Halaman

Selasa, 02 Desember 2014

Antara “Madu” Indo dan “Madu” Arab

Home / Fiqh / Antara “Madu” Indo dan “Madu” Arab

Antara “Madu” Indo dan “Madu” Arab

Antara “Madu” Indo dan “Madu” Arab

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 
Antara Madu Indo dan Madu Arab
Cukup lama terpendam dalam benak kami sebuah pertanyaan, mengapa istri kedua atau istri lain dinamakan “madu”? Apakah karena manisnya? Karena jawabannya bukanlah sesuatu yang penting maka kami biarkan saja pertanyaan itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata, tidak pula berusaha mencari jawabnya.
Sampai suatu ketika, di majelis salah seorang guru kami -semoga Allah ta’ala menjaga beliau-, pada akhir-akhir Ramadhan 1433 H, di sela-sela pembahasan kitab Haadyl Arwah ilaa Bilaadil Afraah, karya Al-Imam Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah, beliau menjelaskan sebuah faidah, ternyata “madu” itu berasal dari kata “memadukan,” dinamakan demikian sebab seorang suami telah memadukan antara dua istri atau lebih. Inilah makna “madu” dalam Bahasa Indonesia.
Lain halnya dalam Bahasa Arab, kata yang digunakan untuk istri kedua atau istri lain adalah Dhorrah [ضَرَّةٌ] yang artinya secara bahasa adalah wanita yang membahayakan, dinamakan demikian karena adanya persaingan diantara para istri yang dapat membahayakan. [Selesai faidah dari beliau hafizhahullah]
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa kata “madu” dalam Bahasa Indonesia akar makna bahasanya lebih baik dan lebih tepat dari kata “madu” dalam Bahasa Arab. Karena memang demikianlah menurut syari’at yang mulia ini, hakikat istri-istri yang dimiliki seseorang adalah akhawat mukminat, para wanita beriman yang bersaudara, sehingga haruslah terjadi perpaduan yang baik antara mereka. Sebagaimana seorang suami haruslah berusaha memadukan antara mereka.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat: 10]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam kecintaan, kasih sayang dan kelembutan di antara mereka bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuh akan ikut merasa sakit hingga tidak bisa tidur dan merasa demam.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu]
Demikianlah seharusnya para istri yang beriman, hendaklah mereka berusaha mengamalkan sifat-sifat kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya dan bekerja sama dalam kebaikan dan takwa. Terlebih para istri Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya lagi istri-istri para du’at yang harus menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat, dalam kondisi musuh-musuh Islam dan orang-orang awam yang termakan dengan syubhat-syubhat mereka terus berusaha untuk menjelek-jelekan sunnah poligami dan menghantam Ahlus Sunnah karena hal tersebut.
Kecemburuan Antara Para Istri dalam Kondisi Kurang Akal dan Agama
Cemburu adalah hal yang wajar dalam diri seorang wanita, akan tetapi hal itu tidaklah membenarkan perbuatan dosa dan kezaliman terhadap saudarinya, apalagi terhadap suaminya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan,
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling dengki, janganlah saling melakukan najasy (menawar suatu barang dengan harga yang tinggi padahal dia tidak niat membelinya tetapi hanya untuk memancing orang lain agar menawar dengan harga yang lebih tinggi), janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi, janganlah sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka janganlah dia menzaliminya, janganlah menghinanya, (dalam riwayat At-Tirmidzi: janganlah mengkhianatinya dan janganlah berdusta kepadanya) dan janganlah merendahkannya.
Ketakwaan itu di sini, seraya beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek apabila dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” [HR. Al-Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Oleh karena itu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak membiarkan ghibah yang dilakukan oleh istri tercintanya, Aisyah radhiyallahu’anha terhadap istri lainnya, Shafiyah radhiyallahu’anhaUmmul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha menuturkan,
قُلْتُ لِلنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِى قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Aku berkata kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, cukuplah bagimu Shofiyyah itu begini dan begitu.” Berkata rawi, ucapan yang tidak baik, yaitu Shafiyah itu pendek. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat, andaikan kalimat itu dicampur ke air laut, niscaya laut itu akan tercemar.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Shahihut Targhib, no. 2834]
Sebagaimana beliau tidak membiarkan istri tercintanya, Hafshah radhiyallahu’anha mencela istrinya yang lain, Shafiyyah radhiyallahu’anha. Sahabat yang mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan,
بلغ صفية أن حفصة قالت بنت يهودي فبكت فدخل عليها النبي صلى الله عليه و سلم وهي تبكي فقال ما يبكيك فقالت قالت لي حفصة إني ابنة يهودي فقال النبي صلى الله عليه و سلم إنك لابنة نبي وإن عمك لنبي وإنك لتحت نبي ففيم تفخر عليك ثم قال اتقي الله يا حفصة
“Sampai kepada Shofiyyah bahwa Hafshah mengatakan, Shofiyyah adalah anak seorang Yahudi, maka ia pun menangis. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menemuinya dalam keadaan ia sedang menangis, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Apa yang membuat engkau menangis?’ Ia menjawab,‘Hafshah berkata kepadaku, sesungguhnya aku anak seorang Yahudi.’ Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya engkau adalah anak seorang Nabi dan sungguh pamanmu juga seorang Nabi(yakni dari keturunan Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalamdan suamimu juga seorang Nabi, maka apa yang membuatnya berbangga atasmu.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah’.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, no. 3055]
Di sisi lain, seorang suami juga harus memahami bahwa cemburu antara para istri adalah sifat dasar mereka, dan itu masih ditambah dengan kekurangan akal dan agama mereka, tak terkecuali para istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sehingga seorang suami dituntut untuk bersikap sabar dan meneladani Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menghadapi “pergolakan” di antara para istri. Di sinilah pentingnya ilmu dalam rumah tangga, inilah kesempatan emas untuk mempraktekan salah satu prinsip emas Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah sampai menyebutkan dalam Shahih beliau sebuah bab yang berjudul,“Bab Tentang Kecemburuan” [باب الْغَيْرَةِ] dan lebih khusus lagi “Bab Kecemburuan Wanita dan Kemarahan Mereka (Karena Cemburu)” [باب غيرة النساء ووجدهن]. Beliau rahimahullah meriwayatkan,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah besama salah satu istri beliau, lalu salah seorang ummahatul mukminin, istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan kepada beliau, maka istri yang lagi bersama beliau di rumahnya itu memukul tangan pembantu (yang membawa makanan itu), maka piringnya pun jatuh hingga pecah, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan-pecahan piring itu dan juga mengumpulkan makanan yang jatuh, dan beliau bersabda, “Ibu kamu sedang cemburu.” Kemudian beliau menahan pembantu tersebut sampai beliau mengganti piring yang pecah itu dengan piring yang berasal dari rumah istri yang memecahkannya. Maka beliau membayar dengan piring yang bagus untuk mengganti piring yang pecah, dan beliau menahan piring yang pecah di rumah istri yang memecahkannya.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari]
Faedah Hadits Terkait Pembahasan:
1. Kesabaran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menghadapi kecemburuan dan kemarahan istri-istri beliau.
2. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memaklumi kecemburuan istrinya dan kemarahannya yang timbul karena kecemburuan itu.
3. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak memarahi atau membentak istrinya. Al-Imam Ibnu Batthalrahimahullah berkata,
وفى حديث القصعة الصبر للنساء على أخلاقهن وعوجهن لأنه عليه السلام لم يوبخها على ذلك ولا لامها ولا زاد على قوله غارت أمكم
“Dalam hadits tentang piring pecah ini terdapat pelajaran sabar dalam menghadapi para istri atas akhlak mereka dan kebengkokan mereka, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menjelek-jelekan istri beliau disebabkan perbuatannya itu, tidak pula mencelanya dan tidak pula menambah ucapannya selain, ‘Ibu kamu sedang cemburu’.” [Syarhu Shahih Al-Bukhari, 7/351]
4. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memafkan dan tidak memberikan hukuman terhadap istrinya tersebut. Sampai seluruh ulama yang menjelaskan hadits ini berkata,
فيه إشارة إلى عدم مؤاخذة الغيراء بما يصدر منها لأنها في تلك الحالة يكون عقلها محجوبا بشدة الغضب الذي اثارته الغيرة
“Dalam hadits ini terdapat isyarat akan tidak bolehnya menghukum wanita-wanita yang sedang cemburu ketika ia melakukan suatu kesalahan, sebab dalam keadaan itu akalnya sedang tertutup karena besarnya kemarahan yang dibakar oleh kecemburuan.” [Fathul Bari, 9/325]
5. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mendidik istrinya yang bersalah dengan mengganti piring yang dipecahkannya dari miliknya.
6. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak membiarkan kemungkaran yang dilakukan oleh istrinya, namun beliau menasihatinya dengan kelembutan.
7. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menunaikan hak istri yang dizalimi dengan mengganti piringnya yang rusak dari milik istri yang merusaknya.
8. Seorang suami haruslah bersikap dewasa dan matang dalam menghadapi istri-istrinya, sebab yang ia hadapi adalah makhluk “halus” yang mudah pecah seperti “kaca” yang bengkok lagi tidak sempurna akal dan agamanya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Aku tidak melihat wanita-wanita yang kurang akal dan agama namun sanggup menghilangkan akal sehat seorang laki-laki cerdas melebihi seorang dari kalian (para wanita).” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma]
9. Seorang suami haruslah menasihati istri-istrinya secara terus menerus dengan penuh kelembutan. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
“Berilah nasihat kepada para wanita, karena sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk (yang bengkok), dan tulang rusuk yang paling bengkok itu adalah bagian paling atasnya, jika engkau memaksa untuk meluruskannya engkau akan mematahkannya, namun jika engkau biarkan ia akan tetap bengkok,  maka nasihatilah para wanita.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
10. Pentingnya ilmu dalam rumah tangga. Inilah sesungguhnya diantara sisi yang paling penting dalam meneladani rumah tangga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bukan sekedar semangat belaka. Masalah apapun dalam rumah tangga, insya Allah ta’ala akan terpecahkan dengan baik jika masing-masing dari suami dan istri mau kembali kepada ilmu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesuai pemahaman Salaful Ummah.
Nasihat ringkas ini semoga bermanfaat bagi para suami dalam membimbing istri-istrinya dan menjadikan mereka “madu-madu” yang baik lagi manis. Wallahul Musta’an.
Artikel Terkait:
Link: http://sofyanruray.info/antara-madu-dan-madu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar