Halaman

Minggu, 28 Juli 2013

Pelajaran dari Kebodohan Ikhwanul Muslimin Mesir (Bag. 3)

Pelajaran dari Kebodohan Ikhwanul Muslimin Mesir (Bag. 3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Al-Ikhwanul Muflisin
Seorang muslim tentunya sedih dengan tumpahnya darah kaum muslimin di negeri manapun mereka berada, khususnya di Mesir pada hari-hari ini. Oleh karena itu, perlu adanya peringatan terhadap umat Islam agar jangan sampai musibah ini terjadi di negeri-negeri kaum muslimin yang lainnya.
Telah kami jelaskan sebelumnya tentang peringatan para ulama, bahwa penyebab musibah ini karena ulah sekelompok orang yang memiliki nafsu memberontak terhadap penguasa yang zalim. Maka sungguh sangat aneh, jika upaya menjelaskan kepada umat akan sesatnya sepak terjang Ikhwanul Muslimin dengan ideologi pemberontakan Khawarijnya, kemudian dianggap sebagai bentuk tidak simpati terhadap kaum muslimin yang menjadi korban kekerasan atau bahkan dituduh mendukung pemerintah yang zalim dan sekuler.
Dan Islam adalah agama yang sempurna, jika melarang sesuatu maka pasti ada solusinya yang lebih baik, dan jika seseorang kembali kepada metode beragama yang benar (manhaj Salaf), insya Allah ta’ala ia akan temukan semua solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, yaitu dengan bimbingan ilmu dan merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
CARA MENGHADAPI PEMERINTAH YANG ZALIM
Sabar dan doa, inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berhadapan dengan penguasa yang zalim. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dariAbdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
“Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezaliman penguasa, maka tidak lama Allah ta’ala akan menghilangkan kezaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala,
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka sempurnalah kalimat Rabbmu yang maha baik kepada Bani Israil disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, hal. 6]
Al-Hasan Al-Basri rahimahullah juga berkata,
إن الحجاج عذاب الله فلا تدفعوا عذاب الله بأيديكم ولكن عليكم بالاستكانة والتضرع فإن الله تعالى يقول ولقد أخذناهم بالعذاب فما استكانوا لربهم وما يتضرعون
“Sesungguhnya Al-Hajjaj (penguaza zalim) adalah azab Allah, maka janganlah kalian menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian, akan tetapi hendaklah kalian merendahkan diri karena takut kepada-Nya dan tunduk berdoa, karena Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sungguh Kami telah timpakan kepada mereka azab, namun mereka tidak takut kepada Rabb mereka dan tidak pula berdoa.” (Al-Mu’minun: 76).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/315]
Thalq bin Habib rahimahullah berkata,
اتقوا الفتنة بالتقوى فقيل له أجمل لنا التقوى فقال أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو رحمة الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عذاب الله رواه أحمد وابن أبي الدنيا
“Hadapilah fitnah (kekacauan) dengan ketakwaan.” Maka dikatakan kepada beliau: “Jelaskan kepada kami secara global apa itu taqwa?” Beliau berkata: “Takwa adalah engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau mengharap rahmat Allah, dan engkau tinggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau takut azab Allah.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Abid Dunya).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/315]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وكان أفاضل المسلمين ينهون عن الخروج والقتال في الفتنة كما كان عبد الله بن عمر وسعيد بن المسيب وعلي بن الحسين وغيرهم ينهون عام الحرة عن الخروج على يزيد وكما كان الحسن البصري ومجاهد وغيرهما ينهون عن الخروج في فتنة ابن الأشعث ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه وسلم وصاروا يذكرون هذا في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين
“Para pembesar kaum muslimin melarang dari pemberontakan dan peperangan dalam masa fitnah, sebagaimana Abdullah bin Umar, Sa’id bin Al-Musayyib, Ali bin Al-Hasan dan selainnya melarang kaum muslimin dari pemberontakan terhadap Yazid di masa Al-Harah. Sebagaimana juga Al-Hasan Al-Basri, Mujahid dan selainnya melarang dari pemberontakan pada fitnah Ibnul Asy’ats. Oleh karena itu, telah tetap pendapat Ahlus Sunnah bahwa tidak boleh berperang di masa fitnah berdasarkan hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dan para ulama terus menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab aqidah mereka, dan para ulama memerintahkan umat untuk bersabar menghadapi kezaliman penguasa dan tidak memerangi mereka, meskipun pernah terlibat banyak ahli ilmu dan ibadah dalam peperangan di masa fitnah (tetap saja hal itu salah).” [Mihaajus Sunnah, 4/315-316]
Bagian akhir ucapan Syaikhul Islam di atas, yaitu tentang adanya sebagian ahli ilmu dan ibadah dari kalangan Ahlus Sunnah, seperti Al-Husain radhiyallahu’anhu dan lainnya yang pernah terlibat dalam pemberontakan maksudnya adalah tidak boleh dijadikan dalil, sebab perbuatan mereka telah menyelisihi dalil syar’i. Oleh karena itu para ulama kemudian sepakat, bahwa pemberontakan hukumnya haram sebagaimana yang telah kami nukil sebelumnya. Adapun keterlibatan sebagian ulama Ahlus Sunnah dalam pemberontakan itu terjadi sebelum adanya ijma’ tersebut, sehingga mereka tidaklah dihukumi sebagai khawarij, namun mujtahid yang salah.
An-Nawawi rahimahullah berkata,
قال القاضي وقيل أن هذا الخلاف كان أولا ثم حصل الإجماع على منع الخروج عليهم والله اعلم
“Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: Dan dikatakan bahwa khilaf ini terjadi dahulu, kemudian telah sepakat (ijma’ ulama) akan dilarangnya pemberontakan, wallaahu a’lam.”[Syarah Muslim, 12/229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقولهم كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على ائمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن استقر الامر على ترك ذلك لما رأوه قد افضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة ابن الاشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
“Dan ucapan para Ulama: (كان يرى السيف), maknaknya adalah, dia (Al-Hasan bin Shalih) berpendapat boleh memberontak dengan pedang terhadap penguasa yang zalim. Pendapat ini dahulu merupakan mazhab sebagian Salaf. Akan tetapi setelah itu telah tetap pendapat Salaf akan tidak bolehnya melakukan pemberontakan, karena mereka telah melihat bahwa pemberontakan hanya mengantarkan kepada kondisi yang lebih buruk. Pada peristiwa Al-Harah, pemberontakan Ibnul Asy’ats dan lainnya terdapat pelajaran bagi orang yang merenunginya.” [Tahzibut Tahzib, 2/250]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar