Jalan Keluar Setiap Problema Menurut Tuntunan Agama
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُوَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya.” [Ath-Tholaq: 2-3]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
أي: ومن يتق الله فيما أمره به، وتَرَك ما نهاه عنه، يجعل له من أمره مخرجًا، ويرزقه من حيث لا يحتسب، أي: من جهة لا تخطر بباله
“Maknanya: Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah pada apa yang Dia perintahkan dan meninggalkan apa yang Dia larang, maka Dia akan menjadikan jalan keluar dalam urusannya dan memberi rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka, yaitu dari arah yang tidak terbetik dalam benaknya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/146]
As-Sa’di rahimahullah berkata,
فكل من اتقى الله تعالى، ولازم مرضاة الله في جميع أحواله، فإن الله يثيبه في الدنيا والآخرة.ومن جملة ثوابه أن يجعل له فرجًا ومخرجًا من كل شدة ومشقة، وكما أن من اتقى الله جعل له فرجًا ومخرجًا، فمن لم يتق الله، وقع في الشدائد والآصار والأغلال، التي لا يقدر على التخلص منها والخروج من تبعتها
“Maka setiap orang yang bertakwa kepada Allah ta’ala dan senantiasa berusaha meraih keridhoaan Allah dalam seluruh kondisinya, maka Allah akan membalasnya di dunia dan akhirat, dan diantara bentuk balasan-Nya adalah Dia akan menjadikan untuknya kemudahan dan jalan keluar dari setiap kesulitan serta beban. Dan apabila orang yang bertakwa kepada Allah akan Dia berikan kemudahan serta jalan keluar, maka sebaliknya, orang yang tidak bertakwa kepada Allah akan menghadapi berbagai macam kesusahan, kesulitan yang berat dan himpitan kehidupan yang ia tidak mampu lepas darinya dan keluar dari akibat-akibat buruknya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 869]
Sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” [Ath-Thalaq: 4]
Dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، َاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ، وَاعْمَلْ لِلَّهِ بِالشُّكْرِ فِي الْيَقِينِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الصَّبْرَ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرٌ كَثِيرٌ، وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya Dia akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.
Dan ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Telah kering catatan-catatan (takdir) dan pena-pena telah diangkat.
Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci adalah kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.” [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan lainnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Zhilalul Jannah: 315, Al-Misykah: 5302, Ash-Shahihah: 2382]
[FAIDAH] BERIBADAH HANYA UNTUK MENDAPATKAN JALAN KELUAR PROBLEMA ATAU REZEKI DI DUNIA ADALAH TERCELA, JADI BAGAIMANA SEHARUSNYA?
Beribadah semata-mata demi meraih jalan keluar dari permasalahan dunia atau mengharapkan rezeki di dunia dan tidak sama sekali mengharapkan balasan di akhirat atau tidak dilakukan karena Allah adalah termasuk syirik besar.
Allah ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hud: 15-16]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan ayat ini dalam Kitab At-Tauhid pada bab, “Termasuk Syirik, Keinginan Seseorang Untuk Meraih Dunia dengan Amalnya.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
أمثلة تبين كيفية إرادة الإنسان بعمله الدنيا:
1- أن يريد المال; كمن أذن ليأخذ راتب المؤذن، أو حج ليأخذ المال.
2- أن يريد المرتبة; كمن تعلم في كلية ليأخذ الشهادة؛ فترتفع مرتبته.
3- أن يريد دفع الأذى والأمراض والآفات عنه: كمن تعبد لله كي يجزيه الله بهذا في الدنيا، بمحبة الخلق له، ودفع السوء عنه، وما أشبه ذلك.
4- أن يتعبد لله: يريد صرف وجوه الناس إليه بالمحبة والتقدير.
وهناك أمثلة كثيرة.
1- أن يريد المال; كمن أذن ليأخذ راتب المؤذن، أو حج ليأخذ المال.
2- أن يريد المرتبة; كمن تعلم في كلية ليأخذ الشهادة؛ فترتفع مرتبته.
3- أن يريد دفع الأذى والأمراض والآفات عنه: كمن تعبد لله كي يجزيه الله بهذا في الدنيا، بمحبة الخلق له، ودفع السوء عنه، وما أشبه ذلك.
4- أن يتعبد لله: يريد صرف وجوه الناس إليه بالمحبة والتقدير.
وهناك أمثلة كثيرة.
“Contoh-contoh yang menerangkan bagaimana manusia menginginkan dunia dengan amalannya:
1) Menginginkan harta, seperti orang yang adzan untuk mengambil upah mu’adzin, atau naik haji untuk mendapatkan harta.
2) Menginginkan kedudukan, seperti orang yang belajar agama di fakultas untuk mendapatkan ijazah, sehingga meninggi kedudukannya.
3) Menginginkan untuk menolak keburukan, penyakit dan musibah, seperti orang yang beribadah kepada Allah agar Allah membalasnya di dunia ini saja, yaitu dijadikan makhluk cinta kepadanya, menolak kejelekan darinya, dan yang semisalnya.
4) Seorang yang beribadah kepada Allah karena ingin dipandang oleh orang dengan cinta dan penghormatan. Dan masih banyak contoh lain.” [Al-Qoulul Mufid, 2/137]
Ini semuanya tercela jika ibadahnya semata-mata karena dunia. Sedangkan apabila niatnya karena Allah ta’ala (untuk meraih pahala dari-Nya), kemudian ia menyertakan niat untuk mendapatkan kenikmatan dunia, maka tidak mengapa insya Allah ta’ala.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
أن الإنسان إذا أراد بعمله الحسنيين- حسنى الدنيا، وحسنى الآخرة-; فلا شيء عليه لأن الله يقول: {وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}، [الطلاق: من الآية2-3]، فرغبه في التقوى بذكر المخرج من كل ضيق والرزق من حيث لا يحتسب.
فإن قيل: من أراد بعمله الدنيا كيف يقال إنه مخلص، مع أنه أراد المال مثلا؟
أجيب: إنه أخلص العبادة ولم يرد بها الخلق إطلاقا، فلم يقصد مراءاة الناس ومدحهم، بل قصد أمرا ماديا; فإخلاصه ليس كاملا لأن فيه شركا، ولكن ليس كشرك الرياء يريد أن يمدح بالتقرب إلى الله، وهذا لم يرد مدح الناس بذلك، بل أراد شيئا دنيئا غيره.
ولا مانع أن يدعو الإنسان في صلاته، ويطلب أن يرزقه الله المال، ولكن لا يصلي من أجل هذا الشيء; فهذه مرتبة دنيئة.
أما طلب الخير في الدنيا بأسبابه الدنيوية; كالبيع، والشراء، والزراعة; فهذا لا شيء فيه، والأصل أن لا نجعل في العبادات نصيبا من الدنيا، وقد سبق البحث في حكم العبادة؛ إذا خالطها الرياء، في باب الرياء.
فإن قيل: من أراد بعمله الدنيا كيف يقال إنه مخلص، مع أنه أراد المال مثلا؟
أجيب: إنه أخلص العبادة ولم يرد بها الخلق إطلاقا، فلم يقصد مراءاة الناس ومدحهم، بل قصد أمرا ماديا; فإخلاصه ليس كاملا لأن فيه شركا، ولكن ليس كشرك الرياء يريد أن يمدح بالتقرب إلى الله، وهذا لم يرد مدح الناس بذلك، بل أراد شيئا دنيئا غيره.
ولا مانع أن يدعو الإنسان في صلاته، ويطلب أن يرزقه الله المال، ولكن لا يصلي من أجل هذا الشيء; فهذه مرتبة دنيئة.
أما طلب الخير في الدنيا بأسبابه الدنيوية; كالبيع، والشراء، والزراعة; فهذا لا شيء فيه، والأصل أن لا نجعل في العبادات نصيبا من الدنيا، وقد سبق البحث في حكم العبادة؛ إذا خالطها الرياء، في باب الرياء.
“Bahwa manusia, jika menginginkan dengan amalannya dua kebaikan, yaitu kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, maka tidak ada dosa atasnya, karena Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (Ath-Tholaq: 2-3)
Maka dalam ayat ini, Allah ta’ala memotivasi untuk bertakwa dengan menyebutkan jalan keluar dari kesempitan dan rezeki dari arah yang tidak ia sangka.
Jika dikatakan: Barangsiapa yang menginginkan dunia (dan akhirat) dengan amalannya, bagaimana bisa dikatakan bahwa dia orang yang ikhlas, padahal dia menginginkan harta –misalkan-?
Aku jawab: Sesungguhnya ia telah mengikhlaskan ibadah dan tidak menginginginkan (pujian) makhluk secara mutlak, maka ia tidak bermaksud untuk mempertontonkan amalannya kepada manusia dan meraih pujian mereka, tetapi ia bermaksud mendapatkan sesuatu yang sifatnya materi, maka keikhlasannya tidak sempurna, karena padanya ada percampuran (tidak murni), akan tetapi tidak sama dengan syirik seperti riya, yang menginginkan agar dipuji ketika mendekatkan diri kepada Allah. Adapun yang ini, tidak menginginkan pujian manusia ketika beribadah, namun ia menginginkan sesuatu yang rendah selain itu.
Dan tidak mengapa seseorang berdoa dalam sholatnya, meminta rezeki dari Allah, akan tetapi janganlah ia sholat karena hal ini, karena ini tingkatan yang rendah.
Adapun mengejar kebaikan dunia dengan amalan-amalan dunia, seperti jual beli dan pertanian, maka ini tidak ada dosa padanya. Dan hukum asal, kita tidak boleh menjadikan dalam ibadah-ibadah itu bagian untuk dunia, dan telah lewat pembahasan hukum ibadah apabila tercampur riya pada Bab Riya.” [Al-Qoulul Mufid, 2/138]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hendaklah dibedakan antara beribadah karena riya (mempertontonkan ibadah kepada manusia agar mendapat pujian) dan beribadah karena menginginkan dunia. Adapun beribadah karena riya maka semua bentuknya tercela, bahkan bisa jadi syirik besar jika riyanya murni atau mendominasi, seperti riyanya kaum munafikin. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” [An-Nisa: 142]
Adapun sedikit riya, yaitu beribadah dengan niat karena Allah ta’ala dan disertai riya maka ini termasuk syirik kecil dan dosa terbesar setelah syirik besar.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَر قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ ، يَقُولُ اللَّهُعَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْتَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.” [HR. Ahmad dari Mahmud bin Labid radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 951]
Kesimpulan:
1) Beribadah dengan niat semata-mata karena Allah ta’ala inilah yang dituntut, inilah tingkatan tertinggi.
2) Beribadah dengan niat karena Allah dan menyertakan niat untuk mendapatkan dunia seperti harta dan kedudukan, maka ini dibolehkan namun tingkatannya lebih rendah dibanding yang sebelumnya.
3) Beribadah dengan niat semata-mata karena dunia maka ini termasuk syirik besar.
4) Beribadah dengan niat semata-mata atau kebanyakan untuk dipertontonkan kepada manusia agar mendapatkan pujian (riya), maka ini termasuk syirik besar.
5) Beribadah dengan niat karena Allah dan disertai dengan niat untuk dipertontonkan kepada manusia agar mendapatkan pujian (riya), maka ini termasuk syirik kecil.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray [www.fb.com/sofyanruray.info]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar