22 Rabbiul Awwal
1434 هـ
1434 هـ
Polemik dan Kontrakdisi Munculnya Syaikh Shalih al-Fauzan di Televisi
MEMURNIKAN ITTIBA’
MEMURNIKAN ITTIBA’
DAN MEMBERSIHKAN NAMA BAIK ULAMA AHLUSSUNNAH
(Study Kasus Munculnya Syaikh Sholeh Al-Fauzan di Televisi yang Menimbulkan Polemik dan Kontradiksi)
Ditulis oleh: Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al Jawy
-Semoga Alloh mengampuni dosa-dosanya-
Darul Hadits Dammaj, Jumat, 20 Robiul Awwal 1434H
Darul Hadits Dammaj, Jumat, 20 Robiul Awwal 1434H
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الحمدلله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى أله وأصحابه ومن واله، أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد:
Di antara prinsip utama aqidah Ahlussunnah wal jamaah adalah peletakan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dasar utama pengambilan hukum serta mengedepankan keduanya dalam setiap perkara. Alloh telah berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’rof: 3)
Hal ini dikarenakan tidaklah tersisa satu perkara pun baik di masa dahulu maupun sekarang bahkan yang akan datang, kecuali Alloh dan Rosul-Nya telah menentukan hukumnya, baik secara nash maupunistimbath. Alloh adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, tahu semua perkara yang akan muncul dan tidak, serta tahu dampak yang akan ditimbulkannya jika perkara tersebut muncul. Adapun perselisihan yang terjadi dalam menentukan suatu hukum kembali pada kekurangan manusia dalam memahami syariat Alloh dan penjelasan-penjelasan yang disampaikan Rosul-Nya.
Dengan ini jelaslah bahwa penempatan seseorang sebagai sesuatu yang diikuti dalam setiap perbuatan dan perkataannya tanpa mengetahui dalilnya merupakan penyelisihan terhadap manhaj ahlus sunnah.
Prinsip di atas secara sekilas memang mudah, tapi pada kenyataannya merupakan perkara yang berat untuk diterapkan –kecuali bagi orang-orang yang mendapat taufiq dari Alloh-. Oleh karena itu, banyak kita lihat orang-orang terjerembab ke dalam kesesatan disebabkan jauhnya mereka dari pengamalan prinsip utama tersebut. Sehingga mereka mengedepankan perkataan dan perbuatan para pemimpin mereka atas perkataan Alloh dan Rosul-Nya.
Ironisnya, penyakit ini juga menjangkiti sebagian saudara kita yang menisbahkan dirinya sebagai salafy, walaupun tarafnya tidak sekronis yang menimpa para hizbiyyun. Namun merupakan kaidah yang diakui oleh syariat dan akal yang sehat bahwa sesuatu yang menimbulkan dampak negatif harus dipupus dengan segera sehingga tidak menjalar dan mencelakakan diri dan orang-orang sekitarnya.
Diantara kasus yang menunjukkan ketidak kokohan sebagian orang dalam memahami dan memegang prinsip di atas adalah mudahnya mereka goyah dari pijakan yang diyakininya ketika melihat ada ulama melakukan hal yang menyelisihi keyakinannya. Sebagai contoh adalah munculnya Syaikh Sholeh Al-Fauzan –hafidzohulloh- di layar Televisi pada tahun-tahun terakhir ini.
Hal ini tidak bisa dipungkiri memang menimbulkan polemik dan kontradiksi yang butuh untuk diperjelas dan didudukkan dengan benar. Terlebih lagi ketika banyak manusia berbicara dalam kasus ini tanpa didasari ilmu. Sebagian menjadikan kemunculan beliau itu sebagai dalil bahwa gambar makhluk bernyawa boleh, sebagian lainnya: televisi itu boleh. Sebagian lainnya bersikap kebalikannya: mereka mencela dan menempatkan Syaikh pada kedudukan yang tidak sepantasnya. Sebagiannya lagi bertanya-tanya; bagaimanakah hakekat perkara yang sebenarnya?
Oleh karena itu pada pembahasan kali ini –Insya Alloh- akan kami kupas permasalahan ini sehingga tidak menimbulkan tanda tanya lagi. Harapan kami, penjelasan yang akan datang juga bisa memberikan wacana dan pelajaran dalam menghadapi kasus-kasus lain yang semisal dengannya. Nasalullohat Taufiq was Sadad.
Bimbingan Syareat dalam Menyikapi Perbuatan Ulama.
Ikhwany –waffaqokumulloh- merupakan hal yang disepakati bahwa ulama adalah manusia biasa yang terkadang lupa dan tidak mendapat jaminan bahwa semua perbuatannya itu benar. Oleh karena itu, tidaklah dibenarkan seseorang mengambil kesimpulan dan menarik suatu hukum dari perbuatan yang mereka lakukan dengan serta-merta tanpa meminta penjelasan. Terlebih lagi jika perbuatan yang dilakukannya itu terdapat pertentangan dengan perkara yang dikenal darinya.
Imam Asy-Syatiby –Rohimahulloh- berkata: “(Para ulama) mengatakan: “Janganlah kamu melihat perbuatan seorang ‘alim, tapi tanyalah dia maka dia akan membenarkan (dugaanmu atau menyalahkannya).” [Al-I’tishom: 2/605]
Beliau juga mengatakan: “(Para ulama) mengatakan: ilmu yang paling lemah adalah (yang didapat dari) penglihatan, yaitu seseorang melihat orang lain melakukan sesuatu kemudian dia melakukan yang semisalnya, padahal mungkin saja orang (yang dilihat tersebut) melakukannya karena lupa.” [Al-I’tishom: 3/109]
Inilah kaidah dalam menyikapi perbuatan ulama. Sebab perbuatan itu memiliki kemungkinan yang banyak; terkadang tidak disengaja, terkadang karena lupa, terkadang karena terpaksa, terkadang karena menghindari kemadhorotan yang lebih besar….dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. [lihat penjelasan Syaikh Sholeh Alu Syaikh dalam Syarh Aqidah Thohawiyyah]
Demikian pula pada kasus kita ini, kita tidak boleh langsung mengambil kesimpulan dan menetapkan suatu hukum hanya dengan sekedar melihat munculnya Syaikh Al-Fauzan di layar TV. Namun kita harus mencari penjelasan; apa yang menjadi dasar beliau sehingga melakukan perbuatan tersebut??[1]
Penjelasan tentang Pendapat Syaikh Al-Fauzan dalam Permasalahan Shuroh dan Televisi.
Pertama: Fatwa beliau tentang haramnya shuroh (gambar makhluk bernyawa) baik digambar dengan tangan maupun dengan kamera
Syaikh Sholeh Fauzan –hafidzohulloh- ketika menjelaskan hadits:
كلُّ مصوِّرٍ في النّار، يُجعل له بكلّ صورة صوّرها نفسٌ يعذّب بها في جهنّم
“Setiap orang yang menggambar (makhluk bernyawa akan masuk) neraka. Gambar-gambar yang telah mereka buat itu akan dijadikan bernyawa sehingga menyiksa mereka di Jahannam”.
Beliau berkata: “(Sabda beliau ini) juga umum mencakup seluruh gambar makhluk yang bernyawa, baik itu dihasilkan dengan digambar atau dipahat atau dengan memencet alat. Perbedaannya hanyalah bahwa pengguna alat lebih cepat kerjanya daripada orang yang menggambar (dengan tangan), adapun hasilnya sama, masing-masing mereka menginginkan untuk menghasilkan ‘shuroh’.
Orang yang mengukir atau membikin patung tujuannya terciptanya ‘shuroh’. Orang yang melukis tujuannya juga ‘shuroh’. Orang yang memotret dengan kamera tujuannya juga ‘shuroh’. Lalu, kenapa kita membedakan-bedakan mereka??! Padahal Rosul Shollallohu ‘alahi wa sallam telah bersabda:
كلُّ مصوِّرٍ في النّار
“Semua orang yang menggambar makhluk bernyawa di neraka”?!.
(Mereka) tidaklah punya dalil kecuali falsafat yang mereka buat-buat dan teori-teori yang mereka ada-adakan. Mereka ingin membatasi cakupan makna sabda Rosululloh Shollallohu ‘alahi wa sallam (di atas) dengan kepala mereka….(Padahal) merupakan suatu perkara yang dimaklumi bahwa perkataan Alloh dan Rosul-Nya tidaklah boleh dibatasi cakupan maknanya kecuali dengan dalil dari perkataan Alloh dan Rosul-nya juga. Bukan dengan ijtihad atau teori-teori buatan manusia. (“I’anatul Mustafid”: 2/ 369)
Perkataan di atas sangat jelas bahwa Syaikh Fauzan berpendapat bahwa shuroh itu haram secara mutlak. Tidak dibedakan apakah shuroh dihasilkan dengan tangan atau dengan kamera. Tidak pula dibedakan apakah shuroh itu dua dimensi atau tiga dimensi. Inilah yang benar dalam perkara shuroh yang tidak ada pilihan selainnya. [lihat kembali penjelasan secara terperinci dalam tulisan kami: “Televisi dalam Timbangan Syar’i”]
Kedua: Pendapat beliau tentang Televisi dan video
Dalam permasalahan ini, Syaikh Fauzan mempunyai beberapa fatwa yang berbeda, sehingga kita harus mencermati dengan benar fatwa-fatwa tersebut dan menempatkan sesuai porsinya.
Pada awalnya beliau berpendapat bahwa shuroh yang ada di layar televisi hukumnya haram secara mutlak. Hal ini nampak nyata dari fatwa-fatwa serta perbuatan beliau. Oleh karena itu beliau dengan tegas menolak untuk keluar ke studio-studio TV. Beliau berkata: “Aku tidak akan keluar ke studio-studio TV dan belum pernah keluar serta tidak akan keluar insya Alloh.”
Demikian pula ketika beliau diberitahu bahwa shuroh beliau muncul di TV atau majalah, dan ditanya apakah hal tersebut merupakan bukti bahwa beliau berpendapat bolehnya menggambar makhluk hidup?? Beliau menjawab:
“Tidak, hal ini bukan dalil! Saya tidak memerintahkan mereka, tidak pula meminta mereka. Merekalah yang datang. Dulu mereka mengambil gambar Syaikh Bin Baz padahal beliau mengharamkannya dan meminta dengan keras agar orang yang melakukan tersebut mencabut gambar beliau (yang telah disebar itu) dari masyarakat. Semua ini dosanya kembali kepada mereka. Adapun kami, kami tidaklah ridho dengan perbuatan tersebut dan kami tidak memerintahkan mereka untuk melakukannya. Mereka tidak pula meminta pertimbangan kami dalam perkara ini.”
Masih banyak lagi fatwa-fatwa beliau yang senada, bagi yang menginginkan lebih lengkap silakan kunjungi situs resmi beliau: http://www.alfawzan.ws/node/10233. Juga: 10243, 10209.
Kemudian ijtihad beliau dalam permasalahan ini berubah. Hal ini terlihat dengan munculnya beliau pertama kali di studio TV resmi Saudi pada tahun-tahun terakhir ini. Kemunculan beliau inilah yang menimbulkan kontradiksi di antara salafiyyin. Adapun para hizbiyyun mereka dengan girang menyambutnya dan menyatakan bahwa Syaikh Al-Fauzan membolehkan gambar. Namun apakah demikian kenyataannya??
Akhirnya pada pelajaran kitab “Ad-Durrun Nadhid” [Selasa, 18-1-1433H] beliau menjelaskan alasan kenapa beliau muncul di TV sekaligus membantah orang-orang yang menyatakan bahwa beliau telah membolehkan shuroh.
Inti dari penjelasan beliau bahwa hukum gambar yang ada di TV itu tidak termasuk dalam shuroh yang dilarang jika terjadi siaran secara langsung dan hasil shoting dari siaran tersebut tidak disimpan, baik dalam kaset video atau yang semisalnya. Sebab, jika terjadi siaran secara langsung maka hal ini ibarat pemindahan bayangan yang terjadi pada cermin.[2] Bayangan akan hilang dengan selesainya siaran. Oleh karena itu beliau mensyaratkan agar siaran tersebut tidak disimpan dan mengingkari dengan keras proses perekaman video. Beliau mencontohkan dengan siaran langsung sholat di masjidil haram dan masjid Nabawy, juga siaran langsung manasik haji di Arofah. Semua ini, jika memenuhi persyaratan di atas bukanlah termasuk perkara yang terlarang. Namun, apabila gambar hasil shoting tersebut disimpan baik dalam kaset video atau yang semisalnya maka jelas bahwa hal ini termasuk dalam proses manggambar makhluk hidup bernyawa yang diharamkan. [lihat: Majalah Ma’rifat As-Sunan wal Atsar]
Jadi, Syaikh Al-Fauzan tetap dalam fatwanya tentang haramnya shuroh, baik itu berupa lukisan tangan atau kamera, baik itu diam atau bergerak. Adapun yang dibolehkan menurut ijtihad beliau adalah proses siaran langsung yang pada hakekatnya hanya sekedar pemindahan gambar hidup belaka.
Mengkritisi pendapat Syaikh Al-Fauzan tentang Pembolehan ‘siaran langsung.’
Sebagai seorang sunny salafy, tentunya tidaklah boleh bagi kita untuk menerima pendapat seseorang yang tidak ma’shum sampai kita menimbangnya dengan timbangan syar’i. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
لَيْسَ أَحَدٌ إِلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيَدَعُ غَيْرَ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم-
“Tidaklah ada seorangpun kecuali perkataannya (bisa) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam.” [HR Thobrony: 11/ 339 dengan sanad hasan dari Ibnu Abbas]
Imam Malik –Rohimahulloh- berkata: “Tidaklah setiap seseorang mengatakan suatu perkataan –meskipun orang tersebut punya keutamaan- lantas perkataannya itu diikuti, Alloh telah berfirman:
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baiknya.” [Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/995]
Syaikhul Islam –Rohimahulloh- berkata: “Tidak boleh seorang pun berhujjah dalam perkara-perkara yang diperselisihkan dengan perkataan seseorang. Akan tetapi hujjah itu adalah Nash (baik Quran maupun Sunnah) dan ijma.’ [Majmu’ Fatawa: 26/ 202]
Oleh karena itu, marilah kita lihat kebenaran alasan yang disebutkan Syaikh Fauzan sehingga dengannya beliau menyatakan bahwa siaran langsung tidak termasuk dalam proses penggambaran makhluk bernyawa yang diharamkan.
Ketahuilah –waffaqokumulloh- bahwa alasan tersebut tidaklah bisa diterima disebabkan hal-hal berikut ini:
Pertama: Adanya perbedaan yang nyata antara proses pemancaran siaran langsung dengan cermin biasa, sehingga karenanya tidaklah bisa kita menyamakan hukum antara keduanya. Diantara perbedaan yang ada:
a) Pada cermin (demikian pula benda-benda mengkilat lainnya), tidaklah ada usaha manusia sama sekali untuk memunculkan bayangan, karena memang itu adalah sifat yang Alloh berikan pada benda-benda tersebut. Berbeda dengan kamera shoting dan alat sejenisnya yang membutuhkan usaha dan pikiran manusia.
b) ‘Shuroh’ yang dihasilkan kamera shoting tidaklah mungkin terwujud kecuali jika terkumpul padanya empat unsur: makhluk yang di-shoting, orang yang men-shoting, alat untuk shooting, dan proses pen-shoting-an. Berbeda dengan bayangan cermin yang cukup dengan mencari cermin atau benda lainnya yang mengkilat kemudian berdiri di depannya.
c) Pada ‘siaran langsung’, tidaklah akan mungkin terjadi dan tersebar ke seluruh penjuru dunia kecuali setelah mengalami beberapa proses yang berupa pengubahan obyek yang ditangkap oleh kamera shoting menjadi ‘sinyal-sinyal elektrik’ yang sinyal-sinyal ini kemudian masuk ke alat pemancar dan disebar ke penjuru dunia. Tidaklah mungkin sinyal-sinyal tersebut bisa dilihat kecuali dengan alat lain yang berfungsi untuk mengembalikannya sebagaimana awal kali ‘penangkapan’. Jadi proses ini pada hakekatnya tidaklah beda dengan proses pengambilan foto dengan kamera yang diharamkan, hanya saja hasil yang diinginkan pada ‘proses siaran langsung’ muncul dengan sangat cepat. Adapun proses pantulan cermin, tidaklah didapati padanya perubahan apapun.
d) Dari penjelasan di atas dipahami pula bahwa tidak boleh tidak, mesti ada jeda waktu dari proses pengambilan obyek sampai bisa disaksikan penonton, walaupun jeda ini sangat kecil.[3] Sebagaimana pula dipahami bahwa pada proses itu mesti ada penyimpanan ‘sinyal’ yang hendak dipancarkan walaupun penyimpanan ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
e) Hampir seluruh orang yang melihat hasil siaran langsung itu menyebutnya sebagai gambar. Belum pernah seorangpun kami dengar mengatakan bahwa siaran yang ditonton itu adalah ‘bayangan’.
Kedua: Dilihat dari praktek yang ada, bahwa kebiasaan stasiun TV itu tidak konsisten dengan persyaratan yang ditetapkan orang yang menyatakan bolehnya ‘siaran langsung.’ Mereka biasanya menyimpan hasil shoting tersebut dan tidak menghapusnya. Jadi, permasalahan ini akhirnya kembali juga ke permasalahan hukum video yang telah jelas keharamannya.
Ketiga: Pembolehan ‘siaran langsung’ akan membuka pintu untuk bermudah-mudahan dalam masalahshuroh. Terlebih lagi kebanyakan manusia tidak mengetahui batasan-batasan yang ditetapkan pihak yang membolehkan ‘siaran langsung’ sehingga dengannya seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang telah jelas haramnya. Merupakan kaidah yang telah disepakati bahwa syariat ini berusaha untuk menutup seluruh pintu-pintu yang mengantarkan pada perkara yang terlarang, sebagaimana telah disepakati pula bahwa mencegah suatu kerusakan yang besar lebih didahulukan daripada mengambil faedah yang masih di angan-angan.
Dengan ini semua, jelaslah bagi kita bahwa apa yang disebut dengan ‘siaran langsung’ itu hukumnya tidaklah berbeda dengan siaran tunda maupun kaset video. Barangsiapa mau membedakannya maka dituntut untuk mendatangkan bukti serta dalil. Oleh karena itulah Syaikh Muqbil Al-Wadi’y –rohimahulloh-menyatakan haramnya seorang da’I muncul di TV secara mutlak. Demikian pula Syaikhuna Yahya Al-Hajury –hafidzohulloh. Wallohu a’lam
Sebagai penutup, kami ingatkan bahwa perkara yang sedang kita bicarakan ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh ulama, yang masing-masing mereka berijtihad dengan ilmu yang Alloh bukakan pada mereka. Barangsiapa yang benar dalam ijtihadnya Alloh berikan dua pahala padanya, dan apabila keliru maka Alloh berikan satu pahala baginya atas usahanya yang sungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran. Yang dituntut dari seorang sunny adalah mengikuti dalil yang dijadikan pijakan masing-masing mujtahid, bukan mengikuti perasaan dan ta’ashshub golongan. Kita menghormati Syaikh Sholeh Fauzan sebagai seorang ulama yang memperjuangkan sunnah dan manhaj salaf, akan tetapi dalam permasalahan ini kita tidak sepakat dengan beliau.
Kita memohon kepada Alloh agar menjaga beliau dan seluruh ulama Ahlissunnah dimanapun mereka berada, sebagaimana kita memohon kepadaNya agar memberikan keistiqomahan kepada kita semua sampai datang ajal yang telah Alloh tetapkan.
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Hal inilah yang menyebabkan kami menunda beberapa lama untuk berbicara tentang permasalahan ini, agar bisa mendapatkan sumber-sumber yang meyakinkan dari fatwa-fatwa Syaikh Fauzan sehingga jelas perkaranya bagi kami. Wallohul Muwaffiq
[2] Orang yang berpendapat dengan pendapat ini menamakan proses siaran langsung itu dengan “Mir-ah Muthowwaroh” (cermin modern) dan menamakan siaran tunda dengan “alat lukis modern.”
[3] Diantara bukti adanya jeda waktu ini: sampainya suara yang terkadang lebih cepat daripada gambar, terlihatnya roda mobil yang berjalan berputar ke arah belakang.
http://www.ahlussunnah.web.id/polemik-dan-kontrakdisi-munculnya-syaikh-shalih-al-fauzan-di-televisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar