Faedah-Faedah Fiqhiyah Dari Kitab ‘Umdatul Ahkam (Hadits ke-27)
FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM
Hadits Keduapuluh Tujuh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُولُ «الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ».
“Dari Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu, saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sunnah-sunnah fitrah itu ada lima, yaitu; berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” [HR. Al Bukhari - Muslim]
Faedah yang terdapat dalam hadits:
-
Kalimat Fitrah pada hadits bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Kalimat Fitrah pada hadits bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Berkata Al Imam An Nawawi: “Pentafsiran Fitrah dengan Sunnah inilah yang benar.
Sunnah-sunnah fitrah banyak sekali, tidak terbatas pada lima jenis yang disebutkan dalam hadits ini. Telah datang dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim dengan lafazh:
«خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ»
“lima dari sunnah-sunnah fitrah”
Disebutkan dalam hadits ini lima jenis sunnah-sunnah;
a. Khitan, ia adalah memotong sebagian kulit yang menutupi ujung kemaluan agar ujung kemaluan bisa nampak dan kotoran tidak hinggap pada kulit tersebut sehingga terkadang menimbulkan penyakit dan radang.
Masalah: Hukum khitan untuk laki-laki:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;
Pendapat pertama
menyatakan bahwa hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
«الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ، مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ»
““Khitan itu hukumnya sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita.” [HR. Ahmad, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitabnya Adh Dha'iifah no 1935]
Pendapat kedua
menyatakan bahwa hukumnya wajib. Ini adalah pendapat ‘Athoo, Asy Sya’bi, Rabi’ah, Al Auza’i, Ahmad, Asy Syafi’i dan yang lainnya. Dalil-dalil mereka:
1. Firman Allah Ta’ala:
{ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا…}
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif…” [QS. An Nahl: 123]
2. Hadits ‘Utsaim bin Kulaib, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ»
“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu syaikhnya Ibnu Juraij]
3. Khitan merupakan syiar Islam yang paling jelas dan paling nampak yang dengannya dibedakan antara seorang muslim dengan seorang nasrani, sampai-sampai hampir tidak dijumpai ada di kalangan kaum muslimin yang tidak berkhitan.
4. Kulit yang menutupi ujung kemaluan jika tidak dipotong maka jika dia kencing akan sulit disucikan, baik dengan air maupun batu. Oleh karena itu, sahnya wudhu dan shalat terikat dengan khitan.
Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Qayyim, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin_rahimahumullah dan juga Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
Masalah: Hukum khitan untuk wanita:
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah mustahab (sunnah). Karena hadits-hadits yang menunjukan perintah wanita berkhitan semuanya lemah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dan dipilih oleh Ibnu Qudamah, Syaikh Al ‘Utsaimin_rahimahumullah dan juga Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah. Dalil-dalil yang menunjukan sunnahnya khitan untuk wanita adalah keumuman hadits Abu Hurairah diatas, dan juga hadits ‘Aisyah_radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi bersabda:
«إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ»
“Apabila dua khitan (kemaluan) bertemu, maka wajib untuk mandi.” [HR. Ahmad, dishahihkan Syailh Al Albani dalam kitabnya Ash Shahihah no 1261]
Berkata Imam Ahmad_rahimahullah: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa para wanita dahulu juga melakukan khitan”
Masalah: Kapan khitan diwajibkan bagi laki-laki?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih dari sekian pendapat adalah waktu wajib berkhitan disaat dia telah balig, karena usia balig telah merubah dia menjadi seorang mukallaf (yang dibebani syariat).
Barangsiapa sudah balig, namun menunda-nunda khitan tanpa adanya alasan yang syar’i maka dia berdosa.
Barangsiapa sudah balig, namun menunda-nunda khitan tanpa adanya alasan yang syar’i maka dia berdosa.
Masalah: Kapan disunnahkan bagi seseorang melakukan khitan?
Para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat jumhur ulama, yaitu: tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan waktu khusus untuk melaksanakan khitan. Kapan dia berkhitan selama belum balig maka dia telah mencocoki kebenaran.
Berkata Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni: “Hendaknya kita melihat mana yang lebih tepat dan pas untuk anak kita. Barangkali waktu yang tepat untuk melakukan khitan ketika anak-anak masih kecil.”
b. Al Istihdad, mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur.
Para ulama sepakat bahwa hukumnya sunnah. Menghilangkan rambut kemaluan bisa dengan cara apa saja, baik dipotong dengan gunting, dicabut atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut. Namun cara yang utama adalah dengan dicukur sampai habis tanpa menyisakannya, sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah diatas.
PERHATIAN:
Mencukur rambut kemaluan ini tidak boleh dan bahkan haram dilakukan oleh orang lain, terkecuali orang yang dibolehkan menyentuh dan memandang kemaluannya seperti suami dan istri atau dengan budak perempuannya.
Masalah: Hukum mencukur rambut yang tumbuh disekitar dubur:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;
- Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah, agar tidak ada kotoran yang melekat padanya setelah intinja’ atau istijmar.
- Sebagian mereka ada yang menyatakan makruh.
- Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menunjukan syariat memotongnya dan tidak ada pula dalil yang mengharamkan ataupun memakruhkan.
Inilah pendapat yang terpilih. Pendapat ini dipilih Al Imam An Nawawi, Asy Syaukani_rahimahullah dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
Berkata An Nawawi_rahimahullah: “akan tetapi, tidak ada larangan bagi seseorang untuk mencukur rambut yang tumbuh disekitar dubur. Adapun dikatakan sunnah maka saya tidak melihat satupun padanya dalil yang mereka jadikan sandaran. Kecuali kalau sandarannya dalam rangka kebersihan dan memudahkan ketika beristinja maka hal ini perkara yang dicintai, wallahu a’lam.” [Al Majmu' 1/289]
Berkata Asy Syaukani_rahimahullah: “Tidaklah sempurna pengklaiman sunnahnya mencukur rambut dubur kecuali dengan dalil, sedangkan kami belum dapatkan hal tersebut dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ataupun dari para shahabat.[Nailul Authar: 1/141]
Insya Allah kita sambung faedah-faedah yang bisa kita ambil dari hadits Abu Hurairah ini pada pertemuan yang akan datang.
Wallahul muwaffiq ilash shawab
[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_7 Jumadal Ula 1435/ 8 Maret 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]
Sumber : kajiansalafiyyin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar