Halaman

Rabu, 26 September 2012

HUKUM KHITAN BAGI WANITA


(Soal-Jawab) Hukum khitan bagi wanita

بسم الله الرحمن الرحيم

HUKUM KHITAN BAGI WANITA

‘Abdul Qodir al-Minangkabawiy, di DarulHadits Dammaj, Yaman
Soal : “ Bismillah, Assalaamu’alaikum. Ana mau tanya, apa hukum khitan bagi wanita?, mohon penjelasannya dengan rinci. Jazakumullohu khoir. (Ummu Kholid, Sulawesi Selatan) 0852xxxxxx
Jawab: 
Wa’alaikum salam
“ Hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah, tidak wajib. Adapun bagi laki-laki maka hukumnya wajib. Berkata Rosululloh shollallohu ‘alaihi  wa sallam:
الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ
“Fitrah itu ada lima: Khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, menggunting kumis dan memotong kuku”. (HR. Bukhori 6297 dan Muslim 257, dari Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu)
Berkata Imam Annawawi rahimahulloh di syarh Muslim: “Adapun fitrah disini, maka diperselisihkan maksudnya, berkata Abu Sulaiman Alkhottobi: “Jumhur ulama berpendapat bahwa dia adalah sunnah, seperti itu juga yang dikatakan oleh sekelompok ulama selain Khottobi, mereka berkata: “maknanya adalah: sesungguhnya fitrah tersebut adalah termasuk sunnah-sunnah para Nabi shollallohu ‘alaihim wa sallam”, dikatakan juga: “fitrah tersebut adalah agama”, dan juga sesungguhnya kebanyakan yang disebut di dalam fitrah tersebut tidak lah wajib disisi para ulama, dan pada sebagiannya yang lain terjadi khilaf(perselisihan) tentang hukum wajibnya, seperti khitan, madhmadhoh dan istinsyaq (sebagaimana di dalam hadits yang lain), dan tidaklah terhalang untuk digandengkan penyebutan sesuatu yang wajib dengan selainnya sebagaimana perkataan Alloh subhanahuwata’ala:
﴿كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ﴾
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari pemetikan hasilnya (dengan disedekahkan  kepada fakir miskin)”. (QS. Al-an’am 141)
Penunaian haknya wajib, akan tetapi memakannya tidak wajib, Allohu A’lam. (selesai penukilan perkataan Imam Annawawi rohimahulloh)  Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahulloh di kitabnya “Almughni”:  “pembahasan: Adapun khitan, maka hukumnya adalah wajib bagi laki-laki dan makrumah (disenangi/dihormati) bagi perempuan, dan tidaklah diwajibkan bagi perempuan. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama.
Berkata Imam Ahmad: “hukumnya pada laki-laki lebih ditekankan, karena laki-laki apabila tidak berkhitan, maka kulit tersebut membungkus  pucuk kemaluan, dan tidaklah bersih apa-apa yang ada disekitar kulit tersebut. Adapun pada perempuan,maka perkaranya gampang”,…”.
Kemudian beliau –Ibnu Qudamah- rohimahulloh berkata: “Dan disyari’atkan juga khitan bagi perempuan, berkata Abu ‘Abdillah (Imam ahmad): ” Hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:
«إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ»
“apabila dua khitan bertemu, maka diwajibkan mandi”. (HR.Muslim 349 dan lafaz ini dari riwayat Ibnu Majah 608, lihat Silsilah Ashohihah karya Imam Al-albani rohimahulloh 1261)
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa perempuan dahulu berkhitan, dan hadits ‘Umar rodhiallohu ‘anhu: “sesungguhnya seorang wanita tukang khitan mengkhitan”, berkata Umar:
“أَبْقِي مِنْهُ شَيْئًا إذَا خَفَضْت”
“jika kamu memotongnya maka sisakan sebagian daripadanya”
Dan Alkhollal meriwayatkan dengan sanadnya dari Syaddad bin Aus rodhiallohu ‘anhu, berkata Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
«الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ»
“Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan makrumah bagi perempuan”. (HR. Aththobaroni 7113, didho’ifkan oleh Syaikh Al-albani rohimahulloh di Silsilah Adho’ifah 1935)
Dan dari Jabir bin Zaid rodhiallohu ‘anhu semisal hadits itu juga secara mauquf dari perkataannya rodhiallohu ‘anhu. Dan diriwayatkan  dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shollallohu
‘alaihi wa sallam berkata kepada perempuan yang mengkhitan perempuan:
«أَشِمِّي وَلَا تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلزَّوْجِ، وَأَسْرَى لِلْوَجْهِ»
“potonglah sebagian saja dan janganlah kamu memotong habis sampai kepangkalnya, karena sesungguhnya dia lebih disenangi oleh suami dan lebih mencerahkan wajah”. (HR. Abu Daud 5271, dari Ummu ‘Athiyyah rodhiallohu ‘anha, dishohihkan oleh Syaikh Al-albani rohimahulloh di Silsilah Ashohihah 722)”. (Selesai penukilan perkataan Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh dari Kitab “Almughni”)
Kemudian Imam Ibnul Qoyyim rahimahulloh dikitabnya “TuhfatulMaudud” membawakan lima belas buah dalil para ulama yang mewajibkan khitan, dan dalil mereka yang kuat adalah:
1.      Perkataan Alloh Subhanahuwata’ala:
{ثمَّ أَوْحَينَا إِلَيْك أَن اتبع مِلَّة إِبْرَاهِيم حَنِيفا}
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. (QS. Annahl 123)  Dan khitan adalah merupakan agama Ibrohim shollallohu ‘alaihi wa
sallam, berkata Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
«اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ
سَنَةً بِالقَدُّومِ»
“Ibrohim ‘alaihissalam berkhitan ketika dia berumur delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak”. (HR. Bukhori 3356 dan Muslim 2370, dari Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu).
2.      Laki-laki apabila tidak berkhitan maka tidak bisa beristinja dengan bersih karena najis akan tersisa didalam kulit yang tidak dipotong  tersebut.
Dalil nomor dua ini adalah bantahan kuat atas sebagian ulama yang tidak mewajibkan khitan.
Jika kita melihat pada kedua dalil ini maka kita dapatkan kesimpulan bahwa kewajiban berkhitan adalah bagi laki-laki saja. Adapun perempuan maka dikembalikan hukumnya kepada makna hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, yaitu hukumnya mustahab bagi perempuan, berkata Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhohulloh di syarh BulughulMarom 5/554: “Imam ahmad berpendapat –sebagaimana didalam sebuah riwayat dari beliau rohimahulloh- bahwa hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Pendapat ini dirojihkan oleh Syaikh Al’allaamah ‘Utsaimin rohimahulloh di SyarhulMumti’ dikarenakan perempuan tidak terpengaruh kesuciannya disebabkan tidak berkhitan, berbeda halnya pada laki-laki, dan pendapat ini adalah yang benar. Allohu a’lam.”
- selesai- penukilan perkataan Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhohulloh, dan Syaikh Yahyahafizhohulloh juga merojihkan pendapat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar