Halaman

Rabu, 26 September 2012

JANGAN BIARKAN TABIR TERKOYAK


JANGAN BIARKAN TABIR TERKOYAK 

Penulis: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy saddadahulloh-
Senin 23 Syawwal 1433H
Darul Hadist Dammaj -harosahalloh-

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Pada kesempatan ini, kita akan menyinggung seputar pemahaman hadits tentang larangan bagi wanita “menanggalkan” pakaiannya di selain rumah suaminya. Asal pembahasan ini terkait dengan hadits yang diriwayatkan dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dimana beliau berkata:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا، هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا
“Wanita mana saja yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah menyobek tabir antara dia dengan Robb-Nya” (HR Ahmad dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)
Dalam riwayat lain:
مَا مِنَ امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِهَا إِلَّا هَتَكَتْ سِتْرًا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidaklah di kalangan perempuan yang meletakkan pakaiannya di selain rumahnya, kecuali dia telah menyobek tabir antara dia dengan Alloh ‘Azza wa Jalla. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan selain mereka dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)
[Hadits ini dishohihkan Syaikh Al-Albany (di Shohih Abu Daud) dan Syaikh Muqil (di Ash-Shohihul Musnad), Lihat juga Tahqiq Musnad Ahmad]
MAKNA “MENANGGALKAN PAKAIAN” DENGAN IBARAT LAIN “MELETAKKAN”.
Diantara makna yang disebutkan para ulama:
,!--more-->
Makna pertama: Membuka hijab (pakaian besar yang menutupi) badannya sehingga lelaki yang bukan mahramnya bisa melihat sebagian auratnya
Al-Munawy Rahimahulloh mengatakan: “Yang jelas (bagi beliau) bahwa maksud “menanggalkan pakaian”, adalah ibarat untuk: “Membuka pakaian kepada orang asing (bukan mahramnya) sehingga memicu terjadinya hubungan intim atau pembukaannya (sesuatu yang mengarah ke hal tersebut –pent)”. Berbeda halnya jika pakaiannya ditanggalkan diantara perempuan dengan tetap menjaga tertutupnya aurat (yang wajib di depan perempuan –pent) maka perbuatan ini tidak ada sisi masuknya ke dalam ancaman ini”. [Faidhul Qodir 3/147]
Lajnah Da’imah ditanya (Fatwa no 10896 soal ke 5): “Telah sah hadits tentang larangan perempuan untuk menanggalkan perempuan di luar rumah suaminya. Maka apakah maksud dari larangan tersebut?. Apakah boleh baginya melepas pakaiannya di rumah keluarga atau kerabatnya?”
Jawab: “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah serta Hakim dari ‘AisyahRodhiyallohu’ Anha dengan lafazh:
أيما امرأة وضعت ثيابها في غير بيت زوجها فقد هتكت ستر ما بينها وبين الله
“Wanita mana saja yang meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah menyobek tabir antara dia dengan Alloh”
Hadits ini juga diriwayatkan Ahmad, Hakim, Ath-Thobrony dan Baihaqy dari Abu Umamah Rodhiyallohu’ Anhu dengan lafazh:
أيما امرأة نزعت ثيابها في غير بيتها خرق الله عز وجل عنها ستره
“Wanita mana saja yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka Alloh menyobek tabir-Nya darinya”
Maksud beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –wallohu a’lam- adalah melarangnya dari bergampangan dalam membuka pakaiannya di selain rumah suaminya dengan auratnya yang terlihat. Sehingga dia tertuduh ingin melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan sejenisnya. Adapun jika dia menanggalkan pakaiannya di tempat yang aman, seperti rumah keluarga dan mahramnya, untuk ganti dengan pakaian yang lain, atau ingin lebih lega, dan alasan semisal yang dibolehkan, yang jauh dari fitnah, maka tidak mengapa baginya dalam masalah itu, wa billahit taufiq
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
[Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’. Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Wakil: ‘Abdurrozzaq ‘Afifiy, Anggota: ‘Abdulloh bin Ghudayyan]
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhohulloh mengatakan: “Yang terlarang adalah dia menanggalkan pakaiannya yang menimbulkan fitnah. Maka ini tidak boleh, bahkan di depan ibu dan bapak. Tidak boleh baginya menampakkan sesuatu dari apa-apa yang bisa menggoda (dari badannya). Dia tidak boleh melepaskan sesuatu dari pakaian yang memicu terlihatnya apa-apa yang menggoda serta keelokannya, karena hal ini termasuk kekhususan bagi suaminya. Tidak boleh bagi seorang perempuan untuk menampakkan apa-apa yang menggoda dari (tubuh )nya kecuali di sisi suaminya”. [Syarah Sunan Abi Daud 10/449]
Syaikh kami Yahya Al-Hajury Hafizhohullohu ta’ala, pernah ditanya: “Apa hukum perginya wanita tempat mandi uap (spa)?”.
Beliau menjawab: “Terdapat perkara makruh pada perginya perempuat ke tempat mandi (umum) berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّام
“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir maka janganlah dia memasukkan istrinya ke tempat mandi bersama”.
Terdapat hadits yang sah bahwa sekelompok wanita penduduk Hamsh datang menemui ‘AisyahRodhiyallohu ‘Anha, maka dia berkata: “Kalian dari mana?”. Mereka menjawab: “Kami dari Syam”. Maka ‘Aisyah berkata: “Sepertinya kalian dari daerah yang para wanitanya masuk tempat mandi air hangat (bersama)?”. Mereka menjawab: “Iya”. ‘Aisyah berkata: Sesunggunhnya aku mendengar RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لَا تَخْلَعُ امْرَأَةٌ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زوجهَا إِلا هَتَكَتْ السِتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ ربها
“Tidaklah seorang perempuan menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, kecuali dia telah menyobek tabir antara dia dengan Robbnya”.
Dalam riwayat lain:
فِي غَيْرِ بَيْتِهَا إِلا هَتَكَتْ سِتْرَهَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“… di selain rumahnya, kecuali dia telah menyobek tabirnya antara dia dengan Alloh ‘Azza wa Jalla”
Maksud hadits ini adalah jika dia menanggalkan pakaiannya dengan tujuan menampakkan auratnya, mempertontonkan anggota badannya, atau (memancing) fitnah. Adapun jika dia meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya di tengah-tengah para wanita tanpa ada sesuatu yang mengundang fitnah, maka hal ini tidak mengapa. Karena perempuan –dari dulu dan setelahnya- memperlihatkan diantara bagian tubuh mereka di depan sebagian wanita yang lain, tanpa ada pengingkaran dari syari’at”. [Al-Kanzuts Tsamin 4/195-196]
Yang mendukung makna ini –wallohu a’lam-, diantaranya hadits Fathimah bin Qois Rodhiyallohu ‘Anha, ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk pindah dari rumah Ummu Syarik yang sudah tua renta ke rumah Ibnu Ummi Maktum untuk menghabiskan masa ‘iddahnya, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ
“Dia itu adalah perempuan yang sering dikunjungi oleh para shahabatku. Habiskanlah masa ‘iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia adalah seorang lelaki yang buta sehingga engkau bisameletakkan pakaianmu” (HR Muslim)
Al-Baji Rahimahulloh mengatakan: “Tidak mengapa baginya melepas penutup rambutnya atau selain itu (dari pakaian yang menutupi) dari apa-apa (anggota badan) yang tidak boleh bagi laki-laki -selain mahram- untuk melihatnya”. [Al-Muntaqo Syarhul Muwaththo’ 4/104]
Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini, bahwasanya para shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum sering berkunjung dan bolak-balik ke rumah  Ummu Syarik karena kesholehannya. Maka NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam melihat adanya kesusahan bagi Fathimah yang sedang dalam masa ‘iddah. Dari sisi dia harus menjaga dirinya dari pandangan mereka (para shohabat) serta menjaga pandangannya terhadap mereka. Juga dia harus menjaga agar tidak terbuka sesuatu dari tubuhnya. Penjagaan ini bersamaan seringnya mereka (para shohabat) masuk dan bolak balik, adalah suatu beban berat yang nyata. Maka beliau menyuruhnya untuk menyelesaikan ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia tidak bisa melihatnya”. [Syarah Shohih Muslim 10/96] Makna semisal juga disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied Rahimahulloh [Ihkamul Ahkam 2/191]
Imam An-Nawawy Rahimahulloh juga mengatakan: “Beliau (Rosululloh) memerintahkannya untuk pindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia tidak bisa melihatnya (Fathimah), dan orang-orang yang bolak-balik ke rumah Ummu Syarik tidak bolak balik ke rumahnya. Akibatnya (jika dia di rumah Ummu Syarik) apabila dia meletakkan pakaian (hijab)nya untuk buang hajat, mereka bisa melihatnya”.[Sebagaimana dinukilkan di Mirqotul Mafatih 5/2176]
Syaikh ‘Abdul Muhsin ‘Al-‘Abbad Hafizhohulloh mengatakan: “Maksudnya tidak perlu dan tidak harus berhijab dari lelaki yang buta yang sempurna kebutaannya, tidak bisa melihat sesuatu pun. Adapun perkara yang dilarang (disini) tidak ada, yaitu kondisi seorang lelaki bisa melihat. Karena (keharusan) perempuan memakai hijab dari para lelaki adalah agar mereka tidak bisa melihatnya”. [Syarah Sunan Abi Daud 5/461]
Makna Kedua: Melepas seluruh pakaian (telanjang) pada tempat yang ada celah untuk melihatnya.
Ini adalah makna yang disebutkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh. Beliau berkata: “Yang menjadi maksud hadits ini adalah menanggalkan seluruh pakaiannya di tempat mandi pasar” [Ar-Roddul Mufhim 73]
Dalam sebuah rekaman tanya jawab, beliau mengupas seputar makna hadits ini:
Penanya: Terkait dengan wanita menanggalkan pakaiannya di tempat jual beli (yakni kamar ganti –pen), apakah padanya bisa diterapkan perkataan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
أيما امرأة نزعت ثيابها
“Wanita mana saja yang menanggalkan …” Al-Hadits
Syaikh: Pertama, saya memahami dari hadits ini: penanggalan pakai keseluruhan, yakni dia telanjang …
Penanya: Ini tidak terjadi di toko, ini hanya terjadi di kamar mandi.
Syaikh: Tolong jangan potong pembicaraanku, saya belum menyelesaikannya. Saya katakan: “Pertama”, itu artinya setelahnya ada yang kedua, bisa jadi juga ada yang ketiga –wallohu a’lam-.
Pertama: Hadits tersebut berlaku pada perempuan yang telanjang dari seluruh pakaiannya. Karena itulah hadits ini dijadikan dalil larangan masuknya perempuan ke dalam tempat mandi di luar rumahnya. Bersamaan dengan itu saya katakan: “Apabila seorang perempuan terpaksa untuk mandi di selain rumah keluarga dan mahramnya, maka ketika itu dia mesti melihat kepada keamanan untuk menutup pintu kejelekan. Karena hukum ini bukanlah murni perkara ta’abbudi –yaitu perkara yang tidak diketahui hikmah atau ‘illah (sebab yang yang membangun hukum)nya dalam larangan Rosululloh bagi perempuan untuk telanjang. Bahkan perkara ini ma’qulul ma’na (hikmah atau ‘illah hukumnya diketahui –pent), karena hal tersebut (yaitu telanjang –pent) bisa bisa membawa dia terfitnah pada perkara yang terkait dengan harga dirinya. Apabila ada mahram yang menjaganya jika ada yang ingin berbuat jelek kepadanya, maka ketika ini hilanglah larangan. Apabila ditemukan penghalang (hukum ini –pen) walaupun dengan jalan tanpa adanya mahram –seperti di sebuah rumah yang perempuan tersebut yakin tidak ada seorang lelaki pun disana- maka boleh baginya untuk mandi setelah dia mengambil langkah jaga-jaga agar tidak ada seorangpun dari perempuan yang melihat kepada auratnya. Nah, sekarang telah kita ketahui dalil beserta fikih (pemahaman)nya, sehingga memungkinkan kita sekarang untuk sampai langsung kepada jawaban.
Maka saya katakan: Kamar ini, yang dipakai di tempat-tempat penjualan untuk (ganti) pakaian, apabila:Pertama: Tidak ada “mata-mata” yang mengintai atau mengawasi wanita yang masuk ke kamar tersebut. Karena kami mendengar ada sebagian ruangan yang dipakai sebagian hotel besar dan mewah untuk mengadakan perayaan pernikahan, padanya terdapat kamera yang diletakkan di beberapa pojok sehingga orang-orang yang duduk di ruangan itu tidak memperhatikannya padahal ia (kamera tersebut) merekam video. Orang yang di ruangan tersebut tidak menyadari dan mengatakan: “Tidak ada seorangpun”, namun disitu ada mata-mata yang tidak terlihat namun dia melihat. Maka disyaratkan kamar (ganti) ini aman dan tidak terdapat semisal “mata-mata” yang mengawasi tersebut. Kedua: DiLuar kamar tersebut –bersama perempuan ini- mesti ada mahramnya atau teman-teman perempuannya dari sisi dirinya bisa aman sehingga tidak muncul perkara (yang tidak diinginkan). Dengan penjagaan-penjagaan ini maka boleh bagi seorang perempuan muslimah untuk masuk dan mencocokkan ukuran pakaian yang ingin dibelinya.” [Kaset Al-Ajwibah Al-Albaniyah ‘Ala As’ilatil Astraliyah, soal kelima]
KESIMPULAN
Dari yang disebutkan para ulama di atas terlihat bahwa hadits ini tidak terlepas pada hadits-hadits pokok tentang wajibnya menutup aurat dari pandangan mata. Karena itulah jika kita menelaah kitab-kitab fiqih maka kita akan mendapatkan pembahasan ini –sebagaimana dikatakan Syaikh Al-Albany-disebutkan para ulama dalam pembahasan: Hukum masuknya perempuan untuk mandi dihammam[1] (tempat mandi bersama).
Demikian juga kita temukan dalam penyusunan bab yang dilakukan para ulama hadits. Imam ‘Abdur Rozzaq As-Shon’any dalam Mushonnafnya memasukkan hadits ini dalam: “Al-Hammam lin Nisa’(Tempat mandi bersama bagi perempuan)”, Imam Al-Baghowy dalam Syarhus Sunnah memasukkannya dalam “Bab Nahyin  Nisa’ ‘An Dukhuli Hammam (Bab tentang larangan bagi perempuan untuk masuk tempat mandi bersama)”, Imam Abu Daud dalam Sunannya memasukkan hadits ini dalam: “Kitabul Hammam (Kitab tentang tempat mandi bersama)”, Imam At-Tirmidzi dalam Sunannya memasukkan hadits ini dalam: “Bab Ma Ja’a fi Dukhulil Hammam (Bab Apa-apa (dari hadits) yang datang tentang masuk tempat mandi bersama)”, Imam Ibnu Majah dalam Sunannya memasukkan hadits ini dalam: “Bab Dukhulil Hammam (Bab masuk tempat mandi bersama)”, Imam Ad-Darimy dalam Sunannya memasukkan hadits ini dalam: “Bab fi Nahyi ‘An Dukhulil Mar’ah Al-Hammam (Bab tentang larangan masuknya perempuan ke tempat mandi bersama)”, Imam Al-Baihaqy dalam Syu’abil Iman memasukkannya dalam “Fasl fil Hammam (Pasal tentang tempat mandi bersama)”, Imam Al-Haitsami dalam Al-Maqhodul ‘Ula memasukkannya dalam “Bab fil Hammam (Bab tentang tempat mandi bersama)”, Imam Al-Albany dalam Shohih At-Thargib wat Tarhib memasukkannya dalam “At-Tarhib min Dukhulil Rijal Al-Hammam bi Duni Izar” (Larangan masuknya para lelaki ke tempat mandi bersama tanpa memakai sarung)
Diantara yang menunjukkan makna ini adalah kisah ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha dalam penyampaian hadits ini, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad –dan lainnya- dengan sanad yang shohih, Abul Malih (periwayat dari ‘Aisyah) berkata: “Sekelompok wanita penduduk Syam datang menemui ‘Aisyah, maka dia berkata; “Kaliankah orang-orang yang masuk hammamat (pemandian-pemandian bersama)?, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: (‘Aisyah menyebutkan hadits diatas –pent)“.
Demikian juga terdapat hadits lain dalam masalah ini seperti hadits Abu Ummu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anha, bahwasanya dia berkata: Saya keluar dari tempat mandi, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa sallam bertemu denganku dan berkata: “Dari mana engkau wahai Ummu Darda’?”. Dia berkata: “Dari tempat mandi bersama”. Maka beliau bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنَ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ أَحَدٍ مِنْ أُمَّهَاتِهَا، إِلَّا وَهِيَ هَاتِكَةٌ كُلَّ سِتْرٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّحْمَنِ
“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari perempuan meletakkan pakaiannya di selain rumah salah satu dari ibu-ibunya, kecuali dia telah menyobek seluruh tabir antara dia dengan Ar-Rahman”. (HR Ahmad dan lainnya. Hadits ini dishohihkan Syaikh Al-Albany Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah 7/1307, Adabuz Zifaf 140-141)
Juga hadits Jabir bin ’Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يَدْخُلِ الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَرٍ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّام
“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir maka janganlah dia masuk tempat mandi (bersama) tanpa memakai sarung, dan janganlah dia memasukkan istrinya ke tempat mandi bersama”.(HR Ahmad dan lainnya. Hadits ini dishohihkan Syaikh Al-Albany Lihat Irwa’ul Gholil 7/6, Shohih Sunan At-Tirmidzi 3/117)
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makruh atau haramnya seorang wanita masuk tempat mandi bersama dengan tetap menutup aurat di depan wanita lain. Hal butuh pada pembahasan tersendiri, wallohul muwaffiq.
JANGAN BIARKAN TABIR TERKOYAK
Makna “TABIR”
Diantara ulama ada yang mengatakan bahwa maknanya: Rasa malu dan adab kepada Alloh. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya adalah ketaqwaan kepada Alloh. Karena dia telah melakukan apa yang dilarang Alloh dan juga mengkhianati suaminya dengan memperlihatkan apa-apa yang hanya pantas diperlihatkan kepada suaminya” [Lihat Mirqotul Mafatih 7/2841, Hasyiah As-Sindy ‘Ala Ibni Majah 2/409, Tuhfatul Ahwadzi 8/71, Faidhul Qodir 3/136, ‘Aunul Ma’bud 11/32]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Barangsiapa yang mengoyak tabir antara dia dengan Alloh, maka Alloh akan mengoyak tabir antara orang tersebut dengan manusia”. [Al-Fawaid 31]
Jika kita menghayati hadits-hadits di atas ataupun hadits semisal, kita akan melihat betapa tegasnya syari’at Islam menegaskan kaum muslimin untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. Derajat manusia jauh lebih tinggi dari kehidupan binatang yang terangkat dari rasa malu dan kecemburuan terhadap dirinya.
Perkara ini lebih ditekankan kepada perempuan karena memang auratnya lebih menyeluruh dan jika dia keluar dari rumahnya maka syaithon akan menghias-hiasinya. Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallammengatakan:
المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Perempuan itu adalah aurat. Apabila dia keluar, maka syaithon akan menghias-hiasinya”. (HR Tirmidzi dari ‘Abdulloh bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu)
Disamping bahaya yang akan mengancam dirinya, perbuatannya itu juga menimbulkan fitnah bagi para lelaki, Rosululloh Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاء
“Tidaklah tinggal setelahku fitnah yang paling berbahaya bagi seorang lelaki daripada (fitnah) wanita”(HR Bukhory – Muslim dari ‘Usamah bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada kaum lelaki yang beriman untuk menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Sesungguhnya hal itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alloh mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah (wahai Muhammad) kepada kaum perempuan yang beriman untuk menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, melainkan yang terlihat”. (An Nur 30-31)
Fitnah itu lebih cepat merasuknya dengan pandangan mata.
Maka bertakwalah engkau wahai wanita muslimah! Janganlah relakan dirimu terfitnah dan memfitnah orang lain, menyobek tabir antara dirimu dengan Robb-mu
Dan kamu wahai para lelaki! Cemburulah terhadap ibu-ibu, istri-istri, saudari-saudari dan putri-putrimu. Sungguh kecemburuan seseorang lelaki terhadap kehormatan para “wanita”nya adalah perkara yang terpuji, sebagaimana sebaliknya bahwa sikap tidak peduli adalah perkara yang tercela dan menjerumuskan pelakunya kepada ancaman Alloh.
Sa’ad bin ‘Ubadah mengatakan: “Jika aku melihat seorang lelaki bersama istriku maka akan kutebas lelaki itu dengan mata pedangku”. Maka Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sesungguhnya aku lebih cemburu darinya dan Alloh lebih cemburu dariku”. (HR Bukhory – Muslim)
Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
ثَلَاثٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ بِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوث
“Tiga (golongan yang tidak masuk surga dan tidak akan dilihat Alloh pada hari kiamat: Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang kelaki-lakian dan orang yang tidak peduli dengan siapa yang masuk kepada mahram perempuannya”. (HR Ahmad dan lainnya dari Ibnu ‘UmarRodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany) [Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah 67 dan Tahqiq Musnad Imam Ahmad]
Maka wajib bagimu menjaga aurat wanita yang ada dalam tanggunganmu, setiap orang akan diminta pertanggung-jawaban atas orang yang dibawah bimbingannya. Terkait masalah ini juga diingatkan bagi para muslim untuk memastikan keamanan tempat-tempat yang berlangsung padanya aktivitas muslimat, kamar mandi dan sebagainya, karena hal tersebut diantara hak mereka.
Imam Asy-Syinqithy Rahimahulloh –setelah menyebutkan dalil-dalil tentang keutamaan lelaki dari perempuan- mengatakan: “Apabila engkau mengetahui dari dalil-dalil ini kalau perempuan memiliki kekurangan dalam bentuk penciptaannya (fisiknya –pent) dan kelemahan dalam tabiatnya, maka ketahuilah: Sesungguhnya akal sehat -yang bisa memahami hikmah dan rahasia di balik suatu perkara- menetapkan bahwa sesuatu yang kurang dan lemah dari sisi fisik dan tabiat harus berada dalam pantauan sesuatu yang sempurna dalam bentuk penciptaannya dan kuat dalam sisi tabiatnya, agar dia (yang kuat) bisa mendatang manfaat bagi “yang lemah” pada sesuatu yang tidak bisa diperolehnya, serta menolak bahaya darinya pad sesuatu yang dia (yang lemah) tidak bisa menolaknya. Sebagaimana perkataan Alloh Ta’ala:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Para lelaki adalah pengatur bagi kebaikan perempuan (baik bimbingan maupun perlindungan) dengan keutamaan yang diberikan Alloh pada sebagiannya (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan)”. (QS An-Nisa’ 34) [Adhwa’ul Bayan 3/25]
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Pada asalnya kata hammam digunakan untuk tempat pemandian air panas, kemudian kata ini dipakai untuk setiap tempat mandi. [Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Quwaitiyah 18/154]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar