mengamini.
“Syaikh, aku banyak mengambil faedah darimu. Jasamu atasku sangatlah banyak. Lalu, bagaimana mungkin aku meminta tebusan darimu?” ahli fikih tetap enggan.
“Tidak. Engkau harus minta tebusan.” Ibnu Hubairah terus mendesak.
Akhirnya, ahli fikih berkata, “Aku punya hutang sebanyak seratus dinar.” Ibnu Hubairah pun memberinya dua ratus dinar seraya berkata, “Yang seratus dinar untuk membebaskan tanggunganmu, dan yang seratus lagi untuk membebaskan tanggunganku.”
Semoga Allah merahmatinya.
Faedah Kedua.
Soal: Ibnu ‘Abdil Bar dan Ibnu Hazm, dua ulama’ yang sezaman. Siapakah diantara keduanya yang mengambil faedah dari yang lain?
Jawab: Ibnu Hazm mengambil faedah dari Ibnu ‘Abdil Bar. Terbukti dalam banyak tempat dalam kitab “Al Ihkam”, Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu ‘Abdil Bar yang memberinya faedah.
Soal: Dalam bab asma’ wa sifat, siapakah yang berakidah sunni salafi?
Jawab: Ibnu Hazm berpaham jahmiyah (mengingkari asma’ wa sifat Allah). Adapun Ibnu ‘Abdil Bar berakidah salafi, kecuali dalam beberapa sifat fi’liyah (sifat yang berkaitan dengan perbuatan Allah). Seperti contohnya sifat “adh dhahik”, yakni Allah tertawa. Dalam kitab “At Tamhid”, Ibnu ‘Abdil Bar menafsirkan “adh dhahik” dengan rahmat Allah. Dan ini salah serta memalingkan lafaz dari makna aslinya.
Adapun Ibnu Hazm, dia seorang yang berkeyakinan jahmiyah, yang menyatakan bahwa seluruh sifat Allah dikembalikan/ditafsirkan dengan sifat “al ilmu” semata. Dan ini salah, karena nama dan sifat Allah sangatlah banyak dan masing-masingnya mengandungi makna.
Faedah Ketiga.
Soal: Asy Syathibi dan Ibnu Taimiyah, dua ulama yang sezaman. Siapakah diantara keduanya yang mengambil faedah dari yang lain?
Jawab: Asy Syathibi mengambil faedah dari Ibnu Taimiyah, dimana Asy Syathibi dalam beberapa kesempatan menukilkan hasil riset Ibnu Taimiyah. Asy Syathibi tidak bertemu Ibnu Taimiyah, namun beliau mengambil faedah dari sebagian karya Ibnu Taimiyah dengan menukil hasil riset Ibnu Taimiyah.
Soal: Dalam bab nama-nama dan sifat-sifat Allah, siapakah yang berakidah salafi?
Jawab: Ibnu Taimiyah berakidah salafi. Adapun Asy Syathibi terjatuh dalam akidah mutaawwilah.
Semoga Allah merahmati semuanya. Walaupun terjatuh dalam kesalahan manhaj, namun kitab-kitab mereka menjadi saksi bahwa mereka berusaha membela sunnah dan memperjuangkannya. Adapun kesalahan mereka, bisa jadi karena para masyayikh yang ada di zaman dan tempat mereka adalah orang-orang yang berpaham sesat, hingga menurun kepada mereka, seperti Ibnul Jauzi. Atau, bisa jadi karena lingkungan mereka adalah lingkungan berpaham sesat, seperti Asy Syathibi. Apapun itu, kitab-kitab mereka menjadi saksi bahwa mereka berusaha mengikuti, membela dan memperjuangkan sunnah.
Faedah Keempat.
Selepas terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, muncul dua macam kebid’ahan; Khawarij dan Rafidhah. Khawarij adalah orang-orang yang mengkafirkan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Adapaun Rafidhah adalah orang-orang yang mengaku membela Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Kemudian Rafidhah terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama mengklaim imamah (kekhilafahan) untuk ‘Ali, yakni beliau lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Kelompok kedua mengklaim kenabian untuk ‘Ali. Dan kelompok ketiga mengklaim bahwa ‘Ali adalah Allah.
Suatu ketika, ‘Ali keluar dari rumahnya. Tiba-tiba beliau mendapati sekelompok orang sujud kepada beliau. Seketika ‘Ali kaget seraya bertanya keheranan, “Apa yang kalian lakukan?”
“Engkaulah Dia!” jawab mereka. Maksudnya, engkaulah Allah. ‘Ali pun memberi mereka waktu tiga hari untuk bertaubat, namun enggan. Maka ‘Ali menggali parit dan dinyalakannya api, lalu mereka dilempar satu per satu ke dalamnya.
Di akhir zaman sahabat, muncul dua bentuk kebid’ahan; Qadariyah dan Murji’ah. Qadariyah adalah kelompok sempalan yang menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan seorang hamba kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut. Adapun Murji’ah adalah kelompok sesat yang berkeyakinan bahwa amalan tidak masuk dalam definisi Iman, sehingga shalat, zakat, puasa dan yang lainnya tidak masuk dalam definisi Iman. Kemudian dari keyakinan ini bercabang-cabang menjadi beberapa kelompok.
Dan di akhir zaman tabi’in, lebih tepatnya di akhir Dinasti ‘Umawiyah, juga muncul dua bentuk kebid’ahan; Jahmiyah dan Mumatstsilah. Jahmiyah berpaham mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah. Sedangkan mumatstsilah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah, hanya saja mereka menyerupakannya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan!!
Wallahu a’lam bish showab.
Dihimpun di ujung sakan “QADIM”, Daarul Hadits, Fuyush
Abu Thalha Yahya Alwindany
dari Abu Bilal Al Makasary
|
Minggu, 27 April 2014
MUTIARA FAEDAH DARS SYAIKHUNA YASIN AL ADENY
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar