Halaman

Selasa, 07 Agustus 2012

Memilih Pemimpin Karena Agama, Masih Pantaskah?


Memilih Pemimpin Karena Agama, Masih Pantaskah?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pemilu dalam Demokrasi itu sendiri bertentangan dengan Islam, kalau Islam memilih pemimpin berdasarkan kompetensi (ilmu syar’i, kecakapan, akhlak mulia, dll). Adapun demokrasi berdasarkan suara terbanyak, tidak peduli siapa dia asal dipilih rakyat maka layak memimpin.
Diantara kaidah penting dalam ajaran Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan yang berhubungan dengan kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan kemasyarakatan, kepada para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang agama. Adapun orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara. Jika mereka berani berbicara dan berkomentar maka akan muncul kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati, dan berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakahRuwaibidhoh itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.”[HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 3650]
Demikianlah yang terjadi beberapa pekan terakhir ini dalam menyikapi pemilihan pemimpin kafir untuk salah satu propinsi. Sampai seorang oknum MUI angkat bicara,
“Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim.”
Seorang mantan ketua umum Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan pemimpin, dengan alasan si pemimpin tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,
“Pemimpin di negeri ini baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi hingga presiden tidak akan berani melakukan diskriminasi.”
Tak ketinggalan, pemimpin sebuah partai “Islam” pun berkomentar,
“Isu SARA jelas tidak berproduktif.”
Dan partai tersebut bahkan telah membuktikan beberapa tahun lalu mendukung calon walikota nonmuslim, walaupun tidak berhasil memenangkan pemilihan.
Sebagian orang pun beralasan asal tidak korupsi dan alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan masalah “perut” masyarakat yang harus dipenuhi maka tak masalah meskipun pemimpinnya nonmuslim. Alasan lain kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, maka yang mereka inginkan adalah tidak perlu membedakan pemimpin muslim maupun nonmuslim.
Jadi, masih pantaskah memilih pemimpin karena agamanya?
Jawabannya tergantung dari sisi mana kita melihat, yaitu dari dua sisi:
Pertama: Dari sisi demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan pemimpin nonmuslim, asal dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok, pembunuh, pezina dan orang kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin. Demokrasi itu sendiri adalah ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di negeri mereka sendiri pemimpin muslim hampir mustahil terpilih. Dan membawa-bawa Islam dalam dunia demokrasi dianggap tidak produktif, tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, kecuali dengan memaksakan Islam harus tunduk di bawah demokrasi.
Kedua: Dari sisi ajaran Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk mereka, maka hukum memilih pemimpin kafir adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta KESEPAKATAN seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah: 51]
Ulama besar Syafi’iyah, Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’irahimahullah menjelaskan makna ayat ini,
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }
“Allah ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Kemudian Allah ta’ala mengingatkan dengan keras dan mengancam siapa yang loyal kepada mereka dengan firman-Nya, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim’.”[Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]
Juga firman Allah ta’ala,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” [An-Nisa: 141]
Ulama besar Syafi’iyah yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Berkata Al-Qodhi ‘IyadhUlama telah SEPAKAT (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang kafir, dan jika seorang pemimpin muslim menjadi kafir maka harus diselengserkan.” [Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
وأن يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat pemimpin haruslah seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.’ [An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum muslimin bagi orang kafir tidak boleh) karena Allah ta’ala memerintahkan untuk menghinakan Ahlul Kitab, memerintahkan mereka membayar jizyah dan memerangi orang kafir selain Ahlul Kitab sampai mereka masuk Islam.” [Al-Fishol fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar