Halaman

Selasa, 09 Juli 2013

PERMASALAHAN SEPUTAR HAID dan PUASA RAMADHAN

PERMASALAHAN SEPUTAR HAID dan PUASA RAMADHAN

Vector-Flower-Blue-Wallpaper
Wanita Haid Tidak Diperbolehkan Berpuasa
Abi Sa’id -radhiyallahu‘anhu- mengatakan: “Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- keluar menuju tempat sholat pada waktu dhuha, kemudian beliau melewati para wanita lalu beliau bersabda: “Wahai segenap para wanita bersedekahlah karena sesungguhnya telah diperlihatkan padaku bahwa kalian adalah adalah mayoritas penghuni neraka”, mereka berkata: “Apa sebabnya wahai Rasulullah!”, Beliau menjawab: “Kalian suka melaknat dan suka mengingkari kebaikan suami. Tidaklah aku melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya lebih mampu untuk mempengaruhi seorang lelaki yang kokoh dibanding salah seorang dari kalian.”, mereka berkata: “Lalu apakah kekurangan pada akal dan agama kami wahai Rasulullah!”, Beliau menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita itu setengah dari persaksian seorang lelaki?”, mereka menjawab: “Tentu wahai Rasulullah!”, Beliau mengatakan: “Itulah kekurangan pada akalnya, dan bukankah jika seorang wanita haid dia tidak sholat dan tidak puasa?”, mereka menjawab: “Tentu wahai Rasulullah!”, Beliau mengatakan itulah kekurangan pada agamanya.”  (Mutafaqun ‘alaihi)
Dan Aisyah -radhiyallahu’anha-: “Dahulu kami (wanita haid-pen) diperintahkan untuk mengqodho puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodho sholat.” (Mutafaqun ‘alaihi)
Imam An Nawawi -rahimahullah- mengatakan: “Umat ini telah bersepakat akan haramnya puasa bagi wanita haid dan nifas, dan bahwasanya puasanya tidak sah.” (Al Majmu’: 2/354)
Mengapa wanita haid dilarang berpuasa?
Al hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: “Larangan sholat bagi wanita haid adalah perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam sholat dan wanita haid tidak dalam keadaan suci. Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi wanita haid itu sifatnya adalah ta’abudi (hal yang bersifat ibadah semata-pen) sehingga butuh suatu nash pelarangan berbeda dengan sholat.” (Fathul Bari Syarh hadits no 304)
Jadi, larangan berpuasa bagi wanita haid ini sifatnya ta’abudi (ibadah semata) yang wallahu a’lam akan hikmah dibalik larangan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan ini merupakan bentuk rahmah Allah kepada para wanita, karena wanita dalam keadaan lemah ketika haid dan melakukan puasa ketika itu tentu akan menambah kelemahan dan akhirnya akan membahayakan jiwanya. Wallahu a’lam.
 Jika Haid Datang Sesaat Sebelum Maghrib?
Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Jika haid datang dan dia dalam keadaan berpuasa maka batal puasanya walaupun itu terjadi sesaat sebelum waktu maghrib, dan wajib baginya mengqodho puasa  jika puasanya itu adalah puasa wajib.” (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’: 28)
Jika Suci Sesaat Setelah Fajar?
Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Dan jika fajar telah terbit dan dia masih dalam keadaan haid maka tidak sah puasanya pada hari itu walaupun dia suci sesaat setelah terbitnya fajar.” (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’: 29)
Jika Seorang Wanita Telah Suci Dari Haid Pada Siang Hari Ramadhan, Apakah Wajib Baginya Menahan Diri  Dari Pembatal-Pemabatal Puasa Hingga Waktu Berbuka Tiba?
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat dari kalangan para ulama:
Pendapat Pertama      : Wajib baginya imsak (menahan diri dari pembatal-pembatal puasa), dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al Auza’i, Alhasan Al Basri, dan Ibnu Sholih.
Pendapat Kedua          : Tidak wajib baginya imsak, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama diantaranya: Imam Malik, Asy Syafi’I, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat. (Fathul Alam Syarh Bulughul Maram 2/666)
Pendapat kedua inilah yang rajih (kuat) dalam masalah ini karena tidak ada dalil yang mewajibkan hal tersebut. Dan pendapat inilah yang dirajihkan oleh Syaikh Al Utsaimin -rahimahullah- dalam majmu’ fatawa beliau 19/70.
Imam Syafi’i mengatakan: “Jika seseorang tiba dari perjalanan safar pada sebagian hari dalam keadaan tidak berpuasa dan istrinya dalam keadaan haid kemudian suci lalu dia mencampurinya maka aku berpendapat tidak mengapa, begitu pula jika keduanya makan dan minum karena keduanya bukan orang yang sedang berpuasa.” (Al Umm: 2/111)
Jika Suci Dari Haid Sebelum Fajar Dan Tidak Mandi Junub Sampai Datang  Waktu Subuh, Apakah Diperbolehkan Baginya Berpuasa ?
Imam Al Qurtubi ketika menjelaskan tafsir ayat:
{  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
“Dan dihalalkan bagimu untuk mencampuri istri-istrimu pada malam hari bulan ramadhan.” [Al Baqoroh: 187]
Beliau mengatakan: “Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang wanita haid yang suci sebelum fajar dan tidak segera bersuci sampai datang waktu subuh. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajib baginya berpuasa sama saja apakah dia sengaja atau lupa sebagimana orang junub, dan ini adalah pendapat Imam Malik.”
Ibnu Hajar juga mengutip pendapat jumur ulama bahwa wanita haid yang suci sebelum fajar dan berniat untuk puasa maka sah puasanya dan tidak tergantung pada mandi junub. (Fathul bari 4/192)
Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Dan jika seorang wanita dalam keadaan haid kemudian suci sesaat sebelum fajar pada hari ramadhan maka wajib baginya berpuasa pada hari itu walaupun dia belum mandi kecuali setelah terbit fajar, dan puasanya sah.” (Majmu fatawa Al Utsaimin: 11/233)
Beliau juga mengatakan: “Dan jika seorang wanita telah suci sesaat sebelum fajar lalu dia berpuasa maka puasanya sah walaupun dia belum mandi kecuali setelah terbit fajar, sebagaimana orang junub jika telah berniat puasa dalam keadaan junub dan tidak mandi kecuali setelah terbit fajar maka sesungguhnya puasanya sah berdasarkan hadits Aisyah -radhiyallahu‘anha-, dia mengatakan: “Dahulu Nabi -shalallahu‘alaihi wa sallam- pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan ihtilam (mimpi) kemudian beliau puasa ramadhan.” [HR.Bukhari dan Muslim], (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’: 29)
Pendapat ini pula yang dirajihkan oleh Syaikh Bin Baz –rahimahullah- dalam majmu’ fatawa beliau 15/191.
Apakah Diperbolehkan Bagi Wanita Mengkonsumsi Obat Pencegah Haid Agar Bisa Berpuasa Sebulan Penuh?
Penggunaan obat-obat pencegah haid diperbolehkan dengan dua syarat:
Pertama: Tidak menyebabkan bahaya bagi pengguna, jika ditakutkan akan timbul bahaya atau efek negatif maka tidak diperbolehkan penggunaannya berdasarkan firman Allah ta’ala :
{  وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap  kalian.” [An Nisa’ : 29]
Kedua: Mendapatkan izin dari suami jika memiliki hubungan dan berkaitan dengan suami, seperti sedang melaksanakan iddah yang mana suami wajib menafkahinya selama masa iddah sehingga penggunaan pencegah haid ini akan memperpanjang masa iddahnya maka tidak diperbolehkan baginya menggunakan obat-obat pencegah haid kecuali dengan izinnya. Begitu pula jika penggunaan obat-obat pencegah haid dapat mencegah terjadinya kehamilan maka mesti baginya meminta izin suami. Dan walaupun penggunaan obat-obat pencegah kehamilan ini diperbolehkan akan tetapi yang lebih utama adalah menghindari penggunaannya kecuali untuk suatu kebutuhan karena membiarkan tabiat alami sesuai dengan kealamiannya lebih bisa menjaga keseimbangan kesehatan dan keselamatan. (Dima’ Thobi’iyah Lin Nisa’ : 57-58)
Bagaimana Seorang Wanita Mengetahui Bahwa Dia Telah Suci Dari Haid?
Seorang wanita dinyatakan suci dari haid dengan dua tanda:
Pertama: Keluarnya cairan putih (qushoh baidho’). Cairan ini biasanya keluar setelah darah haid dan cairan coklat ataupun kekuningan terhenti. Disebutkan dalam Shohih Bukhori bahwa suatu kali para wanita mengutus seseorang wanita kepada Aisyah dengan membawa secarik kapas yang terdapat padanya shufroh (cairan kekuningan yang muncul di penghujung haid-pen), maka Aisyah mengatakan: “Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat qushoh baidho’ (cairan putih).”
Kedua: Terhentinya darah haid serta cairan coklat ataupun kekuningan. Jika darah haid dan cairan-cairan ini sudah tidak lagi keluar (kering) maka dia telah suci, sama saja apakah setelah itu keluar cairan putih atau tidak. (Lihat Al Majmu’ 2/543, Syarh Shohih Muslim no.333,Fathul Bari no.320)
Jadi, inilah dua tanda yang bisa dijadikan patokan bagi seorang wanita untuk mengetahui apakah dia telah selesai dari haid ataukah belum. Pengetahuan akan hal ini penting karena sebagian wanita sering mengalami kebingungan akan siklus haidnya dan ternyata pangkal permasalahannya adalah kesalahan dalam hal ini. Terkadang di tengah siklus haid darah terhenti mengalir dan yang keluar hanya cairan kekuningan sehingga merasa telah suci lalu mandi, sholat dan berpuasa tapi tidak lama kemudian darah haid kembali mengalir, karena memang sebenarnya dia belum suci dari haid, cairan kekuningan atau kecoklatan yang biasa keluar pada waktu haid atau dipenghujung waktu haid adalah haid berbeda halnya jika cairan ini keluar bukan pada waktu haid atau keluar setelah suci dari haid maka tidak dianggap sebagai haid berdasarkan hadits Ummu ‘Atiyyah: “Kami tidak menganggap cairan kekuningan (shufroh) dan kecoklatan (kudroh) sebagai haid jika keluar setelah suci.”Wallahul muwaffiq.
Kegiatan Ibadah Apa Saja Yang Boleh Dilakukan Oleh Wanita Haid Untuk Mengisi Ramadhan? Terutama Jika Haid Terjadi Pada Sepuluh Hari Terakhir?
Seorang wanita haid bisa melakukan semua kegiatan ibadah apa saja kecuali sholat, puasa, thowaf di ka’bah dan i’tikaf di masjid. Dan telah disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Rasulullah -sholallahu‘alaihi wa sallam- jika masuk sepuluh hari terakhir ramadhan beliau menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan anggota keluarganya.
Dan menghidupkan malam itu tidak hanya terbatas dengan sholat lail, bahkan termasuk di dalamnya melakukan berbagai bentuk amalan ketaatan, inilah yang dijelaskan oleh para ulama:
Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan: “Menghidupkan malam, yaitu dengan mengisi malam itu dengan ketaatan.”
An Nawawi mengatakan: “Yaitu mengisinya dengan sholat dan selainnya.”
Dan disebutkan dalam Aunul Ma’bud: “Yaitu mengisinya dengan sholat, dzikir dan membaca Alqur’an.”
Dan memang sholat merupakan bentuk ketaatan yang paling afdhol untuk dilakukan untuk mengisi sepuluh malam terakhir ramadhan. Rasulullah -sholallahu‘alaihi wa sallam bersabda :
((مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ))
 “Barangsiapa yang menegakkan sholat pada malam lailatul qodar dengan keimanan dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR.Bukhori dan Muslim]
Dan karena wanita haid tercegah dari melaksanakan sholat, maka mungkin baginya untuk menghidupkan malam-malam tersebut dengan berbagai bentuk amalan ketaatan yang lain, seperti:
1.   Membaca Alqur’an
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, apakah wanita haid diperbolehkan untuk membaca Alqur’an atau tidak? Dan yang kuat dalam masalah ini adalah tidak mengapa bagi wanita haid membaca Alqur’an karena tidak ada hadits yang shahih dan terang yang melarang wanita membaca Alqur’an ketika haid, sebagaimana tidak ada larangan bagi mereka dari berdzikir dan berdoa ketika haid. Adapun hadits:
 ((لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن))
“Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca sesuatupun dari Alqur’an” [HR.Tirmidzi]
Hadits ini dho’if, berkata Ibnu Hajar -rahimahullah-: “Hadits ini dho’if dari seluruh jalur periwayatannya.” [Fathul Bari no.305]. Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-: “Hadits dhoif berdasarkan kesepakatan para ahli hadits.” [Majmu’ Alfatawa: 21/460]. Berkata Syaikh Al Albani -rahimahullah-: “Ini adalah hadits mungkar.” [Al Irwa’: 193]
Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil Al Wadi’i, dan Syaikh bin Baz -rahimahumullah-
Selain itu terdapat hadits -hadits yang menguatkan pendapat ini, diantaranya sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah yang mengalami haid ketika berhaji:
((افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَلاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي ))
“ Lakukan apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali jangan engkau thowaf di ka’bah sampai engkau suci.” [HR.Muslim]
Dan merupakan perkara yang telah diketahui bahwa orang yang melaksanakan haji itu bertahlil, bertasbih, beristighfar, dan membaca alqur’an.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa membaca Alqur’an itu ada dua: Membacanya dari hafalan tanpa melihat dan menyentuh mushaf dan membacanya dengan melihat dan menyentuh mushaf. Untuk yang pertama maka diperbolehkan sebagaimana yang tampak dalam pembahasan kita ini. Adapun yang kedua maka para ulama pun berbeda pendapat  dan mayoritas ulama bahkan sebagian dari para ulama menukil ijma’ (kesepakatan)  bahwa wanita haid dilarang menyentuh mushaf. Dan penulis pribadi lebih cenderung kepada pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh bin Baz -rahimahullah-, beliau mengatakan : “Adapun jika seorang wanita membutuhkan untuk membaca Alqur’an dari mushaf maka tidak mengapa baginya dengan syarat menggunakan penghalang (pelapis) seperti kaus tangan dan yang semisalnya.” [Majmu’ Fatawa bin Baz 6/360]. Wallahu a’lam.
2.   Memperbanyak dzikir
Memperbanyak bertasbih (bacaan subhanallah), bertahmid (alhamdulillah), bertakbir (Allahu Akbar), dan bertahlil (laa ilaha ilallah). Atau lafadz-lafadz dzikir yang lain yang dituntunkan oleh rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.
3.   Memperbanyak istighfar dan permohonan ampun kepada Allah Azza wa Jalla.
4.   Memperbanyak doa
Memperbanyak doa dan permohonan kepada Allah Azza wa Jalla baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Dan doa merupakan salah satu dari bentuk ibadah yang afdhol, bahkan disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih:
((الدعاء هو العبادة))
“Doa itu adalah ibadah.” [HR.Tirmidzi dan Abu Dawud]
Inilah di antara beberapa kegiatan yang bisa dilakukan oleh wanita untuk mengisi hari/malam ramadhan yang dilalui dalam keadaan haid. Dan perlu diketahui disana masih banyak berbagai amal ketaatan yang lain yang bisa dilakukan seperti memperbanyak sedekah dan berbuat baik kepada sesama terutama kerabat terdekat. Mempersiapkan sahur dan buka untuk mereka dengan tulus dan tanpa mengeluh, membangunkan, dan mendorong mereka untuk sholat lail dan membaca Alqur’an. Yang disayangkan adalah jika mereka para wanita menghabiskan hari dan malam mereka dengan berbagai kegiatan yang tidak bermanfaat bahkan justru maksiat dengan menghabiskan waktu mereka di depan televisi atau radio dan pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dan merasa bahwa tidak ada kegiatan ibadah yang bisa mereka lakukan karena sedang haid. Wallahul musta’an.
Semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat kepada penulis pribadi dan para pembaca sekalian dan menumbuhkan semangat untuk lebih memaknai ramadhan. Amiin…

Ummu Hudzaifah As Samarindiyyah –ghofarallahu laha wa li waalidaiha-
Akhir Sya’ban 1434 H, Ma’had Daarus Salaf Al Islamiy Bontang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar