Halaman

Selasa, 30 Juni 2015

Hukum-hukum Seputar ‘Kenikmatan’ yang Membatalkan Puasa dan Mewajibkan Kaffaroh

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Hukum-hukum Seputar ‘Kenikmatan’ yang Membatalkan Puasa dan Mewajibkan Kaffaroh 2
Jima’, berhubungan badan atau berhubungan suami istri, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan secara sengaja walau tidak keluar mani adalah termasuk pembatal puasa dan dosa yang sangat besar, berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’.
Allah ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ الله أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ الله لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Sahabat yang Mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ»، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا». قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالعَرَقُ المِكْتَلُ – قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ» فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
“Ketika kami sedang duduk bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bersabda: Ada apa denganmu? Dia berkata: Aku menggauli istriku padahal aku sedang berpuasa. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak untuk dibebaskan? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan makanan untuk 60 orang miskin? Dia berkata: Tidak. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diam beberapa saat, dalam keadaan demikian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diberikan satu bejana kurma –satu miktal; yang dapat menampung 15 sho’- lalu beliau bersabda: Mana orang yang bertanya? Dia berkata: Aku. Beliau bersabda: Ambillah kurma ini dan sedekahkan. Dia berkata: Apakah diberikan kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di satu keluarga di daerah antara dua batu hitam tersebut yang lebih fakir dari keluargaku. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi beliau, kemudian beliau bersabda: Beri makanlah kurma itu kepada keluargamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
ولم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم: الرَّفث: وهو الجماع، والأكل والشرب
“Ulama tidak berbeda pendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkan atas orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan melakukan kekejian, yaitu berjima’, makan dan minum.” [Al-Ijma’, hal. 59][1]
#Beberapa_Permasalahan:
Pertama: Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa membatalkan puasa dengan berhubungan suami istri secara sengaja adalah dosa besar yang membinasakan.[2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْغِذَاءُ يَبْسُطُ الدَّمَ الَّذِي هُوَ مَجَارِيهِ فَإِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ انْبَسَطَتْ نَفْسُهُ إلَى الشَّهَوَاتِ وَضَعُفَتْ إرَادَتُهَا وَمَحَبَّتُهَا لِلْعِبَادَاتِ فَهَذَا الْمَعْنَى فِي الْجِمَاعِ أَبْلَغُ فَإِنَّهُ يَبْسُطُ إرَادَةَ النَّفْسِ لِلشَّهَوَاتِ وَيُضْعِفُ إرَادَتَهَا عَنْ الْعِبَادَاتِ أَعْظَمَ؛ بَلْ الْجِمَاعُ هُوَ غَايَةُ الشَّهَوَاتِ وَشَهْوَتُهُ أَعْظَمُ مِنْ شَهْوَةِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَلِهَذَا أَوْجَبَ عَلَى الْمُجَامِعِ كَفَّارَةَ الظِّهَارِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْعِتْقُ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ لِأَنَّ هَذَا أَغْلَظُ وَدَاعِيَهُ أَقْوَى وَالْمَفْسَدَةَ بِهِ أَشَدُّ.
“Makanan dan minuman dapat meluaskan peredaran jalan darah (bagi setan), maka apabila seseorang makan atau minum menguatlah kecenderungan nafsunya kepada syahwat dan melemah keinginan dan kecintaannya terhadap ibadah, dan makna ini lebih besar pada jima’, sungguh jima’ lebih menguatkan keinginan nafsu kepada syahwat dan melemahkan keinginannya terhadap ibadah, bahkan jima’ adalah puncak syahwat, dan syahwat terhadapnya lebih besar daripada syahwat terhadap makanan dan minuman, oleh karena itu diwajibkan atas orang yang berjima’ membayar kaffaroh zhihar, yaitu wajib atasnya membebaskan budak atau yang dapat menggantikan kedudukannya (yaitu hukuman yang setara dengannya) berdasarkan As-Sunnah dan ijma’, karena ia lebih besar dosanya, faktor pendorongnya lebih kuat dan kerusakannya lebih dahsyat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/249]
Kedua: Kewajiban bagi orang yang terjerumus dalam dosa ini ada dua perkara:
1) Bertaubat kepada Allah ta’ala.
2) Membayar kaffaroh.
Ketiga: Kaffarohnya sesuai urutan:
1) Membebaskan seorang budak yang beriman,
2) Apabila tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh terputus tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, seperti karena sakit, safar atau haid dan nifas bagi wanita.
3) Apabila tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin, setiap satu orang miskin mendapatkan satu sho’ (1,5 kg) bahan makanan berdasarkan hadits Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu’anhu.[3] Dan tidak boleh diuangkan, tidak boleh pula hanya diberikan kepada satu orang miskin, serta tidak boleh dititipkan kepada orang atau lembaga yang tidak terpercaya.[4]
Keempat: Kewajiban membayar kafforoh hanyalah bagi orang yang terpenuhi padanya tiga syarat:[5]
1) Orang yang melakukannya adalah orang yang wajib berpuasa, apabila yang melakukannya anak kecil misalkan maka tidak wajib atasnya kaffaroh.
2) Tidak ada yang menghilangkan kewajiban puasanya, apabila ada yang menghilangkannya seperti safar maka tidak ada kaffaroh baginya, karena musafir boleh membatalkan puasanya, akan tetapi tidak boleh seseorang melakukan tipu daya terhadap syari’at, yaitu dengan melakukan safar hanya demi berhubungan suami istri, apabila ia melakukannya maka dosanya lebih besar dan tetap wajib atasnya kaffaroh serta taubat.
3) Berhubungan badan dilakukan di kemaluan, baik depan maupun belakang, baik dengan pasangan yang halal maupun yang haram, apabila dilakukan di kemaluan belakang maka dosanya lebih besar karena pada asalnya hal itu haram, dan apabila dilakukan dengan selain pasangan yang sah maka dosanya lebih besar lagi, karena pada asalnya memang dosanya besar dan dilakukan ketika sedang puasa di bulan Ramadhan maka dosanya menjadi lebih besar.
Kelima: Apakah wajib atasnya qodho’? Jumhur ulama berpendapat wajib, dan terdapat dalam riwayat Abu Daud sebuah tambahan lafaz:
وصم يوماً
“Dan berpuasalah sehari (sebagai gantinya).”
Tapi hadits ini dha’if karena adanya rawi yang bernama Hisyam bin Sa’ad yang jelek hapalannya serta menyelisihi rawi-rawi yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik, Al-Laits dan selainnya.
Dan sebagian ulama seperti Asy-Syafi’i, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah berpendapat tidak ada qodho’ atasnya, cukup baginya taubat dan kaffaroh. Ini pendapat yang kuat insya Allah, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan qodho’ dalam hadits-hadits yang shahih, dan karena puasa adalah kewajiban yang terkait dengan waktu, apabila waktu telah terlewati tanpa udzur maka tidak ada lagi kewajibannya.[6]
Keenam: Apakah juga wajib kaffaroh bagi istri? Pendapat yang kuat insya Allah juga diwajibkan atas istri membayar kaffaroh dan taubat apabila ia melakukannya dengan sengaja, bukan karena lupa atau dipaksa, berdasarkan keumuman dalil yang mencakup laki-laki dan wanita. Apabila ia melakukannya karena lupa atau dipaksa oleh suami maka puasanya tidak batal dan tidak ada kewajiban kaffaroh.[7] Adapun dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan istrinya untuk membayar kaffaroh, karena di sebagian riwayat orang itu berkata: “Aku telah binasa dan membinasakan (istriku).” Artinya ia memaksa istrinya untuk berhubungan badan.
Ketujuh: Apabila seseorang berhubungan suami istri berulang-ulang kali maka berapa kali kaffaroh atasnya? Ada dua gambaran permasalahannya:[8]
1) Apabila dilakukan di hari yang berbeda maka setiap hari satu kaffaroh tersendiri, sama saja apakah kaffaroh sebelumnya sudah dibayar atau belum, karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang terpisah dengan hari sebelumnya.
2) Apabila dilakukan di hari yang sama, pendapat yang benar insya Allah cukup sekali kaffaroh, karena apabila ia berhubungan suami istri yang kedua kalinya maka ia sudah berada dalam kondisi tidak berpuasa, sama saja apakah kaffaroh sebelumnya sudah dibayar atau belum, dan sama saja apakah ia melakukan lagi dengan istri yang sama atau dengan istri yang lain.[9]
Kedelapan: Tentang orang yang boleh berbuka karena suatu udzur, kamudian udzur tersebut hilang di siang hari apakah wajib atasnya berpuasa mulai dari siang hari sejak udzurnya hilang, sehingga apabila ia berhubungan suami istri maka wajib atasnya kaffaroh?
Contoh: Orang yang telah pulang dari safar atau orang sakit yang sembuh dari sakitnya di siang hari dalam keadaan tidak berpuasa, sedang istrinya baru bersih dari haid di siang hari, apakah wajib bagi mereka berpuasa dimulai dari siang hari tersebut, sehingga apabila mereka berhubungan suami istri wajib kaffaroh? Ataukah boleh bagi mereka melakukannya dan tidak ada kaffaroh?
Pendapat yang kuat insya Allah adalah boleh bagi mereka untuk melakukannya dan tidak ada kaffaroh, karena tidak ada puasa yang dimulai dari siang hari, namun wajib atas mereka mengqodho’ karena meninggalkan puasa dengan sebab yang dibolehkan atau bahkan diwajibkan, yaitu sakit dan safar atau haid bagi wanita.[10] Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
من أفطر أول النهار فليفطر آخره
“Barangsiapa dibolehkan berbuka di awal hari maka boleh baginya berbuka di akhirnya.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/54]
Kecuali orang yang tadinya tidak wajib puasa sama sekali kemudian menjadi wajib, seperti baru mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari, atau baru masuk Islam atau baru mencapai usia baligh berdasarkan hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu’anha yang telah lewat pembahasannya. Maka apabila mereka berhubungan suami istri sebelum diwajibkan puasa atas mereka, pendapat yang benar insya Allah tidak wajib kaffaroh, namun apabila mereka melakukannya setelah diwajibkan, walau diwajibkan sejak siang hari, maka wajib atas mereka kaffaroh. [11]
Kesembilan: Apabila seseorang berhubungan suami istri dalam keadaan sehat, berakal dan mukim, kemudian ia jatuh sakit, atau menjadi gila, atau melakukan safar maka tetap wajib atasnya kaffaroh, karena ketika ia membatalkan puasanya dengan berhubungan badan, ia masih dalam keadaan diwajibkan berpuasa.[12]
Kesepuluh: Apabila seseorang membatalkan puasa dengan makan dan minum tanpa udzur, kemudian ia berhubungan badan maka tetap wajib atasnya kaffaroh, karena ia membatalkan puasa tanpa udzur, adapun yang tidak wajib kaffaroh adalah yang puasanya batal dengan udzur sebagaimana penjelasan poin kedelapan.[13]
Kesebelas: Kaffaroh hanyalah diwajibkan apabila puasa batal karena berhubungan badan di siang hari bulan Ramadhan. Adapun puasa wajib di selain Ramadhan, seperti qodho’, kaffaroh dan nadzar maka tidak ada kaffaroh tapi wajib taubat apabila tanpa udzur. Demikian pula puasa-puasa sunnah, tidak ada kaffaroh.[14]
Keduabelas: Diantara pendapat yang ‘gharib’ adalah, mencabut kemaluan ketika terdengar adzan termasuk kategori berhubungan badan, padahal orang yang melakukannya justru untuk menghindarinya, maka pendapat yang benar insya Allah tidak termasuk berhubungan badan, dan itulah yang memang harus dilakukan, apabila masuk waktu fajar atau terdengar adzan Shubuh maka hubungan badan harus segera dihentikan dan puasanya sah insya Allah.[15] Adapun jika mereka tetap melanjutkan hubungan badan maka puasanya batal dan wajib kaffaroh serta taubat.[16] Kecuali jika mereka tetap melanjutkannya karena masih ragu apakah sudah masuk waktu Shubuh atau belum maka puasanya tidak batal insya Allah, karena hukum asalnya adalah tetapnya malam, tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, namun sudah sepatutnya bagi seorang muslim berhati-hati dan tidak bermudah-mudahan.
Ketigabelas: Apabila seseorang tidak mampu membayar kaffaroh sama sekali, maka hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu di atas dan dalil-dalil lain yang umum menunjukkan bahwa kewajiban kaffaroh hilang darinya. Dan apabila suatu saat ia memiliki kemampuan, apakah wajib atasnya kaffaroh? Pendapat yang kuat insya Allah tidak wajib atasnya kaffaroh karena kewajibannya telah hilang darinya ketika ia tidak mampu, sama seperti orang yang tidak wajib zakat, apabila suatu saat ia mampu berzakat maka tidak diwajibkan atasnya mengqodho’ zakat yang tidak ia keluarkan semasa ia belum mampu.[17]
Kempatbelas: Hukum bercumbu rayu antara suami istri ketika sedang berpuasa boleh bagi yang mampu menahan syahwatnya untuk tidak berjima’.[18] Adapun yang tidak mampu maka hukumnya makruh bahkan bisa jadi haram apabila ia mengetahui keadaan dirinya yang bisa dipastikan akan terjerumus dalam jima’ jika bercumbu rayu dengan istrinya.[19] Berdasarkan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mencium dan mencumbui istri beliau dalam keadaan beliau sedang berpuasa, tetapi beliau adalah orang yang lebih kuat dari kalian dalam menahan syahwatnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kelimabelas: Hukum mengeluarkan air mani dengan selain jima’, seperti bercumbu rayu, mengkhayal, menggauli istri pada selain kemaluan atau melakukan onani, maka tidak ada kewajiban kaffaroh, namun apakah puasanya batal atau tidak? Ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat puasanya batal, bahkan sebagian ulama menukil adanya ijma’.[20] Tetapi yang shahih insya Allah adalah ulama tidak ijma’, karena ada sebagian ulama berpendapat tidak batal, seperti Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Ash-Shon’ani dan Al-Albani rahimahumullah, karena tidak ada dalil yang shahih dan shorih yang menunjukkan batalnya.[21]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
——————
[1] Lihat juga Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 70, Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 25/249 dan Asy-Syarhul Mumti’, 6/399, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 169.
[2] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/518 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 170.
[3] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/301 dan Asy-Syarhul Mumti’, 6/415.
[4] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/321-322 no. 7264.
[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/399-400.
[6] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/400.
[7] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/303, Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/302-304 dan Taudhihul Ahkam. 3/520.
[8] Lihatlah kitab Asy-Syarhul Mumti’, 6/406-408 engkau akan adapati faidah yang menarik insya Allah ta’ala.
[9] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/304.
[10] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/308.
[11] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/408-409.
[12] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409-410.
[13] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409.
[14] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/410-411.
[15] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/412 dan Taudhihul Ahkam. 3/520.
[16] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/301.
[17] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/416-418.
[18] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 9/160 no. 13896.
[19] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/485-486.
[20] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 175.
[21] Lihat Tamaamul Minnah, hal. 418-420.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar