Faedah-Faedah Fiqhiyah dari Kitab Umdatul Ahkam (Hadits ke12-13)
HADITS KEDUABELAS
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ، فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا».
قَالَ أَبُو أَيُّوبَ: ” فَقَدِمْنَا الشَّامَ، فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ بُنِيَتْ نَحْوَ الْكَعْبَةِ، فَنَنْحَرِفُ عَنْهَا، وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ”.
“dari Abu Ayyub_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air besar atau buang air kecil dan jangan pula membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.”
Abu Ayyub berkata; “Saat kami mendatangi negeri Syam, kami mendapati WC (disana) dibangun menghadap kiblat, lalu kami berpaling darinya dan meminta ampun kepada Allah.” [HR. Al Bukhary – Muslim]
HADITS KETIGABELAS
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ: «رَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الشَّامَ، مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ».
“dari Ibnu Umar_radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Suatu hari saya memanjat rumah Hafshah. Maka saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk untuk buang hajat dalam keadaan menghadap Syam dan membelakangi kiblat.”
[HR. Al Bukhary – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1. Larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat. Namun para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya menjadi delapan pendapat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaukani dalam kitab Nail Al Authar, namun kita sebutkan disini hanya empat pendapat yang terkuat dari sekian pendapat yang ada;
Pendapat pertama; hukumnya haram secara mutlak, baik buang hajatnya didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat Abu Ayyub, Mujahid, An Nakha’i, Ats Tsauri, dan pendapat ini didukung dan dipilih oleh Ibnu Hazem, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani_rahimahumullah.
Diantara dalil-dalil mereka adalah:
a. Hadits Abu Ayyub diatas.
b. Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
« إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا».
“Jika salah seorang dari kalian duduk untuk memenuhi hajatnya, maka janganlah dia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya.” [HR. Muslim]
- Sisi pendalilan mereka: bahwa hadits ini menunjukan secara mutlak larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat.
Pendapat kedua; Hukumnya boleh secara mutlak, baik buang hajatnya didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat ‘Urwah bin Zubair, Rabi’ah dan Dawud Azh Zhahiri_rahimahumullah.
Diantara dalil-dalil mereka adalah:
a. Hadits Ibnu ‘Umar diatas.
b. Hadits Jabir, ia berkata;
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami buang air kecil menghadap kiblat. Namun saya melihat beliau setahun sebelum wafat, beliau kencing menghadap kiblat.”
[HR. Ahmad dan Ashhab As Sunan, kecuali An Nasa'i. Hadits ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
Sisi Pendalilan mereka: Hadits Jabir ini menghapus hukum larangan menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat.
Pendapat ketiga; Hukumnya haram apabila di tempat terbuka seperti padang pasir atau yang semisalnya. Namun apabila didalam WC atau tempat tertutup maka tidak mengapa. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya. Dan dinisbahkan oleh Ibnu Hajar bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini didukung dan dipilih oleh Al Bukhari, Ibnul Mundzir, Ibnu ‘Abdil Bar, Al Khathaabi dan Syaikh Muqbil_rahimahumullah.
Dalil mereka adalah: Hadits Ibnu ‘Umar menunjukan bolehnya menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat jika di WC atau tempat tertutup. Adapun ditempat terbuka seperti padang pasir atau yang semisalnya maka tidak boleh.
Pendapat keempat; Hukumnya makruh, baik buang hajatnya didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat An Nakha’i, Ahmad dan Abu Hanifah dalam salah satu riwayat mereka dan juga Abu Tsaur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
Dalil mereka adalah menggabungkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Mereka berkata:”Apabila terdapat dalil-dalil yang kelihatannya saling bertentangan dalam satu masalah dalam keadaan semua dalil tersebut adalah shahih; sebagian hadits menunjukan keharaman dan sebagian yang lainnya menunjukan kehalalan atau boleh, maka selama memungkinkan dalil-dalil tersebut dijamak (digabungkan) hukumnya, maka langkah ini lebih diutamakan untuk ditempuh daripada menempuh langkah nasikh dan mansukh (penghapusan hukum) salah satu dalil yang ada. Dengan langkah ini, maka kita nyatakan bahwa larangan tersebut kita bawa kepada hukum makruh, bukan haram, karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut menunjukan bahwa hal tersebut tidaklah haram untuk dilakukan, melainkan makruh saja.”
Kesimpulan:
Dari empat pendapat yang telah kita paparkan diatas, yaitu tentang hukum buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya, maka pendapat yang terkuat dan yang kami pilih dalam masalah ini – wallahu a’lam – adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa hukum dalam masalah ini adalah makruh. Alasan kita memilih pendapat ini adalah:
a. Hukum asal suatu larangan adalah haram, namun telah datang dari hadits Ibnu ‘Umar dan juga hadits Jabir diatas, memalingkan hukum dari haram menjadi makruh. Karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua hadits ini memberikan faedah bahwa hal itu tidak dilarang.
b. Jika alasan dibedakannya hukum antara di WC dan padang pasir karena di WC terhalangi oleh tembok, sehingga tidak menghadap kiblat atau membelakanginya secara langsung disaat buang hajat, maka dijawab: “bukankah orang yang buang hajat dipadang pasir atau yang semisalnya juga terhalangi oleh gunung atau gedung-gedung atau pohon-pohon yang berada antara dia dengan kiblat?!
c. Adapun yang mengklaim bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah khushushiyah untuk beliau, maka ini adalah pengklaiman tanpa didasari dengan dalil. Karena hukum asal apa saja yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk dicontoh, sebagaimana firman Allah ta’ala:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al Ahzab: 21]
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}
“Apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” [QS. Al Hasyr: 7]
Masalah: Hukum buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis atau membelakanginya?
Pendapat yang terpilih adalah boleh, tidak ada kemakruhan padanya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
Adapun hadits Ma’qil bin Abi Ma’qil As Asady, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَتَيْنِ بِبَوْلٍ أَوْ غَائِط
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita menghadap dua kiblat (Makkah dan Baitul Maqdis) pada saat buang air besar atau buang air kecil.”
[HR. Abu Dawud, didha'ifkan Syaikh Al Albani karena pada sanadnya terdapat perawi bernama Abu Zaid, dia perawi yang mungkar]
Masalah: Hukum Istinja setelah buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya?
Tidak ada dalil yang jelas menunjukan larangan hal ini. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
2. Berkata Ibnu Hajar_rahimahullah: “Ibnu Umar_radhiyallahu ‘anhuma tidaklah bermaksud ingin mengawasi (perbuatan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disaat itu, tidaklah dia naik atap tersebut melainkan karena kebetulan ada hajat yang darurat, hal ini sebagaimana yang ditunjukan dalam suatu riwayat dengan lafadz “(kebetulan) aku menoleh sebentar” yaitu riwayat Al Baihaqi dari jalan Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Ya, telah tersepakati dari riwayat yang ada bahwa hal ini bukan kesengajaan, sehingga karena tidak ingin kehilangan faedah, maka beliau menjaga hukum syar’i ini (untuk disampaikan). [Fathul Bari 1/247]
Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab
[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_13 Shafar 1435/16 Des. 2013_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]
Sumber : WhatsApp Salafy Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar