Pembatal Puasa Terkait Makan, Minum dan Beberapa Permasalahan Kontemporer
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Makan dan minum dengan sengaja membatalkan puasa dan termasuk dosa besar, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan ulama).
➡Allah ta’ala berfirman,
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.” [Al-Baqoroh: 187]
➡Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
➡Dalam riwayat lain,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan makannya, minumnya dan syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu]
➡Adapun ijma’, maka ulama sepakat bahwa setiap makanan dan minuman yang menguatkan tubuh membatalkan puasa, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa makanan dan minuman yang tidak menguatkan tubuh juga membatalkan puasa.[1]
Dan pendapat yang kuat insya Allah adalah semua makanan dan minuman membatalkan puasa berdasarkan keumuman dalil.
➡Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والأكل هو إدخال الشيء إلى المعدة عن طريق الفم.
“Makan adalah memasukan sesuatu ke perut melalui mulut.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/366]
➡Beliau rahimahullah juga berkata,
وأن كل ما ابتلعه الإنسان من نافع أو ضار، أو ما لا نفع فيه ولا ضرر فإنه مفطر لإطلاق الآية.
“Dan bahwa semua yang dimasukkan ke dalam mulut oleh seseorang, apakah itu (makanan) yang bermanfaat atau yang berbahaya, atau yang tidak bermanfaat dan tidak pula berbahaya, maka semuanya membatalkan puasa berdasarkan keumuman ayat.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/367]
➡Beliau rahimahullah juga berkata,
الشرب يشمل ما ينفع وما يضر، وما لا نفع فيه ولا ضرر، فكل ما يشرب من ماء، أو مرق، أو لبن، أو دم، أو دخان، أو غير ذلك.
“Minum mencakup semua minuman yang bermanfaat dan yang berbahaya, serta yang tidak bermanfaat dan yang tidak berbahaya, maka semua yang diminum seperti air, kuah, susu, darah, rokok atau yang semisalnya (membatalkan puasa).” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/367]
➡Demikian pula memasukkan makanan atau minuman melalui hidung sampai ke perut dengan sengaja, menurut pendapat terkuat insya Allah adalah membatalkan puasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Sempurnakanlah wudhu’, cucilah sela-sela jari dan bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke hidung, kecuali engkau sedang puasa.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Laqith bin Shabrah radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 130]
Ringkasan Pembahasan Pembatal Puasa Terkait Makan, Minum dan Beberapa Permasalahan Kontemporer:
A. Pembatal Puasa Terkait Makan dan Minum yang Disepakati Ulama:
1) Makan makanan yang menguatkan tubuh.
2) Minum minuman yang menguatkan tubuh.
B. Pembatal Puasa Terkait Makan dan Minum yang Dikhilafkan Ulama dan Terdapat Dalil Tegas yang Memutuskan:
1) Makan makanan atau minum minuman yang tidak menguatkan tubuh, sama saja apakah bermanfaat atau membahayakan tubuh, ataupun tidak bermanfaat dan tidak pula berbahaya, maka pendapat yang benar insya Allah adalah membatalkan puasa karena keumuman dalil, tanpa memberikan pengecualiaan.
2) Memasukkan makanan dan minuman dengan sengaja melalui hidung (termasuk obat tetes hidung) yang sampai ke perut, pendapat yang benar insya Allah adalah membatalkan puasa berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah radhiyallahu’anhu.
C. Pembatal Puasa Terkait Makan dan Minum yang Dikhilafkan Ulama dan Tidak Terdapat Dalil Tegas yang Memutuskan:
1) Memakai celak mata
2) Tetes mata
3) Tetes telinga
4) Menggunakan inhaler, menghirup aroma terapi, menghirup gas obat bius, mencium bau dan yang semisalnya
5) Menggosok gigi dengan pasta gigi (odol), obat kumur, obat yang diletakkan di mulut dan yang semisalnya
6) Memakai minyak gosok atau koyo yang menyerap ke dalam tubuh
7) Infus yang menguatkan tubuh
8) Infus yang tidak menguatkan tubuh
9) Suntikan yang menguatkan tubuh
10) Suntikan yang tidak menguatkan tubuh
11) Memasukkan sesuatu melalui saluran kencing
12) Memasukkan sesuatu ke perut melalui kemaluan depan
13) Memasukkan sesuatu ke perut melalui anus, seperti obat untuk menurunkan panas dan yang semisalnya
14) Memasukkan alat melalui mulut untuk meneropong isi perut atau menarik sesuatu dari perut
15) Memasukkan sesuatu ke perut melalui luka robek di perut.
Ulama rahimahumullah berbeda pendapat dalam masalah-masalah di atas, apakah membatalkan puasa atau tidak, pendapat yang kuat insya Allah adalah semuanya tidak membatalkan puasa, karena tidak ada dalil yang shahih lagi sharih (tegas) yang menunjukkan hal tersebut, dan hukum asalnya segala sesuatu tidak membatalkan puasa sampai ada dalil yang menunjukkannya.
➡Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَأَمَّا الْكُحْلُ وَالْحُقْنَةُ وَمَا يُقْطَرُ فِي إحْلِيلِهِ وَمُدَاوَاةُ الْمَأْمُومَةِ وَالْجَائِفَةِ فَهَذَا مِمَّا تَنَازَعَ فِيهِ أَهْلُ الْعِلْمِ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُفَطِّرْ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَمِنْهُمْ مَنْ فَطَّرَ بِالْجَمِيعِ لَا بِالْكُحْلِ وَمِنْهُمْ مَنْ فَطَّرَ بِالْجَمِيعِ لَا بِالتَّقْطِيرِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُفَطِّرْ بِالْكُحْلِ وَلَا بِالتَّقْطِيرِ وَيُفَطِّرُ بِمَا سِوَى ذَلِكَ. وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ بِشَيْءِ مِنْ ذَلِكَ. فَإِنَّ الصِّيَامَ مِنْ دِينِ الْمُسْلِمِينَ الَّذِي يَحْتَاجُ إلَى مَعْرِفَتِهِ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ فَلَوْ كَانَتْ هَذِهِ الْأُمُورُ مِمَّا حَرَّمَهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ فِي الصِّيَامِ وَيَفْسُدُ الصَّوْمُ بِهَا لَكَانَ هَذَا مِمَّا يَجِبُ عَلَى الرَّسُولِ بَيَانُهُ وَلَوْ ذَكَرَ ذَلِكَ لَعَلِمَهُ الصَّحَابَةُ وَبَلَّغُوهُ الْأُمَّةَ كَمَا بَلَّغُوا سَائِرَ شَرْعِهِ. فَلَمَّا لَمْ يَنْقُلْ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ لَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا وَلَا مُسْنَدًا وَلَا مُرْسَلًا – عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ.
“Adapun mengenakan celak mata, memasukkan sesuatu melalui dubur, injeksi saluran kencing, pengobatan luka di kepala sampai ke otak dan pengobatan terhadap penyakit dalam melalui perut yang robek, maka ini semua adalah permasalahan yang dikhilafkan para ulama, ada yang berpendapat tidak ada satu pun yang membatalkan puasa, ada yang berpendapat semuanya membatalkan puasa kecuali celak, ada yang berpendapat semuanya membatalkan puasa kecuali injeksi dan ada yang berpendapat tidak batal dengan celak dan injeksi, namun batal dengan selain itu.
Pendapat yang paling jelas kebenarannya adalah tidak ada satu pun dari semua itu yang membatalkan puasa, karena sesungguhnya puasa termasuk ajaran agama kaum muslimin yang membutuhkan pengenalan terhadapnya secara khusus dan umum.
Andaikan perkara-perkara ini termasuk yang Allah dan Rasul-Nya haramkan ketika puasa dan dapat membatalkan puasa, maka sudah tentu termasuk perkara yang wajib dijelaskan oleh Rasul shallallahu’alaihi wa sallam, dan andaikan beliau telah menjelaskannya pasti diketahui oleh para sahabat dan mereka akan menyampaikannya kepada umat sebagaimana mereka telah menyampaikan semua syari’atnnya yang lain, maka tatkala tidak ada satu pun ulama yang menukil dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang itu, tidak hadits shahih, tidak pula dha’if, dan tidak hadits yang dinukil dengan sanad bersambung, tidak pula yang terputus, maka diketahui bahwa beliau tidak menyebutkan sedikit pun tentang itu.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/233-234]
Dan pendapat ulama bahwa infus dan suntikan yang menguatkan tubuh membatalkan puasa karena fungsinya sama dengan makan dan minum cukup kuat dari satu sisi, akan tetapi masih kurang tepat, karena sebab pelarangan makan dan minum bukan sekedar menguatkan tubuh tetapi juga karena menikmati kelezatan.
➡Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
إن العلة في تفطير الصائم بالأكل والشرب ليست مجرد التغذية، وإنما هي التغذية مع التلذذ بالأكل والشرب.
“Sesungguhnya sebab yang membatalkan puasa dengan makan dan minum bukan hanya karena menguatkan tubuh, akan tetapi menguatkan tubuh disertai merasa lezat dengan makan dan minum tersebut.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/369]
➡Beliau rahimahullah juga berkata,
فيكون القول الراجح في هذه المسألة قول شيخ الإسلام ابن تيمية مطلقاً، ولا التفات إلى ما قاله بعض المعاصرين.
“Maka pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara mutlak, dan tidak perlu menoleh kepada pendapat sebagian ulama kontemporer dalam permasalahan ini.”[Asy-Syarhul Mumti’, 6/369]
➡Beliau rahimahullah juga berkata,
ثم لدينا قاعدة مهمة لطالب العلم، وهي أننا إذا شككنا في الشي أمفطر هو أم لا؟ فالأصل عدم الفطر، فلا نجرؤ على أن نفسد عبادة متعبد لله إلا بدليل واضح يكون لنا حجة عند الله عزّ وجل.
“Kemudian kita punya kaidah penting bagi Penuntut ilmu, yaitu apabila kita ragu dalam satu perkara apakah membatalkan puasa atau tidak? Maka hukum asalnya tidak membatalkan, janganlah kita lancang merusak ibadah orang yang beribadah kepada Allah kecuali dengan dalil yang jelas, yang akan menjadi hujjah bagi kita di hadapan Allah ‘azza wa jalla kelak.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/370]
Pengecualian:
1) Memasukkan alat untuk meneropong isi perut atau menarik sesuatu dari perut tidak membatalkan puasa kecuali jika di alat tersebut terdapat minyak atau cairan yang kemudian masuk ke perut maka puasanya batal.[2]
2) Memasukkan sesuatu ke perut melalui luka robek di perut tidak membatalkan puasa kecuali apabila fungsi luka robek itu telah menggantikan mulut untuk memasukkan makanan dan minuman maka puasanya batal.[3]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
—————-
[1] Lihat Al-Mughni, 4/349, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 180.
[2] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/371.
[3] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/371.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar