Bulan Sya'ban, antara Sunnah dan Bid'ah
Oleh: Abu Umar Wira Bachrun Al Bankawy
Pendahuluan
Sebentar lagi kita akan meninggalkan bulan Rajab dan masuk ke bulan
Sya'ban. Tulisan ringkas ini akan membahas beberapa perkara penting yang
berkaitan dengan bulan ini, mulai dari sebab penamaan bulan Sya'ban sampai
pembahasan sunnah dan bid'ah seputar bulan ini.
Alasan kenapa Bulan Sya'ban dinamakan Sya'ban
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau
(4/1655),
"As Sakhawi rahimahullah
mengatakan bahwa Sya'ban (dalam bahasa Arab artinya berpencar atau bercabang
-pen) berasal dari berpencar atau
berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang. Mereka lalu berkumpul pada dua
atau lebih regu pasukan."
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Fathul Bari (5/743),
"Bulan Sya'ban disebut sya'ban
karena pada bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air
atau untuk melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar
dari bulan Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan
untuk berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama
(untuk mencari air). "[1]
Sya'ban adalah Gerbang Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh
keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
telah berlalu." (Muttafaqun
'alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Untuk mencapai ampunan yang Allah janjikan maka diperlukan
kesungguh-sungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya'ban.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak melakukan
ibadah puasa di bulan Sya'ban sebagai persiapan untuk memasuki Ramadhan.
Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, beliau berkata,
لَمْ يكن النبي -
صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
"Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan
Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi)
Tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan
melewatkan bulan Ramadhan sebagaimana bulan-bulan lainnya, tidak diampuni
dosanya wal 'iyadzu billah. [2]
Sunnah-sunnah di Bulan Sya'ban
Ada beberapa sunnah di bulan Sya'ban yang hendaknya
diperhatikan:
1. Memperbanyak Puasa di Bulan Sya'ban
Sebagaimana hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha yang telah
berlalu, beliau berkata,
لَمْ يكن النبي -
صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
"Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan
Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi)
Maksud ucapan beliau radhiyallahu 'anha "… berpuasa pada
bulan Sya'ban seluruhnya" adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di
bulan Sya'ban, bukan pada keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tidaklah pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan
Ramadhan. [3]
Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk
memperbanyak puasa di bulan Sya'ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di
bulan lainnya. Para ulama menjelaskan bahwa
hikmah dari puasa Sya'ban ini adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan
Ramadhan seperti shalat rawatib dan shalat wajib (maksudnya agar dia menjadikan
puasa di bulan Sya'ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum dia masuk ke dalam
puasa Ramadhan - pen.) [4]
2. Menghitung Hari Bulan
Sya'ban
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ ، فَأكمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
"Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika
melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan
Sya'ban menjadi tigapuluh hari." (Muttafaqun 'alaihi)
Sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya'ban sebagai
persiapan sebelum memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh
sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka puasa itu dimulai ketika
melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan
bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit
dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah
tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. [5]
3. Tidak Mendahului Ramadhan dengan Puasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
لاَ
يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ
يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan
dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah
rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut." (Muttafaqun 'alaihi)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang untuk
mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali
apa yang sudah menjadi rutinitas seseorang. Misalnya seseorang yang sudah
terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu atau
dua hari sebelum Ramadhan maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa. [6]
4. Tidak Berpuasa pada Hari yang Diragukan
Dari 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ - صلى الله
عليه وسلم -
"Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya
dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu Rasulullah –pen) shallallahu
'alaihi wasallam." (HR.
Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan
shahih." Dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Abi Dawud no. 2022)
Yaumus syak (hari yang
diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya'ban apabila hilal tertutup
mendung atau karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para
ulama berbeda pendapat tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau
makruh. Dan yang kuat dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [7]
Faidah:
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا
بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
"Ketika masih tersisa
separuh dari bulan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa." (HR. At Tirmidzi, beliau berkata "Hasan
shahih.")
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan [8],
"Meski At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan
shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang lemah. Al Imam Ahmad
mengatakan bahwa hadits ini syadz[9]. Hadits ini menyelisihi riwayat Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu di mana Nabi bersabda,
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan
dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya."
Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum
Ramadhan, atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya.
Kalau pun haditsnya shahih,
maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan sebagaimana
pendapat sebagian ulama. Kecuali apabila dia sudah memiliki rutinitas puasa,
maka hendaknya dia tetap pada rutinitasnya tersebut meski di paruh kedua bulan
Sya'ban.
Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga:
1. Setelah pertengahan Sya'ban sampai tanggal dua puluh delapan, maka
ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya rutinitas puasa. Akan tetapi
pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits larangan puasa tersebut shahih.
Al Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini, maka dengan demikian tidaklah
dimakruhkan sama sekali.
2. Satu atau dua hari sebelum Ramadhan, maka ini hukumnya haram
kecuali bagi yang sudah punya rutinitas berpuasa sebelumnya.
3. Pada yaumus syak, hari yang diragukan. Maka ini haram secara
mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syak karena Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam telah melarangnya.
Bid'ah-bid'ah pada Bulan Sya'ban
Bid'ah secara bahasa artinya perkara yang baru dibuat. Adapun secara syar'i,
bid'ah artinya jalan atau metodologi baru dalam yang agama yang menyerupai
syariat yang dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Allah ta'ala. [10]
Bid'ah hukumnya haram. Allah ta'ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ
شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Asy Syura: 21)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari
ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha)
Beliau juga bersabda,
وَشّرُّ
الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
"Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama).
Semua perkara yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah
kesesatan, dan semua kesesatan tempatnya di neraka." (HR. An Nasa'i, Ibnu Majah dari Jabir bin
Abdillah radhiyallahu 'anhuma. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa'
No. 608)
Sahabat Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ
حَسَنَةً
"Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun oleh manusia hal itu
dianggap sebuah kebaikan."
Dan di antara bid'ah yang tersebar di kalangan manusia pada bulan
Sya'ban adalah:
1. Peringatan Malam Nisfu Sya'ban
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia mengatakan,
"Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah
bid'ah upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari
tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat
dijadikan sandaran. Memang ada hadits-hadits tentang keutamaan malam tersebut,
akan tetapi hadits-hadits tersebut adalah hadits yang lemah sehingga tidak
dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan
shalat pada hari itu adalah hadits yang palsu.
Dalam hal ini, banyak di antara para ulama yang menyebutkan tentang
lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan keutamaan shalat
pada hari Nisfu Sya'ban.
Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Lathaiful Ma'arif
mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits
yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam
ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara
perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak
bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif."[11]
2. Nyekar/Ziarah Qubur
Ziarah qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ
فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah
kubur. Maka sekarang ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada pelajaran.
Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad dan yang selainnya
dari Ali radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Ash Shahihah no. 886)
Beliau juga bersabda,
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ
“Ziarahilah
kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Al Imam Ash Shan'ani mengatakan,
“Hadits-hadits ini menunjukkan disyariatkannya
ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil
pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah
itu bukanlah ziarah yang diinginkan secara syar’i.” [12]
Akan tetapi, mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya'ban, atau
menjelang Ramadhan adalah perkara yang tidak pernah dituntunkan di dalam
syariat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
"Bahkan di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya
pada hari tertentu dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan
tersebut baik pada bulan Muharram, Rajab, Sya'ban, Dzulhijjah atau di bulan
selainnya. Sebagian mereka berkumpul pada hari 'Asyura (10 Muharram), sebagiannya lagi pada hari
Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya'ban dan sebagian lagi di waktu yang
berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk mengunjungi
kuburan tersebut." [13]
Perkara ini dilarang karena tidak ada tuntunannya di dalam agama.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari
ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha)
Selain itu beliau juga melarang untuk melakukan safar untuk berziarah
kecuali ke tiga masjid. Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي
هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ
اْلأَقْصَى
“Janganlah kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku ini, Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha.” (Muttafaqun 'alaihi)
Pelarangan ini semakin keras apabila ziarah tersebut diiringi dengan
tawasul atau berdoa meminta kepada kuburan yang diziarahi. Allah berfirman,
وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدا
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka
janganlah kalian berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al Jin: 18)
Apabila seseorang berdoa kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia
telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu
wata'ala. Allah berfirman,
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشآءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa: 48)
3. Shalat Alfiyah
Di dalam kitab beliau Al Bida' Al Hauliyyah, ketika menyebutkan
tentang bid'ahnya shalat Alfiyah di Bulan Sya'ban, Asy Syaikh Abdullah At
Tuwaijiri mengatakan,
"Shalat bid'ah ini dinamakan Shalat Alfiyah karena di dalamnya
dibacakan surat
Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Jumlah raka'atnya seratus, dan pada setiap rakaat
dibacakan surat
Al Ikhlas sepuluh kali.
Tata cara shalat ini dan pahala amalannya telah diriwayatkan dari
banyak jalan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab
beliau Al Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). Beliau berkata,
"Kami tidaklah ragu lagi kalau hadits ini benar-benar palsu.
Kebanyakan perawi hadits ini dalam tiga jalannya adalah para majahil (tidak
diketahui ketsiqahan/kebenaran riwayatnya), dan di dalam terdapat rawi yang
sangat lemah, sehingga haditsnya tidaklah teranggap sama sekali." [14]
4. Padusan
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir bulan
Sya'ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-orang berkumpul di
sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi bersama dengan keyakinan
perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa mereka sebelum mereka masuk ke
dalam bulan Ramadhan.
Di sebagian tempat, acara mandi-mandi ini dilakukan dengan
mengguyurkan air dari dalam bejana yang telah dicampur dengan berbagai kembang
dan jeruk limau.
Acara seperti ini memiliki kemungkaran dari berbagai sisi:
a.
Merupakan
bid'ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal Islam, dan
telah berlalu penjelasan tentang keharamannya.
b.
Di
dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara mandi-mandi tersebut akan
membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang keliru karena sesungguhnya
dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan acara mandi seperti itu. Dosa-dosa akan
terhapus dengan taubat, meminta ampunan dari Allah serta memperbanyak amalan
shalih.
Allah ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
"Hai orang-orang yang beriman,
bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb
kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
(At Tahrim: 8)
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ
"Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan mengerjakan amal shalih niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (At Taghabun: 9)
c.
Di
dalam acara semacam ini juga terjadi ikhtilath, campur baur antara
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan yang jelek, maka ini
tidak diragukan lagi keharamannya. [15]
5. Sedekah Ruwah
Di
beberapa tempat di Indonesia,
sering diadakan sedekah ruwah. Sedekah ruwah adalah acara kenduri (makan-makan)
yang tujuannya adalah mengumpulkan orang banyak untuk kemudian membacakan
tahlil dan surat
Yasin untuk kemudian dihadiahkan kepada arwah orang tua dan karib kerabat yang
telah meninggal dunia. Acara ini juga
termasuk bid'ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam.
Kemungkaran
di dalam acara ini juga bertambah apabila diiringi dengan kurafat, keyakinan
yang batil bahwa arwah orang yang telah meninggal ikut hadir untuk mengunjungi
saudara-saudaranya yang masih hidup. Wallahul musta'an.
Peringatan:
Selain
perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang sebaiknya juga
ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan
Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang tua, karib
kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf, tidak
perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian menyelisihi
sunnah.[16]
Untuk mendukung kegiatan saling memaafkan sebelum Ramadhan ini, sebagian
orang membawakan hadits yang bunyinya,
“Ya
Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan
Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: Tidak memohon maaf terlebih
dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak berma’afan terlebih
dahulu antara suami istri; Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang
sekitarnya. Dan barang siapa yang menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita ,
maka diharamkan kulitnya tersentuh api neraka."
Hadits ini wallahu a'lam datangnya darimana, siapa sahabat
perawinya, diriwayatkan di kitab apa, bagaimana keadaan sanadnya.
Apabila hadits ini adalah buatan orang, kemudian disandarkan kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditakutkan dia akan
terjatuh ke dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas kami, maka
hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari api neraka." (Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu)
Adapun hadits yang mirip dengan hadits tersebut, lafazhnya adalah
sebagai berikut,
أَنَّ
النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر فَقَال: "آمين،
آمين، آمين" قِيْلَ لَهُ : يَا رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ هَذَا؟ فَقَالَ:
" قَالَ لِيْ جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوْيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا
لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين. ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ
رَمَضَانُ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ
ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ: آمين ".
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke
atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin".
Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah,
kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
"Jibril berkata kepadaku, 'Celaka
seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari
keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah
amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'"
Kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka
seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak
diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!' Maka aku katakan, 'Amin'.
Kemudian Jibril berkata,
'Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika
disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'" (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu. Asy Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
haditsnya hasan shahih).
Penutup
Demikianlah sedikit pembahasan yang berkaitan dengan bulan Sya'ban.
Semoga Allah jadikan sebagai amalan shalih bagi penulis dan bisa memberikan
manfaat bagi kaum muslimin. Wallahu
ta'ala a'lam, semoga shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
(Ditulis pada hari Rabu tanggal 23 Rajab 1433 H – bertepatan dengan 13
Juni 2012 di Darul hadits Syihir, Hadramaut. Semoga Allah senantiasa menjaga
dan mengokohkannya)
Catatan kaki:
[1] Sya'ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi' Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya'ban (Rajab
1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin (3/408)
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Asy
Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hal. 27
[6] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin (3/393)
[7] Idem (3/394).
[8] Idem (3/394-395).
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau
menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I'tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida', Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal.
20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan'ani (2/114).
[13] Iqtidha' Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
hal. 257.
[14] Al Bida' Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri,
hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al
Mar'ie bin Buraik, hal 3.
[16]
Demikian penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar'ie
ketika ditanya hukum bermaaf-maafan sebelum masuk Ramadhan. Beliau menjawab,
"Apabila seseorang memang memiliki kesalahan maka hendaknya dia segera
meminta maaf. Namun mengkhususkannya pada waktu sebelum masuk Ramadhan maka ini
khilafus sunnah, menyelisihi sunnah." Wallahu 'alam
------------------------------ ------------------------------ ----------------
-Barakallahu fiikum wajazaakumullahu khairan-
Wira Mandiri Bachrun | Abu UmarDarul Hadits Syihr, Hadramaut - Yaman
Email/Y!M: brother_wira@yahoo.com
-Barakallahu fiikum wajazaakumullahu khairan-
Wira Mandiri Bachrun | Abu UmarDarul Hadits Syihr, Hadramaut - Yaman
Email/Y!M: brother_wira@yahoo.com