Halaman

Selasa, 18 Maret 2014

Perbedaan Antara Kondisi Dakwah Dengan Ada dan Tidaknya Daulah (Negara) Islam (bagian 3)

Perbedaan Antara Kondisi Dakwah Dengan Ada dan Tidaknya Daulah (Negara) Islam (bagian 3)

by webadmin
Karena itulah Ibnu Qayyim mengatakan:
“ Maka apabila pengingkaran terhadap suatu kemungkaran menyebabkan terjadinya kemungkaran yang lebih buruk dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya maka dalam keadaan demikian pengingkaran tidak boleh dilaksanakan.” (Al I’lam 3/4 )
Pada sebagian keadaaan seperti pada masa-masa fitnah, boleh jadi seorang muslim harus meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar ini, kewajibannya dalam hal ini gugur, bahkan kembali kepada pribadinya. Ath Thahawi menerangkan keadaan ini, sebagai berikut:
“ Di dalam keterangan ini terdapat penekanan terhadap masalah amar ma’ruf nahi munkar sehingga zaman yang terputus dari persoalan ini yaitu zaman yang telah diuraikan oleh Rasulullah dalam hadits Abu Tsa’labah Al Khusyani, di mana tidak bermanfaat di sana amar ma’ruf nahi munkar dan tidak ada kekuatan pada orang yang mengingkarinya. Sehingga gugurlah kewajiban ini dari dirinya. Dan kembali pada pribadinya.” (Syarh Musykilul Atsar 3 / 213 )
Kalau demikian halnya, maka dalam kondisi seperti ini tetap tidak boleh meninggalkan bentuk pengingkaran dengan hati. Karena dia merupaka kewajiban dalam setiap keadaan. Sebab tidak ada fitnah yang timbul melalui pengingkaran seperti ini. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“ Adapun hati, maka wajib mengingkari kemunkaran (dengannya) dalam keadaan bagaimanapun. Karena tidak ada bahaya yang timbul dari tindakan ini.” (Al Istiqamah 2 / 212 )
Adapun bermuamalah bersama penguasa kafir yang memerintah kaum sebagaian muslimin –sebagaimana kondisi mereka yang minoritas- di mana tidak bolehnya masuk dan campur tangan ke dalam fitnah, atau mengadakan sesuatu yang justeru membahayakan diri mereka sendiri, atau mengalihkan perhatian mereka kepada hal-hal yang dapat mempersulit kaum muslimin sendiri. Dalam mengarahkan jalan yang bijaksana sehubungan masalah ini, Syaikh Shaleh Al Fauzan menerangkan:

Senin, 17 Maret 2014

Cincin pertunangan

Cincin pertunangan

(65 Views) November 16, 2011 1:52 pm | Published by  | 1 Comment
Apa hukumnya memakai cincin kawin atau cincin pertunangan?
(Mawardi, Banjarmasin)
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah.
Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t. Dan beliau berfatwa:
“Cincin tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak bermata). Pada asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang kecuali jika disertai i’tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya. Pada kondisi seperti ini, cincin tadi menjadi haram, karena merupa-kan perbuatan bergantung dengan sesuatu yang tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab akibat).1

Kamis, 13 Maret 2014

Talak Adalah Anugerah Dari Allah – (bagian 2)

Talak Adalah Anugerah Dari Allah – (bagian 2)



Talakdalamislam2a
Ditulis oleh: Ustadz Abu Umar Ibrohim Hafizhahulloh

Pembolehan talak dalam Islam adalah nikmat dan anugerah dari Allah Ta’ala, sebagaimana pernikahan juga merupakan nikmat dan anugerah dari Dzat Yang Maha Penyayang dan Bijaksana.
Lihatlah keadaan umat-umat terdahulu. Umat Nashara, tidak ada pembolehan talak pada syariat agama mereka. Kaum Yahudi dan musyrikin, mereka bermudah-mudahan dalam menalak istrinya secara tidak adil, sehingga menimbulkan keretakan, kekacauan, dan mudharat.
Adapun Nashara, kalau suami sudah tidak cinta kepada istrinya, hal itu hanya bisa dipendam dan menjadi belenggu pada dirinya. Kenapa? Dikarenakan dia tidak bisa menceraikannya.
Kira-kira, apakah rumah tangga yang tidak dibangun di atas cinta bisa berjalan dengan baik?
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala dengan Hikmah-Nya memperbolehkan umat Islam untuk menalak istrinya, tentunya jika hal itu memang diperlukan (dengan pertimbangan yang matang).
Tapi yang perlu diketahui, pada dasarnya, syariat Islam sangat menginginkan agar hubungan di antara suami istri dan keluarga tetap terjalin baik dan tidak koyak.
Oleh karena itulah, syariat banyak mendorong suami istri untuk saling bergaul dengan baik, menunaikan haknya masing-masing, dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk menalaknya.
Bahkan, syariat memberikan solusi berupa upaya-upaya untuk mengobati prasangka buruk, pemahaman yang keliru, perangai yang kurang bagus, dan muamalah serta berbagi hal yang tidak disukai oleh masing-masingnya.
Bagaimana upaya syariat dalam menjaga dan memberikan solusi terbaik terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka? Nantikan dalam tulisan berikutnya….  Wallahu a’lam bish shawab
Fawaid dari dars Manhajus Salikin Kitab: ath-Thalaq, oleh Syaikhuna Abdurrahman al-’Adeni hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyusy. Semoga Allah Ta’ala selalu menjaganya dari segala makar, dan keburukan.
http://forumsalafy.net/?p=1384

Silsilah (Rangkaian) Nasehat dan Bimbingan dalam Tarbiyatul Aulad (Bagian Kedua)

Posted: 12 Mar 2014 04:00 PM PDT
سلسلة نصائح وتوجيهات في تربية الأولاد
لأحمد مبارك بن قذلان المزروعي

Silsilah (Rangkaian) Nasehat dan Bimbingan dalam Tarbiyatul Aulad
Oleh asy-Syaikh Ahmad Mubarak bin Qadzlan al-Mazru’i
(Bagian Kedua)

Faedah-Faedah Fiqhiyah dari Kitab ‘UMDATUL AHKAM (Hadits ke-17)

Faedah-Faedah Fiqhiyah dari Kitab ‘UMDATUL AHKAM (Hadits ke-17)

umdatul-ahkam-copy-704x318
(Bab Siwak)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ».
“Dari Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ” Seandainya aku tidak kuatir memberatkan umatku, niscaya akan aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat.”[HR. Al Bukhari – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1. Bersiwak adalah perkara yang yang disunnahkan.
Berkata Al Imam Asy Syafi’i: “Seandainya itu wajib maka niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkannya, baik memberatkan ataupun tidak.”

Selasa, 11 Maret 2014

BANGUNAN PARA SALAF

BANGUNAN PARA SALAF

Ditulis oleh: Abu Turob al-Jaawi
-semoga Alloh mengampuninya-
Jumadal Ula 1435 H
Markiz Ahlussunnah – Bengkulu Utara
Editor: ISNAD.Net
بسم الله الرحمن الرحيم
Dan diantara musibah yang telah merebak menimpa ummat ini, dan banyak diantara mereka meremehkan dan menggampangkan perkara dan sedikit sekali yang memperingatkan dan mengingatkannya yaitu masalah bermegah-megah, berlomba-lomba dan berbangga-bangga dalam bangunan dan membangun, padahal meninggikan bangunan sebagaimana kata Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahullooh di kitab جامع العلوم والحكم  ketika menerangkan hadits Jibril :
” ولم يكن إطالة البنيان معروفا فى زمن النبي  ﷺ  وأصحابه – رضي الله عنهم – بل كان بنيانهم قصيرا بقدر الحاجة”
Tidaklah bermegah-megahan dalam bangunan dikenal pada zaman  Nabi ﷺ dan para sahabatnya rodhialloohu ‘anhum  salafussholih, bahkan bangunan mereka pendek sebatas kebutuhan.” Selesai.
Maka sungguh benar apa yang di katakan oleh Nabiﷺ  dalam sabdanya:
: ” “لا تقوم الساعة حتى يتطاول الناس فى البنيان ”
رواه البخاري من حديث أبي هريرة رضي الله عنه .
” Tidaklah akan terjadi Qiamat sampai manusia  saling berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan.” HR Bukhori dari Dari Abi Huroiroh rodhialloohu ‘anhu .
Dan ungkapan Nabi ﷺ ini adalah dalam sisi hardikan dan celaan terhadap pelakunya, dikarenakan akhir zaman merupakan sejelek-jelek keadaan, sebagaimana hal itu dipahami dari kaidah-kaidah syari’yyah.
Dari sini kami ingin menguak sedikit perkara ini untuk dijadikan bahan renungan dan muhasabah pada kita semua, agar kita tidak terjerumus kepada apa yang di peringatkan oleh Nabi ﷺ dan kita berusaha semaksimal mungkin untuk mensuritauladani Rosulullooh ﷺ  dan salaf kita dalam segala aspek kehidupan kita.
والله الموفق إلى أقوم الطريق.
Dan kami memohon kepada Aloh agar menjadikan amal ini hanya untuk mengharap wajahNya dan sebagai simpanan kebaikan kami diakherat.
Filehashes
CRC32: 0A813BB0
MD5: 9D4DDEEE83A93D31C9618D7D5C8C1FAD
SHA-1: 8C032A10920611DBE54796B6BB79DED4B240E8EE

Selasa, 04 Maret 2014

KUMPULAN FATAWA SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL-WADI’Y ROHIMAHULLOH


KUMPULAN FATAWA SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL-WADI’Y ROHIMAHULLOH

 Pertanyaan: Apa hukum dzikir setelah sholat berserta dalilnya?
  Jawaban: Dzikir-dzikir adalah disyariatkan, rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” Barangsiapa membaca ayat kursi pada penghujung setiap sholat maka tidak akan mengahalanginya dari masuk surga kecuali kematian”, dan nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” dan maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada sesuatu yang apabila kalian melakukannya kalian akan mendahului orang-orang sebelum kalian dan akan menyertai kalian orang-orang setelah kalian -atau semakna dengan ini- kalian bertasbih kepada Alloh di penghujung setiap sholat, dan kalian bertahmid dan bertakbir di penghujung setiap sholat”.
Aku kira pertanyaan bukan tentang dzikir, namun pertanyaan tentang doa (selesai sholat, pent), ini yang saya kira.

Sifat Shalat Nabi (bagian 1)


Home
 » Majalah AsySyariah Edisi 055 » Sifat Shalat Nabi (bagian 1)

Sifat Shalat Nabi (bagian 1)

(143 Views) November 19, 2011 2:41 pm | Published by  | No comment
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Alhamdulillah pada edisi ini dan selanjutnya, insya Allah kita akan melihat beberapa penjelasan berkenaan dengan sifat shalat Nabi n. Sebagian besar pembahasan di sini sengaja penulis nukil dari kitab yang mubarak, Shifat Shalat Nabi n dan “Asal-nya” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi n), yang ditulis oleh Asy-Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Nuh, Nashiruddin Al-Albani t. Karena kitab yang beliau susun tersebut merupakan karya yang paling lengkap memuat sifat shalat Nabi n dalam babnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, Syaikh yang mulia, Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i t. Disamping itu, penulis juga berupaya menukil dan menambahkan dari beberapa referensi lainnya sebagai tambahan faedah berkenaan dengan pembahasan ini. ‘Tak ada gading yang tak retak’, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahul muwaffiq ilash shawab.

1. Niat
Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i t berkata: “Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)
Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah l sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah n yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.
Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i t terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”
Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i t dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah l meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”

Mewaspadai Orang-orang yang Menghalalkan Daging Anjing




Mewaspadai Orang-orang yang Menghalalkan Daging Anjing


JUDUL EDISI9
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau makanan dari hasil perbuatan fasik yaitu binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al-An’am: 145)
Para pembaca rahimakumullah, sebelum masuk ke dalam pembahasan inti edisi kali ini, ada baiknya kita renungi sejenak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut.
يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ، يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي، فَيَقُولُ: بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ، وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ، أَلَّا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللهُ.
“Telah dekat saatnya kemunculan seseorang yang bertelekan di atas singgasananya, kemudian ketika disampaikan padanya sebuah hadits dariku, justru mengatakan: “Antara kami dengan kalian ada Kitabullah ‘azza wajalla, apa yang kami dapati di dalamnya sesuatu yang halal, maka kami halalkan sesuatu tersebut. Dan apa yang kami dapati di dalamnya sesuatu yang haram, maka kami haramkan sesuatu tersebut.” (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallambersabda): “Ketahuilah bahwa segala yang diharamkan oleh Rasulullah, maka itu adalah seperti yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ahmad no. 17194, Ibnu Majah no. 12, dan selain keduanya)
          Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitakan akan adanya orang yang tidak mau menjadikan seluruh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pijakan dalam meniti kehidupan beragamanya. Mereka menolak hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dinilai bertentangan dengan al-Qur’an. Ketika disampaikan padanya hadits, mereka mengingkarinya dengan dalih bahwa al-Qur’an itu sudah cukup. Orang seperti inilah yang biasa disebut dengan orang yang berpaham inkarus sunnah (mengingkari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam).
         

Fanatik Buta Pada Sebagian Ulama Tanpa di Sertai Dalil/Bukti

Fanatik Buta Pada Sebagian Ulama Tanpa di Sertai Dalil/Bukti


Fanatikbuta1
Fatwa as-Syaikh Muqbil bin Hady al-Wadi’i rahimahullahu ta’ala
Pertanyaan : “Telah tersebar di tengah-tengah generasi muda adanya ta’ashub (fanatik) kepada sebagian Ulama karena didasarkan Individunya, sehingga hal ini menjadikan sebab sebagian mereka berpegang pada ucapan seorang Ulama, TANPA DIDASARKAN DALIL ATAUPUN BUKTI YANG JELAS. Dan dari sinilah bermula timbulnya fitnah di tengah-tengah generasi muda. Kemudian menyebabkan mereka terjauhkan dari Thalabul Ilmi as-Syar’i. Apa nasehatmu kepada mereka atau yang semisal dengan mereka ?
Jawaban :
“Nasehatku, sesungguhnya kita mencintai Ulama kita dengan kecintaan yang sifatnya Syar’i. Kita tidak taqlid, dan tidak pula fanatik kepada perseorangan Ulama.

Minggu, 02 Maret 2014

PENJELASAN SYARHUS SUNNAH LIL MUZANI (BAG 15)

PENJELASAN SYARHUS SUNNAH LIL MUZANI (BAG 15)

by webadmin
Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
PENDUDUK SURGA MELIHAT WAJAH ALLAH
Al-Muzani rahimahullah menyatakan:
فَهُمْ حِيْنَئِذٍ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْظُرُوْنَ لاَ يُمَارُوْنَ فِي النَّظَرِ إِلَيْهِ وَلاَ يَشُكُّوْنَ فَوُجُوْهُهُمْ بِكَرَامَتِهِ نَاضِرَةٌ وَأَعْيُنُهُمْ بِفَضْلِهِ إِلَيْهِ نَاظِرَةٌ فِي نَعِيْمٍ دَائِمٍ مُقِيْمٍ وَ { لاَ يَمَسُّهُمْ فِيْهَا نَصَبٌ وَمَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِيْنَ }
Mereka pada hari itu memandang kepada Rabb mereka, tidak bimbang dan ragu dalam memandangnya. Wajah-wajah mereka cerah dengan kemulyaan dari-Nya. Mata mereka memandang kepada-Nya dengan fadhilah yang diberikanNya. (Mereka) berada dalam kenikmatan yang terus menerus kekal. Dan << Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan darinya (surga) Q.S al-Hijr:48>>

PENJELASAN:

Faedah-Faedah Fiqhiyah dari Kitab Umdatul Ahkam (Hadits ke-16)

Posted: 28 Feb 2014 03:00 PM PST
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ «مَرَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: إنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا: فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ: فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً، فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ، فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا».
“Dari Abdullah bin ‘Abbas_radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar. Yang satu disiksa karena tidak berlindung disaat kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.” Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?” beliau menjawab: “Semoga siksa keduanya diringankan selama dahan pohon ini masih basah.” [HR. Al Bukhari – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits:

Permisalan Dunia dan Dorongan Untuk Qona’ah terhadap Dunia

Posted: 27 Feb 2014 03:00 PM PST
✏Allah ta’ala berfirman:
 وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَياةِ الدُّنْيا كَماءٍ أَنْزَلْناهُ مِنَ السَّماءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَباتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّياحُ وَكانَ اللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِراً./ سورة الكهف (١٨): آية ٤٥]
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bawa permisalan kehidupan dunia ini laksana air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan dimuka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan tersebut menjadi kering dan diterbangkan oleh angin.Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(QS.AlKahfi/18: 45)
✏Berkata Al-Imam Al-Qurthuby:
وَقَالَتِ الْحُكَمَاءُ:
إِنَّمَا شَبَّهَ تَعَالَى الدُّنْيَا بِالْمَاءِ لِأَنَّ الْمَاءَ لَا يَسْتَقِرُّ فِي مَوْضِعٍ. كَذَلِكَ الدُّنْيَا لَا تَبْقَى عَلَى وَاحِدٍ. وَلِأَنَّ الْمَاءَ لَا يَسْتَقِيمُ عَلَى حَالَةٍ وَاحِدَةٍ كَذَلِكَ الدُّنْيَا. وَلِأَنَّ الْمَاءَ لَا يَبْقَى وَيَذْهَبُ كَذَلِكَ الدُّنْيَا تَفْنَى. وَلِأَنَّ الْمَاءَ لَا يَقْدِرُ أَحَدٌ أَنْ يَدْخُلَهُ وَلَا يَبْتَلَّ كَذَلِكَ الدُّنْيَا لَا يَسْلَمُ أَحَدٌ دَخَلَهَا مِنْ فِتْنَتِهَا وَآفَتِهَا. وَلِأَنَّ الْمَاءَ إِذَا كَانَ بِقَدْرٍ كَانَ نَافِعًا مُنْبِتًا، وَإِذَا جَاوَزَ الْمِقْدَارَ كَانَ ضَارًّا مُهْلِكًا، وَكَذَلِكَ الدُّنْيَا الْكَفَافُ مِنْهَا يَنْفَعُ وَفُضُولُهَا يَضُرُّ. ِ
“Berkata para ahli hikmah: 
“Hanyalah Allah menyerupakan dunia dengan air disebabkan karena:
Air itu tidaklah menetap disuatu tempat. Dan demikianlah pula dunia ini.
Air itu tidaklah menetap dalam satu keadaan, dan demikian pula dunia ini.
Air itu tidak kekal, dan akan hilang, dan demikian pula dunia ini.
Air itu tidak ada seorangpun yang dapat memasukinya dalam keadaan dia tidak akan basah. Dan demikian pula dunia ini, tidak ada seorangpun yang akan selamat dari fitnah dan bahayanya jika dia telah masuk kedalamnya. 
Air itu apabila sesuai ukurannya maka akan bermanfaat dan menumbuhkan (tanaman), dan apabila melewati ukurannya maka akan membahayakan dan membinasakan. Dan demikian pula dunia ini, mengambilnya sekedarnya saja akan bermanfaat dan jika berebihan dengannya maka akan membahayakan”.
✏Dalam shahih Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
” قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا أَتَاهُ”.
“Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam, dan diberi rezki yang cukup, serta Allah qana’ahkan (menjadikannya merasa cukup) dengan apa yang telah Dia berikan padanya”.