Halaman

Kamis, 25 Juli 2013

Buah Kedermawanan

Buah Kedermawanan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah z, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ اْلأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ. فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلاَنٌ -لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ-. فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ لِاسْمِكَ، فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ
Ketika seorang laki-laki berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar sebuah suara di angkasa, “Berilah air pada kebun si Fulan!” Awan itu pun bergerak lalu mencurahkan airnya di satu bidang tanah yang berbatu hitam. Ternyata saluran air dari beberapa buah jalan air yang ada telah menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti air itu. Ternyata dia sampai kepada seorang pria yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.
Laki-laki tadi berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”
Petani itu menjawab, “Nama saya Fulan.” Dia menyebutkan nama yang tadi didengar oleh lelaki pertama dari angkasa.
Si petani bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, mengapa Anda menanyakan nama saya?”
Kata lelaki itu, “Sebetulnya, saya tadi mendengar sebuah suara di awan yang airnya baru saja turun dan mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ menyebut nama Anda. Apakah yang Anda perbuat dengan kebun ini?”
Petani itu berkata, “Baiklah, kalau Anda mengatakan demikian. Sebetulnya, saya selalu memerhatikan apa yang keluar dari kebun ini, lalu saya menyedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga saya, dan sepertiga lagi saya kembalikan (untuk modal cocok tanam)….”
Dengan sanad hadits ini juga, dari Wahb bin Kaisan sampai kepada Abu Hurairah z, tetapi (dalam riwayat ini) petani itu berkata, “Saya mengalokasikan sepertiganya untuk orang miskin, peminta-minta, dan para perantau (ibnu sabil).”1
Perhatikanlah bagaimana Allah l menggiring rezeki untuk manusia, binatang ternak, burung-burung, tanah, dan gunung-gunung, kemudian rezeki itu sampai kepadanya karena besarnya kebutuhan mereka, pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Perhatikanlah bagaimana Allah l menundukkan angin agar menggiring awan sampai turun hujan.
Di dalam hadits ini dijelaskan keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang miskin dan ibnu sabil. Dijelaskan pula keutamaan seseorang makan dan memberi nafkah kepada keluarga dari hasil usahanya sendiri. Di sini, petani itu memisahkan sepertiga hartanya untuk keluarga, sepertiga yang kedua untuk sedekah, dan sepertiga berikutnya untuk modal menanam lagi.
Hakikat Dunia
Pembaca, beriman bahwa dunia ini begitu rendahnya, bahkan terkutuk, bukan berarti tidak boleh berusaha (mencari ma’isyah/penghidupan). Demikian pula perintah zuhud terhadap dunia, bukan artinya tidak perlu bekerja dan berusaha. Akan tetapi, maksudnya ialah tidak bergantung pada dunia. Dengan kata lain, hati kita jangan berambisi dan sepenuhnya mengejar dunia, meninggalkan urusan akhirat, gelisah jika hartanya berkurang, gembira bila hartanya bertambah, lalu melampaui batas ketika melihat dirinya telah merasa kaya.
Mungkin akan muncul pertanyaan, kapan seseorang dikatakan zuhud, padahal dia mempunyai uang seratus juta rupiah?
Al-Imam Ahmad pernah ditanya tentang hal yang semacam ini. Beliau menjawab, “Ya. Dia dikatakan zuhud, walaupun mempunyai uang seratus ribu (dinar), dengan syarat, dia tidak merasa gembira ketika uang itu bertambah, dan tidak bersedih hati ketika uang itu berkurang.”
Akan tetapi, siapakah yang mampu bersikap demikian?
Kita semua mampu melakukannya, insya Allah, apabila harta itu kita jadikan laksana toilet dalam pandangan kita, yang tentu saja hanya didatangi ketika kita ingin buang hajat, dalam keadaan di hati kita tidak mungkin ada cinta dan terpaut kepada tempat najis tersebut.
Karena itu, ketika hati merdeka untuk Allah l, bukan berstatus sebagai budak dinar dan dirham, serta harta dunia lainnya, saat itulah usaha menambah harta tidak akan memudaratkannya. Allah l berfirman:
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat.” (an-Nur: 37)
Dari Ibnu Mas’ud z, dia melihat sebagian pedagang di pasar, ketika dipanggil untuk shalat wajib, segera meninggalkan dagangan mereka dan bangkit. Melihat hal itu, berkatalah Abdullah, “Mereka inilah orang-orang yang sebutkan dalam Kitab-Nya:
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingati Allah l.” Seperti itu pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar ketika berada di pasar, kemudian diserukan iqamah, mereka menutup kedai-kedai mereka lalu memasuki masjid. Kata beliau, “Tentang merekalah ayat ini turun.”
Penjelasan Hadits
Sesungguhnya wali-wali Allah k mengenal hak Allah k yang wajib atas mereka, lalu menunaikannya lebih dari apa yang Allah l tuntut dari mereka. Mereka akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah k. Sebab itulah, mereka berhak menjadi wali-wali Allah l dan meraih karamah ilahiyah, sebagai balasan atas amalan mereka yang baik.
Di dalam hadits ini diceritakan, ketika seseorang sedang berjalan di sebuah tempat sepi, dia mendengar suara di awan, mungkin suara malaikat Allah k, “Berilah air pada kebun si Fulan!” yang memerintahkan awan untuk bergerak. Kemudian, awan tersebut bergeser ke sebidang tanah berbatu hitam. Setelah berada di atasnya, awan itu mencurahkan airnya, hingga semua saluran dan parit-paritnya penuh air. Dalam keadaan takjub, lelaki itu mencoba menelusuri ke arah mana air itu mengalir.
Ternyata, air itu mengalir ke sebuah kebun. Di kebun itu sudah ada seorang petani sedang mengayunkan cangkulnya mengatur jalan air tersebut. Akhirnya, lelaki yang mendengar suara dari langit itu mendekati si petani dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah.” Ini adalah sebuah panggilan umum, biasanya ditujukan kepada orang yang belum dikenal namanya. Jadi, dia tidak langsung menyebut nama si petani untuk memastikan.
“Siapa nama Anda?” tanya lelaki itu. Petani itu menoleh dan menjawab, “Fulan,” dan nama itulah yang didengar laki-laki itu dari suara yang muncul di awan, “Berilah air pada kebun si Fulan!”
Pemilik kebun itu merasa heran ada orang yang baru datang menanyakan namanya. Akhirnya, dia pun bertanya kepada lelaki tersebut, “Mengapa Anda menanyakan nama saya?”
Lelaki itu pun menceritakan, “Saya mendengar sebuah suara dari awan yang airnya turun di kebun Anda, mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ dia menyebut nama Anda, apakah yang Anda perbuat terhadap kebun ini?”
Artinya, lelaki itu menanyakan mengapa air hujan dari awan yang ada di atas tanah berbatu hitam itu semuanya tumpah ke salah satu saluran air yang mengalir ke kebun petani itu saja. Apakah sebetulnya yang diperbuat oleh petani itu terhadap kebunnya?
Petani itu pun menerangkan, “Kalau itu yang Anda katakan, sebetulnya saya selalu memerhatikan apa saja hasil panen yang keluar dari kebun ini. Kemudian, saya menyedekahkan sepertiganya, memakan sepertiganya bersama keluarga, sedangkan sepertiga lagi saya kembalikan sebagai modal untuk menanam.”
Dalam versi lain, disebutkan bahwa lelaki itu menemui si petani dan langsung memanggilnya dengan menyebut nama petani itu. Si petani menoleh kepada orang yang memanggilnya. Dia terkejut dan heran.
Petani itu pun bertanya, “Siapakah Anda, dan dari mana Anda mengetahui nama saya?”
“Sebelum saya jawab, terangkan dahulu apakah yang sudah Anda lakukan dengan kebun ini?” balas orang tersebut.
Petani itu kembali bertanya, “Untuk apakah Anda menanyakannya?”
“Saya mendengar suara dari awan menyebut nama Anda,” kata lelaki itu, dan dia pun menceritakan apa yang terjadi. “Akhirnya, saya pun mengejar awan itu hingga sampai ke tempat Anda.”
“Baiklah, kalau itu yang Anda katakan. Sebenarnya saya membagi hasil panen ini menjadi tiga, sepertiga untuk modal menanam kembali, sepertiga lagi untuk saya dan keluarga, serta sepertiga berikutnya untuk sedekah,” kata si Petani.
Orang itu mengatakan, “Jadi, itulah sebabnya tanaman Anda diberi air dari awan tersebut.”
Beberapa Hikmah
1. Allah l menundukkan malaikat dan hujan untuk orang-orang yang bersedekah dan menunaikan hak fakir miskin dari harta mereka.
2. Bersedekah kepada fakir miskin menyebabkan rezeki bertambah. Allah l berfirman:
ﭰ ﭱ ﭲﭳ
“Bila kalian bersyukur tentu akan Aku tambah untuk kalian.” (Ibrahim: 7)
Rasulullah n bersabda:
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تِجَاهَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Jagalah Allah, tentu Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, tentu akan dapati Dia di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika dalam keadaan lapang, tentu Dia akan mengenalimu ketika engkau dalam keadaan sulit.”
3. Seorang mukmin yang memiliki akidah tentu akan menjaga hak fakir miskin, keluarga, dan hartanya.
4. Adanya karamah para wali Allah l, karena Allah l mengirimkan awan untuk memberi minum kebunnya. Hal itu karena kebaikan pemilik kebun dan nafkah yang dikeluarkannya di jalan Allah l.
5. Allah l mengganti nafkah yang dikeluarkan di jalan Allah l serta tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik di dunia dan di akhirat. Sebab itulah, Allah l memberi minum kebun petani itu tanpa dia harus bersusah-payah menggali sumur untuk mendapatkan air. Semua itu karena Allah l hendak memuliakan hamba-Nya tersebut.
6. Menurut syariat, mungkin saja seseorang dapat mendengar suara malaikat seperti dalam kisah ini dan kisah seseorang yang hendak mengunjungi saudaranya di daerah lain, karena Allah l. Juga seperti ‘Imran bin Hushain z yang mendengar salam malaikat kepadanya.
7. Pentingnya pengelolaan harta benda secara cermat. Petani ini membagi hartanya (hasil panen) menjadi tiga bagian, sepertiga untuk infak di jalan Allah l, sepertiga untuk dia dan keluarganya, serta sepertiga untuk modal menanam. Inilah di antara hikmah larangan Allah l:
ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu.” (An-Nisa’: 5)
Orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha’) tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Sebab itu pula, harta mereka diserahkan pengelolaannya kepada wali mereka menurut ketetapan syariat.
8. Hendaknya seseorang menyembunyikan amalan salehnya dan jangan menjadikannya sebagai sasaran riya’ dan sum’ah.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 HR. Ahmad (2/296 no. 7928) dan Muslim (8/222, 223)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar