Adakah Keutamaan Mendatangi istri di Malam Jum’at ??
Posted on Januari 7, 2014 by Ibnu Dzulkifli As-Samarindy
Satu keyakinan yang banyak tersebar di kalangan awam kaum muslimin, bahkan diyakini oleh sebagian dari para da’i adalah adanya keyakinan tentang keutamaan mendatangi istri (berhubungan badan) di malam Jum’at. Maka tentunya bagi seorang muslim yang cerdas , dia tidak gampang percaya dengan sesuatu keyakinan tanpa didasari oleh dalil yang kuat. Dia akan bersikap ilmiah dan berusaha mencari tahu, apakah benar keyakinan tersebut memiliki dasar yang kuat tersebut ataukah hanya mitos tanpa dasar ?? Apalagi yang sedang kita bicarakan ini adalah sebuah keyakinan tentang keutamaan sesuatu ditinjau dari sisi Syariat atau Agama, bukan sekedar keutamaan dari sisi kesehatan atau sisi budaya . Tentunya kita harus melihat lebih dalam dan tidak bisa sembarangan. Karena menjadikan sesuatu di dalam agama ini sebagai suatu keutamaan dalam keadaan hal tersebut bukanlah suatu keutamaan adalah bentuk dari kedustaan terhadap Allah dan RasulNya.
HADITS PERTAMA :
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يجامع أهله في كل جمعة؛ فإن له أجرين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته
“ Apakah kalian lemah (tidak mampu) menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at ? Karena sesungguhnya menyetubuhi pada saat itu mendapat dua pahala: Pahala mandi (Jum’at) dan pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi)”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Ath-Thib, Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’abul Iman, Dan Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini, adalah hadits Mungkar. Sanadnya sangat lemah disebabkan beberapa penyakit dalam sanad haditsnya. (Silahkan merujuk Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho’ifah No. 6194)
Maka Apakah hadits lemah bisa dijadikan dasar untuk sebuah amalan ??
Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum mengamalkan hadits lemah menjadi tiga golongan :
Golongan pertama berpendapat bahwa boleh mengamalkan hadits lemah secara mutlak yakni tanpa syarat, diantara yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah, Ibnul Hammam dan As-Sindi.
Berkata Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Muqodimmah kitab beliau Al-Adzkar : “ Ulama dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih dan selainnya mengatakan : “ Diperbolehkan dan diutamakan beramal dalam masalah keutamaan, At-targhib dan At-tarhib dengan hadits lemah selama bukan hadits palsu. Dan adapun dalam permasalahan hukum seperti halal, haram, perdagangan, nikah, Thalaq dan selainnya maka tidak boleh beramal di dalamnya kecuali dengan dengan hadits yang shahih atau hasan. Kecuali dalam rangka berhati-hati dalam permasalahan darinya, sebagaimana ketika diriwayatkan hadits lemah tentang dibencinya sebagian jenis perdagangan atau pernikahan maka lebih utama untuk menjauh darinya akan tetapi tidak wajib. “
Golongan Kedua berpendapat tidak bolehnya mengamalkan hadits lemah secara mutlak. Dan ini adalah pendapat ulama dari kalangan Muhaqqiq ahli Hadits, diantara mereka adalah Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Al-Hafidz Yahya bin Muhammad, Ibnu Abi Hatim, Yahya bin Ma’in, Ibnul Arobi Al-Mailki, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi, As-Syatibhi, Abu Walid Al-Baji, Ibnul Mulaqqin, Imam As-Syaukani, Abu Hatim dan Abu Zur’ah . Adapun dari kalangan ulama masa kini diantaranya adalah : Syaikh Ahmad Syakir, Al-Allamah Al-Albani dan Al-AllamahMuqbin bin Hady Al-Wadi’i.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Qo’idah jaliyah fi Tawassul wal Wasilah(hal. 84) : “ Dan tidak diperbolehkan untuk berpegang dalam permasalah syariat diatas hadits-hadits lemah yang bukan hadits shahih maupun hasan.”
Golongan Ketiga berpendapat boleh mengamalkan hadits lemah dengan beberapa syarat. Syarat-syarat ini dinukilkan oleh Imam As-Syakhowi dalam Al-Jawahir wad Duror (2/954) dan Al-Qoulul Badi’ (hal. 285) dari guru beliau Al Hafdz Ibnu Hajar . Syarat tersebut ada 3, yaitu :
- Disepakati bahwa hadits tersebut adalah hadits lemah yang bukan sangat lemah, maka keluar dari syarat ini atau tertolak adalah hadits yang di dalamya terdapat rawi pendusta, tertuduh sebagai pendusta atau memiliki kesalahan-kesalahan yang parah yang bersendirian dalam periwayatan hadits tersebut.
- Hadits tersebut tercakup dalam kaidah-kaidah dasar agama secara umum, maka yang keluar dari syarat ini adalah hadits-hadits yang tidak memilki asal dari syariat.
- Tidak berkeyakinan tentang shahihnya hadits tersebut ketika beramal dengannya , agar tidak sampai menyandarkan kepada Nabi sesuatu yang tidak beliau ucapkan atau lakukan.
Dan yang berpendapat seperti ini adalah sebagian ahli fiqih di zaman-zaman terakhir.
Dan pendapat yang benar dari 3 pendapat ini adalah pendapat yang kedua, yakni tidak boleh beramal dengan hadits lemah secara mutlak. Adapun mengenai pendapat pertama dan ketiga, maka ulama yang memegang pendapat kedua telah menjawabnya dengan jawaban yang intinya adalah sebagai berikut :
- Tidak boleh membedakan antara beramal dengan hadits lemah dalam masalah keutamaan dan dalam masalah hukum (halal-haram dll), karena sesungguhnya semuanya adalah permasalahan agama yang tidak boleh ditetapkan kecuali dengan dalil.
- Tidak boleh menetapkan satu hukum dalam masalah syariat agama ini kecuali dengan dalil yang shahih, karena barangsiapa yang mengatakan bahwa suatu perkara adalah wajib atau sunnah atau hukum-hukum syariat lainnya tanpa diiringi dengan dalil-dalil yang shahih maka dia telah membuat syariat baru dalam agama.
- Terkadang satu amalan bid’ah tercakup dalam satu kaidah umum syariat, sehingga apabila dibuka pintu ini maka ahlul bid’ah akan mempunyai dalil atas kebid’ahannya.
- Barangsiapa yang mengamalkan hadits lemah maka telah terkena ancaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :
من روى عني حديثا وهو يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين
Artinya : “Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits yang dia mengetahui bahwa sesungguhnya hadits itu dusta (terhadapku) maka dia adalah termasuk salah seorang pendusta” (HR. Ibnu Majah No. 41 dari Ali Rhadiyallahu’ anhudan dan datang dari selainnya. Dishahihkan oleh Al-Allamah Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)
Berkata Al-Allamah Al-Albani Rahimahullah yang maknanya adalah : “Sesungguhnya kami menasehatkan kaum muslimin di timur dan barat untuk meninggalkan beramal dengan hadits lemah secara mutlak…….. sampai dengan ucapan beliau ….dan dalam permasalahan tersebut , agar terlepas terjatuh dalam perkara berdusta atas nama Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam (Shahih At-targhib wa Tarhib 1/65-66)
Maka hadits pertama ini sudah gugur untuk dijadikan dasar tentang keutamaan mendatangi istri pada malam jum’at.
HADITS KEDUA.
Dari Aus bin Aus Ats-Tsaqofiy Radhiyallahu anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ اغْتَسَلَ وَ بَكَّرَ وَ ابْتَكَرَ وَ مَشَى وَ لَمْ يَرْكَبْ وَ دَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَ لَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَ قِيَامِهَا
“Barangsiapa yang غسل pada hari jum’at dan اغْتَسَلَ, lalu ia pergi di awal waktu dan dia pergi bersegera (mendapati khutbah pertama), Dia berjalan dan tidak mengendarai kendaraan, lalu dia mendekat kepada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Berbeda dengan hadits pertama, maka hadits kedua ini adalah hadits yang shohih . Sehingga tentunya sudah pasti bisa dijadikan sebagai dalil untuk sebuah amalan keutamaan, tapi mungkin pembaca berpikir, dari sisi mana dari hadits ini diambil tentang keutamaan mendatangi istri di malam Jum’at..
Maka semuanya kembali ke makna اغْتَسَلَ (Ightisal ) dan غَسَّلَ (Ghosala) dalam hadits ini, karena para ulama berbeda pendapat dalam menfasirkannya, oleh sebab itu kami tidak terjemahkan dalam lafadz hadits diatas, karena disitulah letak pembahasannya.
Maka semuanya kembali ke makna اغْتَسَلَ (Ightisal ) dan غَسَّلَ (Ghosala) dalam hadits ini, karena para ulama berbeda pendapat dalam menfasirkannya, oleh sebab itu kami tidak terjemahkan dalam lafadz hadits diatas, karena disitulah letak pembahasannya.
Berikut perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan اغْتَسَلَ (Ightisal) dan غسل (Ghosala) dalam hadits tesebut.
Pendapat pertama , menafsirkan bahwa makna غسل (Ghosala) bermakna Mendatangi istri sebelum pergi untuk sholat hari Jum’at dan اغْتَسَلَ (Ightisal) adalah mandi (lelaki tersebut) .
Ini adalah pendapat Waki’dan Imam Ahmad.
Dinukilkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathul Bari’, bahwa ini adalah Nash dari Imam Ahmad dan beliau mengklaim bahwa ini adalah pendapat lebih dari satu orang tabi’in diantaranya Halal bin Yasaaf dan Abdurrahman bin Al-Aswad dan ini juga pendapat sebagian Asy-Syafiiyah. Dan ini adalah juga tafsir dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam salah satu kasetnya,[1]
Sehingga atas tafsir pendapat pertama ini maka makna hadits Aus Radhiyallahu anhu’ diatas adalah,
“Barangsiapa yang mendatangi istrinya pada hari jum’at dan mandi, lalu dia pergi di awal waktu dan dia pergi bersegera (mendapati khutbah pertama), Dia berjalan dan tidak mengendarai kendaraan, lalu dia mendekat kepada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”
Pendapat kedua , bahwa غسل (Ghosala) bermakna membasuh anggota wudhu atau bermakna berwudhu dan kemudian اغْتَسَلَ (Ightisal) adalah mandi lelaki tersebut untuk hari Jum’at dengan membasuh seluruh tubuhnya dan pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Atsir dan tidak disandarkan ke seorang ulama pun.
Maka atas tafsir pendapat ini, maka makna hadits adalah :
“Barangsiapa yang berwudhu pada hari jum’at dan mandi, lalu dia pergi di awal waktu dan dia pergi bersegera (mendapati khutbah pertama), Dia berjalan dan tidak mengendarai kendaraan, lalu dia mendekat kepada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”
Pendapat Ketiga, menafsirkan bahwa غسل (Ghosala) adalah mencuci pakaiannya dan dan kemudian اغْتَسَلَ (Ightisal) bermakna mandi Jum’at. Imam Asy-Syaukani dalamAn-Nailul Authar (1/277) menyebutkan bahwa ini adalah pendapat Al-Iroqi.
Maka makna hadits menjadi :
“Barangsiapa yang mencuci pakaiannya pada hari jum’at dan mandi, lalu dia pergi di awal waktu dan dia pergi bersegera (mendapati khutbah pertama), Dia berjalan dan tidak mengendarai kendaraan, lalu dia mendekat kepada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”
Pendapat Keempat, mengatakan bahwa keduanya memiliki makna yang sama yaitu mandi, diulang dua kali sebagai penegasan. Al-Khataby mengatakan bahwa ini pendapat Al-Atsrum sahabat Imam Ahmad.
Pendapat kelima, makna غسل (Ghosala) adalah membasuh kepala secara khusus dan اغْتَسَلَ (Ightisal) adalah membasuh seluruh tubuh. Karena sebagian Arab terkadang mandi tanpa membasuh kepalanya, oleh sebab itu ditegaskan dengan lafadz yang khusus. Ini adalah pendapat Makhul, Sa’id bin Abdul Aziz at-Tanukhiy, Ibnul Mubarrok, Abu Ubaidah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawy. Dan Ath-Thiybi menyebutkan bahwa imam Ahmad mengkoreksi pendapatnya dari pendapat yang pertama menjadi pendapat ini. Sehingga makna haditsnya adalah :
““Barangsiapa yang membasuh kepalanya pada hari jum’at dan mandi, lalu dia pergi di awal waktu dan dia pergi bersegera (mendapati khutbah pertama), Dia berjalan dan tidak mengendarai kendaraan, lalu dia mendekat kepada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”
Dan pendapat terakhir inilah pendapat yang kuat, karena tafsirnya didukung oleh hadits-hadits lain, diantaranya :
Pertama :
Dalam sebagian jalur periwayatan hadits Aus bin Aus diatas , datang dengan lafdz yang menyebutkan tafsir yang jelas makna غسل (Ghosala) dan اغْتَسَلَ (ightisal) .
Diriwayatkan dari Ubadah An-nasiy, dari Aus Ats-tsaqofi Rhadiyallahu anhu’ dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda :
من غسل رأسه واغتسل
“Barangsiapa yang membasuh kepalanya dan mandi…….”
(HR.Abu Dawud . Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud No. 374)
Kedua :
Dari Abu Hurairoh Radhiyallahu anhu’, dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam, beliau berkata :
“إذا كان يوم الجمعة فاغتسل الرجل وغسل رأسه…. الحديث”
“Apabila hari Jum’at, maka seorang laki-laki mandi dan membasuh kepalanya……Al-Hadits”
HR. Ibnu Khuzaimah , Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam As-Shohih At-Targhib wat Tarhib No.705)
Ketiga :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori
قَالَ طَاوُسٌ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ ذَكَرُوا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْسِلُوا رُءُوسَكُمْ وَإِنْ لَمْ تَكُونُوا جُنُبًا وَأَصِيبُوا مِنْ الطِّيبِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَمَّا الْغُسْلُ فَنَعَمْ وَأَمَّا الطِّيبُ فَلَا أَدْرِي
Thawus berkata, Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Orang-orang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mandilah pada hari Jum’at dan basuhlah kepala kalian sekalipun tidak sedang junub, dan pakailah wewangian.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Adapun mandi, memang benar bahwa itu adalah wajib, sedangkan memakai wewangian aku tidak tahu.” (HR. Bukhori No. 835)
Kesimpulan:
Bahwa tidak ada satu dalil yang jelas yang menunjukkan tentang keutamaan mendatangi istri di malam Jum’at, adapun bagi yang berpendapat dengan tafsir yang pertama terhadap hadits Aus Ats-Tsaqofi Radhiyallahu anhu; sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu, maka seharusnya dia mendatangi istrinya di pagi hari jum’at kemudian dia mandi lalu setelah itu pergi menuju sholat jum’at, dan bukan dia mendatanginya di malam Jum’at.
Apabila ada pertanyaan yang timbul , apakah maknanya berarti tidak boleh mendatangi istri di Malam Jum’at ?? maka sungguh tidak ada larangan mendatang istri di malam Jum’at akan tetapi kita tidak boleh berkeyakinan bahwa pada hal tersebut terdapat keutamaan dari sisi syariat.
Wallahu A’lam
Sumber Catatan :
1. Fathul Latief fi hukmil amal bi hadits dho’if karya Syaikh Abul Hasan Bin Ali Ar-Rojihy
3. Maktabah Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar