Halaman

Minggu, 20 April 2014

Hukum Perceraian

Posted: 17 Apr 2014 04:04 PM PDT
oleh : Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Hukum Perceraian (Thalaq) ada 5 :
1. Makruh.
Secara asal, hukum perceraian adalah makruh (dibenci).
Jika seorang suami menceraikan istrinya tanpa ada sebab, maka itu adalah makruh.
Secara asal, perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai oleh Allah dan justru disukai oleh Iblis.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kalian bertekad kuat untuk thalaq, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S al-Baqoroh:227).
Konteks ayat tersebut adalah bentuk peringatan dan ancaman: “jika kalian berbuat demikian…sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”, sehingga itu menunjukkan bahwa perceraian tidaklah disukai oleh Allah. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin rahimamullah.
Hal yang menunjukkan bahwa perceraian adalah sesuatu yang disukai oleh Iblis dan bala tentaranya (syaithan) adalah hadits:
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian mengirim pasukannya (ke berbagai penjuru). Pihak yang terdekat kedudukannya dari Iblis adalah yang paling besar menimbulkan fitnah. Salah satu dari mereka datang (menghadap Iblis) dan menyatakan: Aku berbuat demikian dan demikian. Iblis menyatakan: engkau belum berbuat apa-apa. Kemudian datang satu lagi (melaporkan): Aku tidak tinggalkan ia (manusia) hingga aku pisahkan ia dengan istrinya. Kemudian Iblis mendekatkan kedudukannya dan mengatakan: bagus engkau (H.R Muslim)
2. Mubah, jika diperlukan.
Misalnya, jika seorang laki-laki sudah tidak mampu lagi untuk bersabar hidup bersama istrinya.
Secara asal, al-Quran dan Sunnah memberikan bimbingan kepada suami untuk tetap bersabar ketika mengalami sesuatu yang tidak ia sukai ada pada istrinya.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Jika kalian membenci mereka (para istri), bisa jadi kalian membenci sesuatu, sedangkan Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S anNisaa’:19).
‘kebaikan yang banyak’ itu kata para Ulama Tafsir misalnya adalah lahirnya anak yang sholih.
Di dalam hadits juga dinyatakan:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci mukmin wanita. Jika ia membenci suatu akhlak, bisa jadi ia meridhai akhlak yang lain” (H.R Muslim)
Namun, jika sudah benar-benar tidak mampu lagi bersabar, diperbolehkan untuk bercerai (thalaq).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Wahai Nabi, jika kalian menthalaq para wanita, maka thalaqlah pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…”(Q.S ath-Tholaq ayat 1)
Thalaq bukanlah suatu yang haram, karena Allah tidak menyatakan kepada NabiNya: “janganlah kalian menthalaq….”. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin.
Demikian indahnya syariat Islam, memberikan solusi atas segala permasalahan. Sebagian orang kafir menganggap ajaran Islam tidak berpihak kepada kaum wanita dengan adanya thalaq. Padahal, dalam kondisi tertentu thalaq (perceraian) adalah jalan keluar terbaik bagi suatu permasalahan. Seseorang wanita akan lebih baik dicerai jika seandainya dibiarkan tetap tinggal bersama suaminya, tapi ia ditelantarkan, tidak mendapat kasih sayang dan perhatian, bahkan justru sering disakiti dengan ucapan atau perbuatan.
3. Mustahab (disukai/ dianjurkan).
Dalam kondisi tertentu perceraian adalah sesuatu yang dianjurkan. Hal ini jika dikhawatirkan memudharatkan salah satu atau kedua belah pihak bagi suami istri jika pernikahan itu dilanjutkan
Contohnya, jika istri bersikap dominan pada suami, sedangkan suaminya penakut. Mudah dipengaruhi, namun sulit mempengaruhi orang lain. Sikap istri tidak baik dan sangat sulit diharapkan perubahannya, dikhawatirkan menimbulkan mudharat bagi Dien sang suami, maka dalam batas tertentu dianjurkan untuk bercerai.
Atau sebaliknya, istri seringkali disakiti hatinya oleh suami. Menyebabkan hidupnya tidak tentram dan tenang, serta suami sangat sulit diubah perilakunya, maka dalam batas tertentu, perceraian adalah sesuatu yang mustahab untuk dilakukan.
4. Wajib.
Jika seorang suami melakukan ilaa’, yaitu bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (jimak) lebih dari 4 bulan, misalkan ia bersumpah: Saya tidak akan menggauli istri saya selama setahun. Itu adalah ilaa’. Diberikan batas waktu 4 bulan bagi sang suami. Jika sudah sampai 4 bulan, maka diberi pilihan: apakah ia mau kembali (menggauli istrinya) dan membayar kaffaroh sumpah, atau ia menthalaq (menceraikan) istrinya. Jika ia tidak mau dua-duanya, maka hakim wajib memaksa suami untuk menceraikan istrinya.
Wajib menceraikan istri pula jika sang istri melakukan perbuatan keji (zina) dan tidak bisa diharapkan taubatnya. Kalau sang suami tidak menceraikannya, maka suami masuk kategori dayyuts, yang diancam dalam hadits Nabi: tidak masuk surga.
Termasuk juga wajib berpisah dari istri jika istri ternyata berubah menjadi musyrikah (wanita musyrik) atau murtad, wal ‘iyaadzu billaah. Seperti seorang istri yang terus menerus meninggalkan sholat, maka menurut pendapat sebagian Ulama ia telah menjadi kafir.
Berubahnya istri yang awalnya muslimah menjadi murtad, menurut Syaikh Ibn Utsaimin ada 2 keadaan:
- Murtad setelah akad nikah namun belum berhubungan suami istri atau belum berduaan. Maka pernikahannya rusak (faskh) dan jika suatu saat bertaubat lagi serta ingin kembali bersama, harus dengan akad baru.
- Murtad setelah akad nikah dan setelah pernah berhubungan suami istri, maka pernikahannya rusak. Jika kemudian istri bertaubat dan ingin kembali, dilihat waktunya. Jika waktunya adalah telah melewati masa iddah, maka harus akad nikah lagi. Tapi jika kembalinya adalah sebelum berakhirnya masa iddah, tidak harus akad nikah lagi.
(disarikan dari Fataawa Islaamiyyah (3/338)).
5. Haram.
Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya pada saat haid, atau pada saat suci dan di masa suci itu sang suami telah berjimak dengan istrinya. Diharamkan juga mengucapkan thalaq lebih dari satu. Misalkan dengan mengatakan: aku thalaq engkau dua kali, atau aku thalaq engkau seratus kali. Ucapan demikian adalah haram.
Kelima poin di atas disarikan dengan beberapa penambahan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ syarh Zaadil Mustaqni’.
Hal yang perlu dipahami adalah: keputusan cerai atau tidak adalah di tangan suami.
Sebaliknya, bagi istri tidak boleh (haram) meminta kepada suami untuk menceraikannya tanpa ada sebab syar’i. Hal ini berdasarkan hadits:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta cerai dari suaminya tanpa ada alasan (syar’i), maka haram baginya bau surga” (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albany)
Alasan syar’i bagi wanita utk meminta cerai pada suami di antaranya: jika suami tdk menjalankan kewajibannya, atau istri ditelantarkan, atau istri sering didzhalimi/disakiti, atau suami telah murtad, atau memiliki akhlak yg buruk, atau suka berbuat dosa besar dan sulit diubah.
Sumber : WA al-I’tishom – Probolinggo melalui WA Salafy Lintas Negara
(75) views

http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-perceraian/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+darus-salaf+%28Darus+Salaf%29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar